Ternyata Pembukaan Muktamar Muhammadiyah Lebih Nusantara

Makassar – Dua Ormas Islam terbesar di Indonesia menggelar Muktamar, NU lebih dahulu membuka muktamar di jombang tanggal 1 agustus 2015 di Jombang kemudian Muhammadiyah menggelar Opening Ceremony Muktamar di Makkasar tanggal 3 agustus 2015. Kedua Muktamar ini dihadiri Presiden Jokowi dan disiarkan langsung oleh TV nasional

Ada yang menarik dari pembukaan muktamar dua ormas ini,  NU yang mengusung tema islam nusantara menegaskan tentang islam yang mampu mengakomodir keragman budaya tradisonal Indonesia kemudian Muhammadiyah mengusung tema gerakan pencerahan indonesia berkemajuan sebuah gagasan yang melompati ruang dan waktu menegaskan muhammadiyah sebagai ormas islam modern dan pembaharu
Namun pada pembukaan muktamar Nu dan Muhammadiyah faktanya tak selalu linear dengan temanya , KH Said Agil ketika menyapa para muktamirin menyapa dengan “ahlan wa sahlan” berbeda dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah yang menyapa para undangan dan muktamirin dengan gunakan bahasa setempat ” Apa Kareba ? ” yang lebih menonjolkan kearifan lokal mengakomodir bahasa tempat penyelenggaran muktamar.
Kemudian kesenian yang ditampilkan dalam Muktamar Muhammadiyah menghadirkan kolaborasi tarian adat sulawesi selatan yang dipentaskan 700 mahasiswa muhammadiyah membuat para undangan dan muktamirin bisa menikmati ragam budaya sulawesi selatan sebagai tuan rumah penyelenggara muktamar.
Muktamar NU di Jombang sendirimenghadirkan penyanyi Opick dan paduan suara santri pondok pesantren di Jombang, namun tak tampak atraksi budaya lokal yang disuguhkan kepada undangan pembukaan muktamar
Tulisan ini tentunya bukan untuk membanding – bandingkan pembukaan muktamar dua ormas ini namun terkadang wacana dan fakta tidaklah selalu linear, Muhammadiyah yang mengusung gerakan pembaharu terbukti mampu menghadirkan budaya lokal nusantara berdampin dan bersinergi dengan sistem modern yang dibangunoleh Muhammadiyah mengingat Muhammadiyah turut serta melahirkan republik ini tentunya budaya yang ada di negri ini senantiasa lestari dan menjadi concern muhammadiyah sepanjang budaya tersebut tidak melanggar syariat dan membawa maslahat bagi ummat.(ar/sp)