Perkumpulan Pra Muhammadiyah (3) – Ihyaus Sunnah

Jika umat Islam di Yogyakarta pada awal abad 20 masih sangat kuat berpegang pada tradisi kejawen sehingga takhayul, bid’ah, dan khurafat menjadi fenomena yang marak, begitu juga keadaan umat Islam di Jawa Timur. Para ulama masih kolot memahami perkembangan zaman sehingga citra Islam begitu rendah di mata kaum terpelajar bumi putera.
Dalam kondisi umat Islam di Jawa Timur yang tengah terbelakang itulah, KH Mas Mansur pulang ke Tanah Air pada tahun 1915. KH Mas Mansur putra KH Mas Ahmad Marzuqi, lahir pada 25 Juni 1896 di Surabaya. Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Di samping belajar agama kepada ayahnya sendiri, dia pernah belajar di Pondok Pesantren Sidoresmo, Pondok Pesantren Demangan, (Bangkalan), dan Pondok Pesantren Termas. Selama di Mesir, Mas Mansur belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Kondisi sosial-politik di Mesir sedang tumbuh lewat gerakan kebangkitan nasional dan pembaruan Islam. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun pidato (Saleh Said, 1952: 6).
KH Mas Mansur pulang ke Surabaya setelah kurang lebih empat tahun belajar agama di Mesir. Dia pulang ke tanah air ketika Sarekat Islam di Solo mulai redup dan kepemimpinan diambil alih dari tangan H. Samanhudi kepada H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya. Mas Mansur yang banyak terpengaruh oleh gerakan nasionalisme di Mesir bergabung dengan Sarekat Islam yang mengusung visi nasionalisme Islam.
Selain bergabung dalam Sarekat Islam Cabang Surabaya, Mas Mansur juga berhasil membentuk majelis diskusi bersama Abdul Wahab Hasbullah yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Aktivitas Taswir al-Afkar mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai kota, seperti Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada pendidikan.
Selama mengajar di Nahdhah al-Wathan di Kampung Kawatan, KH Mas Mansur bertemu dan berkenalan dengan KH Muhammad Fanan, ulama asal Magelang (Jawa Tengah) yang menetap di Madura. Tokoh inilah yang di kemudian hari aktif di Muhammadiyah Surabaya bersama KH Mas Mansur. Pada tahun 1937, KH Muhammad Fanan mendapat amanat sebagai Konsul Muhammadiyah Daerah Besuki (Jawa Timur), menggantikan Ki Thohiruddin (Suara Muhammadiyah no. 3 Th ke-57/1977).
KH Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far’u al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang. Akibat perbedaan pendapat dengan Abdul Wahab Hasbullah mengenai masalah-masalah ijtihad dan khilafiyah menyebabkan Mas Mansur keluar dari Taswir al-Afkar.
Bersamaan dengan berdirinya madrasah Nahdhatul Wathan, di Pabean Cantikan berdiri pondok pesantren yang dipimpin H Ali. Perlu dicatat di sini, walaupun H. Ali tak memiliki hubungan dengan KH Mas Mansur, tetapi keduanya memiliki visi keagamaan yang sama.
Pada tahun 1920, Fakih Hasyim, seorang ulama dari kota Padang (Sumatra Barat), datang ke Surabaya. Dia menetap di rumah Encik Wanti, seorang kerabatnya di Ampel Cendolan, dan mengajar agama kepada kerabat dan kaum pedagang dari Padang di daerah tersebut. Setelah bertemu dan berkenalan dengan H Ali, Fakih Hasyim diminta untuk mengajar di pondoknya di Cantikan. Ulama kelahiran kota Padang ini langsung mengisi pengajian-pengajian agama dengan visi keagamaan puritan. Dia banyak mengritik tradisi keagamaan di Surabaya yang mulai menjauh dari dasar-dasar pokoknya. Atas inisiatif H. Ali, pengajian agama yang disampaikan oleh Fakih Hasyim dibentuk menjadi sebuah perkumpulan bernama Ihyaus Sunnah (Menghidupkan Sunnah) (S. Edy, 1952: 30).
