Takfirisme, MUI dan Rekomendasi Muktamar Muhammadiyah

Oleh : Fahmi Salim, MA

Luar biasa membanggakan. Itulah kesan masyarakat Indonesia menyaksikan proses dinamika Muktamar Muhammadiyah ke-47 dan Muktamar 1 Abad Aisyiyyah di Makassar yang dihelat tanggal 3-7 Agustus 2015. Lihat saja komentar Wapres RI Pak JK dalam penutupan Muktamar, bahwa organisasi lain di Indonesia harus mencontoh kelancaran Muktamar Muhammadiyah yang berlangsung demokratis dan damai. Lain lagi dengan komentar Prof. Dr. Emil Salim, mantan Menneg Lingkungan Hidup dan Wantimpres era Presiden SBY. Di akun twitternya @emilsalim2010 tanggal 6 Agustus, beliau berkicau: “Mengikuti penutupan sidang NU, hati kita tak mengerti dan tundukkan kepala. Mengikuti penutupan sidang Muhammadiyah kepala tegak kembali.” Muktamar ormas Islam dengan amal usaha terbesar di Indonesia dan dunia itu berjalan lancar, tertib, dan sukses. Alhamdulillah.

Muktamar Muhammadiyah telah berhasil memilih 13 pimpinan pusat sebagai nakhoda baru untuk periode masa bakti 2015-2020, dengan Dr. Haedar Nashir, MSi sebagai Ketua Umum dan Dr. Abdul Mukti, MEd sebagai Sekertaris Umum. Pemilihan pemimpin-pemimpin baru Muhammadiyah berjalan lancar tanpa desas-desus politik uang. Ini membuktikan bahwa anak bangsa bisa berpolitik bersih. Kita patut bersyukur kepada Allah SWT atas hidayah dan taufiq-Nya sehingga Muktamar tersebut bebas dari intervensi politik kekuasaan dan money politics sebagaimana lazim terjadi di munas dan kongres organisasi sosial dan politik di Indonesia.

Di tengah kebahagiaan tersebut diatas, saya mendapat kabar tak sedap berikut permohonan klarifikasi yang bertubi-tubi kepada saya, efek lanjutan dari kabar tersebut. Usut punya usut, ternyata bersumber dari salinan 13 rekomendasi Muktamar ke-47 Muhammadiyah yang harus ditindaklanjuti oleh PP Muhammadiyah yang baru. Ditambah lagi bumbu pedas di medsos yang berisi kutipan kicauan-kicauan para aktifis JIL di twitter yang menyanjung setinggi langit poin no.2 rekomendasi Muktamar tersebut.

Sebenarnya 12 poin dari 13 rekomendasi Muktamar itu sangat positif dan menunjukkan watak Muhammadiyah yang berkemajuan. Berisi usulan solutif terhadap berbagai persoalan strategis kebangsaan seperti isu human trafficking dan perlindungan buruh migran, gerakan lawan korupsi, mitigasi perubahan iklim, jihad konstitusi, peningkatan daya saing umat Islam, mendorong universitas riset, penyatuan kalender Islam, memaksimalkan bonus demografi dan lain-lain. Namun yang cukup menyentak ulama dan aktifis Islam adalah poin no.2 tentang toleransi dan kerukunan antar umat beragama.

