Jiwa Ikhlas Dalam Bermuhammadiyah

Warga Muhammadiyah, termasuk angkatan muda dan elit pimpinannya, makin hari kian diuji jiwa ikhlas dalam berkhidmat di Persyarikatan. Maklum, godaan dan tantangan kian menghadang. Semakin besar organisasi dan anggota Muhammadiyah semakin banyak masalah dan keragaman perilaku, yang tidak jarang membuat gerakan Islam yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan ini sangat berat beban. Apalagi orientasi kehidupan saat ini kian menjanjikan pesona jabatan, kekuasaan, uang, dan kepentingan duniawi lainnya yang semakin menggiurkan di berbagai lingkungan kehidupan.

Di satu dua wilayah atau daerah, jika terjadi pemilihan pimpinan amal usaha tidak jarang menimbulkan perebutan dan konflik. Angkatan muda maupun mereka yang tua yang selama ini kurang aktif atau tidak banyak terlibat dalam aktivitas organisasi di lingkungannya, tiba-tiba bermunculan ke permukaan bak para pahlawan Persyarikatan. Dukung-mendukung dan tolak-menolak calon pimpinan amal usaha pun berlalu-lalang, tidak jarang dengan sikap sangat keras dan ada yang bernada ancaman layaknya di partai politik. Padahal selama ini aktivitas Muhammadiyah maupun angkatan mudanya di tempat itu kurang tampak bergairah bak kerakap di atas batu.

Mengirim short message service (SMS) dengan gampang dilakukan untuk menyuarakan kepentingannya yang cenderung mamaksakan kehendak. Orang yang tidak pernah berkomunikasi dan tidak pernah diberikan nomor handphone oleh pemiliknya, tiba-tiba dengan semaunya mengirim SMS dengan isi yang seringkali tidak sopan, kasar, dan penuh ancaman. Akhlak, adab, dan etika Islam pun tidak diindahkan. Padahal kalau kita mau berkomunikasi dan bersilaturahim dengan orang, apalagi sesama Muslim dan Muhammadiyah, sebaiknya memakai sopan santun sebagaimana tuntunan ajaran Islam. Sungguh, kalau sudah berebut kepentingan, tidak ada lagi akhlak mulia dalam berMuhammadiyah.

Selain itu, ada kecenderungan tertentu di sebagian lingkungan Persyarikatan. Semakin dekat ke Muktamar, Muswil, Musda, Muscab, dan Musran para anggota pimpinan makin aktif. Sebaliknya setelah permusyawaratan dan terpilih menjadi pimpinan kian menjauh dan satu persatu kurang atau tidak aktif. Apabila ada aktivitas yang cenderung meriah terlihat hadir, tetapi manakala kegiatan-kegiatan itu memerlukan resiko dan pengorbanan tertentu cenderung menghindar. Mobilitas diri anggota pimpinan pun makin tinggi, yang tidak selalu berkaitan dengan peningkatan kemajuan Persyarikatan. Gejala negatif seperti ini tentu hanya bagian kecil saja dari dinamika mayoritas anggota pimpinan yang masih berkomitmen tinggi dalam berkhidmat memajukan dan membesarkan Muhammadiyah.

Memupuk Keikhlasan

Di tengah dinamika hidup yang penuh tantangan dan godaan itu semakin diuji jiwa ikhlas siapa pun yang berkiprah di lingkungan Persyarikatan, lebih-lebih yang berada di amal usaha Muhammadiyah. Masihkah nilai-nilai ketulusan menjadi kekuatan penggerak sekaligus penyelamat misi dakwah dan tajdid di seluruh lingkungan organisasi dan amal usaha Muhammadiyah? Di sinilah kekuatan niat dalam ber-Muhammadiyah menjadi batu penentu, sesungguhnya motif dan tujuan apa yang paling tertanam dalam diri setiap kita yang berkiprah di amal usaha dan organisasi Muhammadiyah.

Nabi mengajarkan dalam sebuah Haditsnya, “Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung niatnya. Sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa yang dia niatkan. Barangsiapa (niat) hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (benarbenar) kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya untuk dunia yang dia ingin meraihnya atau wanita-wanita yang dia ingin menikahinya, maka (nilai) hijrahnya (sebatas) pada apa yang dia berhijrah karenanya” (HR Bukhari-Muslim). Banyak ayat Al-Qur’an maupun Hadits yang mengajarkan pentingnya ikhlas dalam beribadah dan beramal shalih, yang menunjuk pada niat sematamata karena Allah dan bebas dari motif-motif yang tercela dan selainnya.