Pada saat yang bersamaan, H.O.S. Tjokroaminoto dan KH Mas Mansur (atas nama pimpinan Sarekat Islam) membentuk Tanbihul Ghafilin, sebuah organisasi tabligh yang berada di bawah struktur Sarekat Islam Surabaya. Tanbihul Ghafilin dan Ihyaus Sunnah memiliki kesamaan dalam menyampaikan materi pengajian keagamaan. Keduanya memiliki visi keagamaan yang berkemajuan. Namun, perkumpulan Ihyaus Sunnah lebih keras menentang tradisi lokal yang telah merusak ajaran pokok Islam sehingga mendapat perlawanan dari masyarakat setempat.
Reaksi keras datang dari kelompok Islam tradisional setelah Fakih Hasyim giat menyampaikan dakwahnya. Dia mulai mendapat fitnah. Pondok pesantren pimpinan H. Ali juga mulai dikecam karena dianggap telah menjadi pusat paham baru. Bahkan, perkumpulan Ihyaus Sunnah dianggap sebagai gerakan agama baru. Fitnah tidak hanya ditujukan kepada Fakih Hasyim, tetapi H. Ali pun mendapat serangan dari kelompok Islam tradisionalis.
H Ali sempat bimbang karena tidak ada orang yang bisa menjadi tempat meminta fatwa. Pemimpin pondok pesantren di Cantikan ini tidak bisa membubarkan perkumpulan Ihyaus Sunnah, tetapi dia sendiri tidak sanggup menahan reaksi keras dan kecaman dari masyarakat setempat. Pada saat itulah dia mendapat kabar bahwa di Yogyakarta terdapat seorang ulama besar yang dianggap mampu menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapinya. Ulama besar tersebut adalah seorang khatib di masjid agung Yogyakarta yang memiliki pandangan keagamaan sangat maju. Dialah KH Ahmad Dahlan, Pendiri dan President Hoofdbestuur Muhammadiyah.
Tanpa harus menunda waktu, H Ali langsung datang ke Yogyakarta untuk bertemu KH Ahmad Dahlan. Dalam pertemuan tersebut, H Ali sempat menguji kedalaman ilmu agama dan kezuhudan KH Ahmad Dahlan. Setelah mengetahui sendiri watak dan kepribadian pendiri Muhammadiyah, H Ali tidak merasa ragu lagi. Dia pun mengisahkan persoalan berat yang tengah dihadapi perkumpulan Ihyaus Sunnah yang mendapat kecaman dari masyarakat di Surabaya. H Ali mengundang KH Ahmad Dahlan untuk datang ke Surabaya menyampaikan tabligh Islam dalam rangka meredam gejolak perlawanan terhadap perkumpulan Ihyaus Sunnah.
KH Ahmad Dahlan melakukan kunjungan tabligh pertama kali ke Surabaya pada tahun 1920. Di antara para ulama yang diundang tampak seorang ulama muda dengan postur tubuh tidak terlalu tinggi. Mengenakan peci hitam memakai kain sarung. Dia mengikuti pengajian KH Ahmad Dahlan dengan serius. Di ujung ceramah yang disampaikan KH Ahmad Dahlan, ulama muda tersebut mengajukan buah pikirannya. Mengingat kerusakan masyarakat dan kemerosotan derajat bangsa, jelasnya, bagaimana cara mengatasi keadaan masyarakat yang demikian itu?
KH Ahmad Dahlan menjawab, “Obatnya tidak lain ialah ini!” sambil mengangkat Al-Qur’an ditunjukkan kepada para hadirin. “Kaji isinya dengan betul-betul! Pergunakan segala ilmu untuk mengetahui mukjizat yang tersimpan di dalamnya” terang KH Ahmad Dahlan.
“Amalkan! Amalkan! Tidak cukup dengan hanya pandai membaca, yang harus tepat kena pula makhrajnya, dan melagukan dengan suara merdu! Pergunakan otak dan mata hati untuk menyelami isi Al-Qur’an, niscaya kita tahu rahasia alam, yang sengaja dibuat untuk manusia, yang dititahkan Rabbul ‘Alamin” demikian KH Ahmad Dahlan menjawab pertanyaan tersebut.