Seperti dikutip laman detik.com, putusan lengkap poin no.2 itu adalah sebagai berikut:
“Di kalangan umat Islam terdapat kelompok yang suka menghakimi, menanamkan kebencian, dan melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain dengan tuduhan sesat, kafir, liberal dan tuduhan lainnya”. Kecenderungan takfiri (suka mengkafirkan -red) bertentangan dengan watak Islam yang menekankan kasih sayang, kesantunan, tawasuth, dan toleransi. Sikap mudah mengkafirkan pihak lain disebabkan oleh banyak faktor, antara lain cara pandang keagamaan yang sempit, fanatisme dan keangkuhan dalam beragama, miskin wawasan, kurangnya interaksi keagamaan, pendidikan agama yang eksklusif, politisasi agama, serta pengaruh konflik politik dan keagamaan dari luar negeri, terutama yang terjadi di Timur Tengah.  “Akhir-akhir ini energi umat juga tersedot dalam persoalan pertentangan antara pengikut kelompok Sunni dengan Syiah. Muhammadiyah mengajak umat Islam, khususnya warga Persyarikatan, untuk bersikap kritis dengan berusaha membendung perkembangan kelompok takfiri melalui pendekatan dialog, dakwah yang terbuka, mencerahkan, mencerdaskan, serta interaksi sosial yang santun,” demikian bunyi bagian lain rekomendasi tersebut. Di frasa akhir ditulis, “Muhammadiyah memandang berbagai perbedaan dan keragaman sebagai sunnatullah. Untuk mencegah semakin meluasnya konflik antara kelompok Sunni-Syiah di Indonesia, Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk mengadakan dialog intra umat Islam serta mengembangkan pemahaman tentang perbedaan keagaaman di antaranya dengan menyusun fiqh khilafiyah meminimalisir konflik horizontal.”
Perlu digaris bawahi sejak awal bahwa tawaran solusi atas problem toleransi dan kerukunan antar umat beragama adalah suatu hal yang mulia dan mendesak. Apalagi belum lama ini kain tenun kebangsaan kita dirobek oleh pihak Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) wilayah Tolikara, yang telah mendudukkan dirinya sebagai negara dalam negara, berpotensi separatis dan sarat intervensi zionis israel, yang dengannya mereka membuat ultimatum larangan shalat idul fitri bagi umat muslim dan larangan berjilbab bagi muslimah selama acara KKR Internasional yang bertepatan dengan momentum idul fitri.
Sudah semestinya poin no.2 rekomendasi Muktamar itu diarahkan untuk menyentak kesadaran bangsa kita yang majemuk ini bahwa masih ada oknum di luar Islam yang sangat intoleran dan diskriminatif terhadap muslim minoritas. Namun sayangnya solusi kerukunan dari tragedi Tolikara tidak disinggung sama sekali. Alih-alih malah menyinggung dan menuding umat Islam dengan stigma Takfiri (suka mengkafirkan). Semoga saja hal itu semata kekhilafan yang bisa diperbaiki di kemudian hari.
Takfiri dan Radikalisme dalam Pandangan MUI
Sekedar menyegarkan kembali ingatan kita, bahwa Majelis Ulama Indonesia yang dipimpin oleh Prof. Dr. HM. Din Syamsudin yang juga saat itu menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah telah melaksanakan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V yang diselenggarakan di Pondok Pesantren at-Tauhidiyah, Cikura, Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 19-22 Sya’ban 1436 H/ 7-10 Juni 2015 M. Diantara hasil keputusan ijtima itu adalah merumuskan definisi dan sikap yang tepat untuk menanggulangi gejala radikalisme agama dan fenomena Takfiri di Indonesia.
MUI dalam putusannya merespon gejala radikalisme agama menegaskan bahwa: “1. Umat Islam di Indonesia berfaham ahlussunnah wal-jama’ah yang berciri moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), berpegang pada metodologi pengambilan hukum (manhajiy), dinamis (tathawwuriy), dan mengedepankan wajah Islam yang welas asih (rahmah lil-alamin). 2. Ahlussunnah wal-jama’ah bukan saja menjadi panduan dalam berfikir (manhaj al-fikr) tapi juga merupakan panduan berperilaku (manhaj al-‘amal) umat Islam Indonesia, dalam kehidupan keagamaan, kehidupan kemasyarakatan, dan kehidupan berbangsa dan bernegara. 3. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip berpikir keagamaan dan berperilaku sebagaimana manhaj Ahlussunnah wal jama’ah sebagaimana disebut di atas, bisa melahirkan cara berfikir dan bertindak yang menyimpang serta dapat menimbulkan pemikiran dan tindakan radikal.”
MUI dalam putusannya juga menyinggung akar pemicu terjadinya radikalisasi atas nama agama, yaitu: “6. Akar pemicu munculnya radikalisme agama selain karena penyimpangan pemahaman keagamaan, seperti meragukan otentisitas dan orisinalitas Al-Qur’an, menghina sahabat dan istri-istri Rasul, yang merupakan sanad utama ajaran Islam, atau memahami nash-nash secara tekstual saja, juga adanya ketidakadilan global dalam sektor sosial, politik, dan ekonomi.”

Jadi sangat jelas, dalam pandangan MUI bahwa diantara yang menyebabkan munculnya radikalisme agama adalah marak dan suburnya aliran-aliran yang menyimpang dari mainstream umat Islam Indonesia. Terutama aliran yang mengajarkan pengikutnya dan calon pengikutnya untuk meragukan otentisitas dan orisinalitas Al-Qur’an, dan menghina sahabat dan istri-isteri Nabi yang merupakan sanad utama ajaran Islam. Umat Islam pun telah mafhum kelompok aliran apa itu kiranya yang mengajarkan doktrin radikal yang menyimpang seperti dijelaskan dalam putusan Ijtima Ulama MUI di Tegal.

Selain merespon gejala dan akar pemicu radikalisme agama, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia juga telah merumuskan sikap dan langkah-langkah prosedural untuk mengantisipasi gejala Takfiri di Indonesia. Dalam pandangan MUI dinyatakan bahwa, “Memvonis kafir (takfir) adalah mengeluarkan seorang muslim dari keislamannya sehingga ia dinilai kafir (keluar dari agama Islam). Takfir merupakan hukum syariat yang tidak boleh dilakukan oleh orang-perorang atau lembaga yang tidak mempunyai kredibilitas dan kompetensi untuk itu. Vonis kafir harus diputuskan oleh lembaga keulamaan yang diotorisasi oleh umat dan negara.”