Ikhlas (al-ikhlash) menurut Tarjih ialah “membersihkan diri dari sifat riya dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SwT”. Ikhlas ialah berbuat segala sesuatu dalam hidup semata-mata karena Allah. Mencari nafkah dan segala perbuatan duniawi dianjurkan dan dibolehkan, tetapi semua harus dilandasi ibadah dan menjalankan kekhalifahan karena Allah, bukan karena selain-Nya. Dengan jiwa ikhlas maka tidak semua aktivitas hidup bersifat ragawi dan duniawai, tetapi juga bersifat ruhani dan ukhrawi. Dengan jiwa ikhlas tidak semua kegiatan harus dibayar dengan upah duniawi, tetapi diubah menjadi amal shaleh dan amal jariyah yang bayarannya ialah pahala dari Allah. Jika meletakkan segala urusan dunia semata-mata untuk mengejar dunia, lepas dari ibadah dan fungsi kekhalifahan, tidak disertai iman dan amal shalih untuk meraih kehidupan yang utama di akhirat, maka semuanya akan sia-sia dan hanya kemegahan dunia itulah yang diperoleh. 

Semboyan Kiai Dahlan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah”, sesungguhnya esensinya ialah menanamkan jiwa keihkhlasan dengan tidak meletakkan kepentingan-kepentingan duniawi sebagai motif dan tujuan utama dalam ber-Muhammadiyah. Mereka yang bekerja di amal usaha Muhammadiyah atau aktivitas lainnya dalam Persyarikatan tidak menjadi halangan untuk memperoleh konpensasi seperti gaji dan lainnya sesuai ketentuan dan kepatutan. Namun dalam ber-Muhammadiyah niat dan tujuan utamanya bukanlah mencari nafkah dan kepentingan duniawi itu. Ada banyak yang tidak dibayar secara materi dan apa pun yang bersifat duniawai, tetapi menjadi amal dan pahala yang bersifat ruhani dan ukhrawi.

Ikhlas merupakan puncak rohani yang tinggi, yang membuat manusia Muslim tulus hati, tumaninah (tenang), syukur, sabar, tabah, dan penuh optimisme dalam kepasrahan diri kepada Allah. Kiai Dahlan sering mengutip mutiara hikmah Al-Ghazali, “Manusia itu semuanya mati (kesadaran) kecuali mereka yang berilmu, mereka yang berilmu dilanda kebingungan kecuali yang beramal, dan mereka yang beramal diliputi kecemasan kecuali mereka yang ikhlas”. Dunia boleh dan harus diraih tetapi semua harus dijiwai nilai-nilai keikhlasan dan diletakkan dalam meraih puncak tertinggi kehidupan di akhirat guna memperoleh ridla dan kaunia Allah serta hidup kekal di surga jannatun na’im.

Dengan jiwa ikhlas maka tidak akan ada rebutan jabatan atau kedudukan dalam Persyarikatan, termasuk di amal usaha. Baik memperoleh atau tidak memperoleh posisi dalam amal usaha maupun di Persyarikatan maka semua dijalani dengan tulus, syukur, dan sabar. Tidak mengurangi pengabdian dalam ber-Muhammadiyah, bahkan tetap bersemangat karena di balik ganjaran dan urusan duniawi terdapat yang lebih utama yakni pahala dan urusan ukhrawi. Akibatnya menjalani kehidupan di Muhammadiyah menjadi penuh arti dan maslahat. Sebaliknya manakala ber-Muhammadiyah karena motif-motif duniawi yang penuh ambisi maka yang terjadi saling berebut jabatan, materi, dan apapun yang menjadi kesenangan hidup yang bersifat jangka pendek.