Mendengar jawaban tersebut, ulama muda yang sejak awal begitu serius mengikuti pengajian KH Ahmad Dahlan langsung menganggukkan kepala. Ulama muda tersebut tak lain adalah KH Mas Mansur. Mula-mula, KH Ahmad Dahlan dipersiapkan menginap di sebuah hotel di Surabaya, tetapi setelah KH Mas Mansur mengetahui informasi tersebut, dia lantas menawarkan untuk menginap di rumahnya. Dengan menawarkan menginap di rumahnya, KH Mas Mansur mendapat kesempatan waktu lebih banyak untuk bertukar pikiran mengenai persoalan-persoalan keagamaan dan bagaimana jalan mengentaskan kondisi bangsa.
Memang tak banyak sumber-sumber yang merekam proses dialog antara KH Ahmad Dahlan dengan KH Mas Mansur selama menginap di rumahnya. Tetapi, sebuah sumber sempat menyebutkan bahwa pasca menginap di rumah KH Mas Mansur, KH Ahmad Dahlan mengatakan, “Sudah kita pegang sapu kawat Jawa Timur!” (Junus Salam, 1968: 58).
Tampaknya, KH Mas Mansur telah sepakat dengan gagasangagasan pembaruan Muhammadiyah. Setelah berdialog semalam bersama KH Ahmad Dahlan, dia menyatakan sehaluan dengan gagasan dan gerakan yang diusung oleh pendiri Muhammadiyah ini. Dialah yang di kemudian hari menjadi salah satu tokoh Muhammadiyah di Surabaya yang berhasil menjabat sebagai pucuk pimpinan Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah (1938-1940).
KH Ahmad Dahlan datang kedua kalinya ke Surabaya pada tahun 1921 (lihat Soewara Moehammadijah no. 1/th ke-4/1922). Kunjungan KH Ahmad Dahlan ke Surabaya kali ini terekam baik dalam verslag yang dimuat di Suara Muhammadiyah tahun 1922. Secara kronologis dikisahkan, pada tanggal 20 November 1921, KH Ahmad Dahlan didampingi Haji Fachrodin dan adik kandungnya, Siti Munjiyah, menghadiri undangan openbare vergadering Sarekat Islam cabang Kediri. Pada tanggal 22 November, utusan HB Muhammadiyah Yogyakarta diundang oleh bestuur Sarekat Islam Cabang Kepanjen untuk menghadiri vergadering.
Pada pagi harinya (23 November 1921), ketiga utusan HB Muhammadiyah Yogyakarta mendapat undangan dari Driyosastro di Porong (Sidoarjo). Mereka mendapat amanat untuk menjemput istri dan anak Driyowongso, seorang aktivis bumi putera yang tengah dipenjara (sejak tahun 1924, Driyowongso menjadi pengurus Muhammadiyah sebagai sekretaris HB Muhammadiyah bahagian PKO mendampingi Haji Syuja’).
Dari Porong, utusan HB Muhammadiyah Yogyakarta langsung menuju Surabaya untuk menghadiri undangan perkumpulan Ihyaus Sunnah. Kunjungan KH Ahmad Dahlan ke Surabaya kali ini dalam rangka mengisi pengajian dalam perkumpulan Ihyaus Sunnah dan sekaligus meresmikan berdirinya Muhammadiyah Cabang Surabaya.
Menurut keterangan versi S. Edy (1952), Muhammadiyah Cabang Surabaya berdiri setelah KH Ahmad Dahlan datang ke kota dagang ini yang kedua kalinya. Secara eksplisit S. Edy menyebutkan bahwa Muhammadiyah Cabang Surabaya berdiri pada tanggal 1 November 1921 (S. Edy, 1952: 33). Sumber ini berbeda dengan versi verslag yang pernah dimuat di Suara Muhammadiyah tahun 1922.
Berdasarkan sumber ini, kedatangan KH Ahmad Dahlan untuk yang kedua kalinya ke Surabaya pada tahun 1921, tepatnya tanggal 23 November, setelah menghadiri openbare vergadering Sarekat Islam Cabang Kediri (20 November 1921), memenuhi undangan bestuur Sarekat Islam Cabang Kepanjen (22 November 1921) dan menjemput istri dan anak Driyowongso di Porong (23 November 1921). Dari Porong, utusan HB Muhammadiyah Yogyakarta langsung menuju ke Surabaya dalam rangka mengesahkan berdirinya Muhammadiyah Cabang setempat. [sangpencerah/mu’arif]

*dimuat dalam Suara Muhammadiyah 16/95/Agustus 2010