MUI mengingatkan umat Islam terhadap bahaya sikap dua kelompok, baik yang menganggap enteng kekafiran ataupun yang memudahkan vonis kafir (Takfiri) di tubuh umat Islam, “Muncul di tengah masyarakat dua sikap ekstrim, pertama, menganggap enteng bahkan meniadakan vonis kafir (tafrith fi at-takfir). Kedua, mudah memvonis kafir (ifrath fi attakfir). Umat Islam agar menghindarkan diri tidak terjebak ke dalam salah satu dari dua ekstrim tersebut, yaitu mengambil pendapat yang moderat (wasath).”  Bagi kalangan liberal mungkin tidak boleh ada vonis takfir sama sekali, karena kebenaran itu relatif, tidak ada kebenaran absolut, dan yang absolut itu adalah relativisme. Ada pula segelintir umat yang kerap mengkafirkan negara atau sistemnya yang disitu umat Islam terlibat aktif mengelolanya. Atau tidak sedikit aliran sesat yang bersarang di dalam tubuhnya doktrin pengkafiran yang tanpa ampun bagi siapapun umat diluar golongan mereka.

MUI menyadari ada beberapa pihak yang kerap mengecam ataupun menolak fatwa sesat terhadap aliran yang menyimpang, dan menuding fatwa tersebut memicu sikap Takfiri di tengah umat. Oleh sebab itu dalam bagian lain putusannya, MUI menegaskan bahwa, “Setiap kesesatan yang ditetapkan setelah melalui prosedur penelitian dan fatwa yang ketat, sudah pasti adalah sesat. Namun tidak setiap kesesatan yang telah difatwakan otomatis adalah kekafiran dengan segala konsekuensi syar’inya.”

Artinya MUI sadar betul ada pemutarbalikan fakta dan mispersepsi yang dilakukan pihak tertentu secara sistematis mengkesudutkan MUI dan para ulama ormas Islam yang ingin menegakkan maruah fatwa aliran sesat dengan stigma takfirisme. Maka langkah strategis MUI menelurkan rekomendasi fatwa tentang kriteria (dlowabit) takfir harus didukung semua pihak yang konsen terhadap perlindungan agama (hifzhu diin) dari penistaan aliran sesat di Indonesia.
  
Hal lain yang perlu kita ingat adalah tragedi pemblokiran situs Islam yang sempat heboh pada bulan April 2015 ini. Penting digarisbawahi tuduhan Takfiri adalah satu alasan yang menyebabkan Badan Nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT) kemudian merekomendasikan pemblokiran 22 situs Islam yang dinilai radikal kepada Kemenkominfo. Menurut BNPT, ada empat kriteria sebuah situs web media dapat dinilai radikal, antara lain:
  1. Ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama.
  2. Takfiri atau mengkafirkan orang lain.
  3. Mendukung, menyebarkan, dan mengajak bergabung dengan ISIS/IS.
  4. Memaknai jihad secara terbatas.
Jadi sungguh aneh bin ajaib, ormas Muhammadiyah yang diwakili ketua umum saat itu Prof. Din Syamsudin yang kerap mengkritisi bahkan mengusulkan pembubaran BNPT, justru malah terjebak dalam irama tabuhan BNPT yang selama ini represif terhadap situs media Islam yang kerap menelanjangi aliran sesat di depan umat Islam, dengan satu stigma takfiri yang membabi buta. Perhatikan link berikut:

Rekomendasi Toleransi

Rekomendasi soal kerukunan dan toleransi sudah dikeluarkan resmi atas nama organisasi. Nasi sudah menjadi bubur. Namun tak ada salahnya dan belum terlambat untuk tausiyah kepada sesama muslim apalagi ormas Islam besar sekelas Muhammadiyah yang saya kagumi dan banggakan. Apalagi sikap resmi Muhammadiyah terhadap fenomena aliran sesat juga cukup tegas dan melegakan kita semua.