Meletakkan Hal Hakiki

Orang yang ikhlas jika dia memperoleh kebaikan dan anugerah Allah atau sebaliknya dihadapkan pada musibah dan hal-hal yang tidak menyenangkan menyikapinya dengan penuh syukur dan sabar. Jika dia berprofesi maka akan dijalaninya dengan penuh komitmen yang baik dan bertanggungjawab disertai sikap mau beramal kebajikan, serta tidak hanya mengejar materi dan kedudukan. Profesionalitas tidak berlawanan dengan semangat keikhlasan manakala profesi yang dijalani itu dilakukan dengan halal dan baik, serta tidak bersikap “mata-duitan” atau “matajabatan”. Materi, kedudukan, dan karir penting untuk diraih tetapi selain harus dilakukan dengan cara halalan thayyiban juga di luar itu terdapat orientasi hidup yang hakiki seperti beriman, beribadah, dan beramal shalih yang tidak harus dipatok dengan orientasi profesionalitas sempit dalam jargon “ada kerja, ada uang”. Di situlah jiwa ikhlas menjadi bingkai nilai profesi dan profesionalitas yang bermakna duniawi dan ukhrawi.

Memang manusiawi jika siapa pun memiliki kepentingan duniawi seperti kedudukan, materi, dan sebagainya. Manusia secara alamiah bahkan tidak dapat lepas dari urusan dunia. Allah dengan jelas menyatakan dalam firman-Nya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanitawanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (Ali Imran [3]: 14). Namun dari ayat tersebut terkandung peringatan tentang pesona yang dapat menggelincirkan manusia dan betapa pentingnya akhirat sebagai tempat kembali manusia yang sesungguhnya. Dunia dalam sejumlah ayat Al-Qur’an bahkan sering disebut mata’ al-ghurur (permainan hidup), yang tidak boleh membuat manusia beriman larut dan termakan oleh gemerlapnya.

Karena itu semua urusan dunia harus dilakukan secara halal, baik, dan jelas niat serta tujuannya yakni “selamat di dunia, selamat di akhirat, dan dijauhkan dari siksa neraka” sebagaimana doa sehari-sehari yang dipanjatkan setiap Muslim kepada Allah. Carilah kehidupan dunia, tetapi jangan engkau lupa kehidupan akhirat (Al-Qashash: 77). Lebih dari itu Allah mengingatkan, bahwa akhirat itu jauh lebih utama (Adh-Dhuha: 7). Maka orang Muhammadiyah tidak boleh menjadikan ikhtiar meraih nafkah, materi, jabatan, dan apa pun yang sifatnya duniawi sebagai motif dan tujuan utama yang kemudian membelokkan niat beribadah dan mengemban misi dakwah dalam Persyarikatan. Apalagi jika dalam mengejar kepentingan duniawi itu dilakukan dengan menggunakan segala cara yang subhat dan haram serta melanggar kebenaran, kebaikan, dan kepatutan.

Demikian pula yang menyangkut profesi maka suatu hal yang baik dan tidak salah manakala memperoleh ujrah (kompensasi) sesuai hak dan kewajiban. Namun lebih dari itu terdapat urusanurusan dan pekerjaan-pekarjaan yang bersifat amaliah yang orientasi utamanya meraih ajran hasanah (pahala yang baik) dari Allah, yang tidak harus dikaitkan dengan kompensasi duniawi. Meraih ujrah pun tetap harus ditempuh dengan cara yang halal dan baik, tidak boleh dengan menghalalkan segala cara, dan terputus dari orientasi ukhrawi. Pada saat yang sama juga harus memberi ruang keikhlasan yang leluasa pada amal shaleh yang tidak harus selalu dikonpensasi dengan kepentingan dan ganjaran duniawi. Di sinilah bedanya orang yang memiliki dasar ikhlas dalam berjuang karena niat beibadah dan berjuang di jalan Allah dengan mereka yang sekadar mengejar nafkah dan kepentingan duniawi di amal usaha dan lingkungan gerak Muhammadiyah.

Niat dan tujuan yang utama dalam bemuhammadiyah ialah berjuang mengemban misi dakwah dan tajdid untuk tegaknya Islam dan terwujudnya kehidupan masyarakat Islam yang sebenarbenaranya. Dengan dukungan dana, fasilitas, dan segala kemudahan lainnya justru harus semakin mengoptimalkan pengkhidmatan yang tinggi dalam menyukseskan dakwah Muhammadiyah di mana pun berada. Bukan sebaliknya malah menjadi bahan rebutan, perselisihan, dan belok arah dari niat beribadah dan menjalankan kekhalifahan melalui Muhammadiyah untuk tujuan hakiki menggapai ridla dan karunia Allah SwT yang hakiki dan abadi. [mag]

*dimuat dalam Suara Muhammadiyah 14 / 98 | 16 –
31 JULI 2013