Majalah Tabligh misalnya, yang merupakan terbitan Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam edisi No. 7/IX/Jumadal Awal-Jumadil Akhir 1433 H, hal 5, disebutkan bahwa akhir-akhir ini Syi’ah kembali mendapat sorotan, terlebih setelah muncul kasus di Sampang Madura. Hal tersebut juga mendapat perhatian dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sehingga dalam sidang plenonya telah mengeluarkan sikap yang berhubungan dengan kelompok Syi’ah tersebut.
Pertama: Muhammadiyah meyakini bahwa hanya Nabi Muhammad Rasullullah saw yang Ma’shum. Oleh sebab itu, Muhammadiyah MENOLAK konsep kesucian Imam-imam 12 (ma’shumnya imam-imam) dalam ajaran Syi’ah.
Kedua: Muhammadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad saw tidak menunjuk siapa pun pengganti beliau sebagai Khalifah. Kekhalifahan setelah beliau diserahkan kepada musyawarah umat, jadi kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhum (Khulafa’arrRasyidin) adalah sah. Oleh sebab itu, Muhammadiyah MENOLAK konsep Rafidhahnya Syi’ah.
Ketiga: Muhammadiyah menghormati Sahabat Ali bin Abi Thalib sebagaimana sahabat-sahabat yang lain, tetapi Muhammadiyah MENOLAK meng-Kultus-kan individu terhadap Ali bin Abi Thalib dan keturunannya dan menolak Konsep Ahlul Bait versi Syiah.
Keempat: Syi’ah hanya menerima hadis dari jalur Ahlul Bait, ini berakibat ribuan hadis shahih –walaupun diriwayatkan Bukhari Muslim- ditolak oleh Syi’ah. Dengan demikian, banyak sekali perbedaan antara Syi’ah dan Ahlussunnah baik masalah Aqidah, Ibadah, Munakahat, dan lain-lainnya.

Selain itu, jika kita perhatikan kolom tanya jawab al-Islam di web resmi www.muhammadiyah.or.id ketika menjawab pertanyaan seputar ajaran LDII yang ditengarai masih menganut ajaran Islam Jamaah yang pernah difatwakan sesat oleh MUI pimpinan Buya Hamka (tokoh besar Muhammadiyah) pada tahun 70-an:

Bahwa  LDIl pemah ditetapkan sebagai aliran sesat,  karena dianggap reinkarnasi dari Islam Jamaah. Butir kesesatannya adalah karena di antara paham yang dikembangkan oleh LDll ini adalah paham takfir, yakni menganggap semua orang Islam yang tidak bergabung ke dalam barisannya dianggap sebagai orang kafir. LDll yang didirikan oleh mendiang Nur Hasan Ubaidah Lubis, awalnya bernama Darul Hadis, kemudian berganti nama menjadi Islam Jama’ah, setelah dinyatakan terlarang oleh Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) – Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Karena kembali meresahkan masyarakat, akhirnya dilarang melalui SK Jaksa Agung RI No. Kep.-08/D.A/10. 1971.Setelah itu berganti nama LEMKARI(Lembaga Karyawan Dakwah Islam), pada tahun 1990 dalam Mubes di Asrama Haji Pondok Gede berganti nama menjadi LDII
Untuk diketahui, Pokok-Pokok Ajaran islam Jamaah / LDIl adalah sebagai berikut:
1. Orang Islam di luar kelompok mereka adalah kafir dan najis, termasuk kedua  orangtua sekalipun.
2. Kalau ada orang di luar kelompok mereka yang melakukan shalat di masjid mereka, maka bekas tempat shalatnya dicuci karena dianggap sudah terkena najis.
3. Wajib taat pada amir atau imam mereka.
4. Mati dalam keadaan belum baiat kepada amir/imam LDIl maka akan mati jahiliyah (kafir).
5. Al-Qur an dan Hadits yang boleh diterima adalah yang mankul (yang keluar dari mulut imam/amir mereka) selain itu haram diikuti.
6. Haram mengaji Al-Qur’an dan Hadits kecuali kepada imam/amir mereka.
7. Dosa bisa ditebus kepada sang amir atau imam dan besarnya tebusan tergantung besar kecilnya dosa yang diperbuat dan ditentukan oleh amir/imam.
8. Harus rajin membayar infak, shadaqah dan zakat kepada Amir/Imam mereka. Selain kepada mereka adalah haram.
9. Harta zakat, infak dan shadagah yang sudah diberikan kepada amir/imam haram ditanyakan catatannya atau penggunaannya.
10. Haram membagikan daging Qurban/ zakat fitrah kepada orang Islam di luar kelompoknya
11. Haram shalat di belakang imam yang bukan dari kelompok mereka, kalau terpaksa tidak perlu wudlu dan harus diulang.
12. Haram menikahi orang di luar kelompoknya.
13. Perempuan LDIl kalau mau bertamu di rumah orang selain kelompoknya harus memilih waktu haid (dalam keadaan kotor).
14. Kalau ada orang di luar kelompok mereka bertamu ke rumah mereka maka bekas tempat duduknya harus dicuci karena dianggap najis.
Bahkan di dalam jawaban itu, Muhammadiyah meratifikasi 10 kriteria aliran sesat yang difatwakan oleh MUI Pusat sejak Rakernas MUI tahun 2007 silam yaitu:
1. Mengingkari rukun iman dan rukun Islam
2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah),
3. Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an
4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al-Qur’an
5. Melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah tafsir
6. Mengingkari kedudukan Hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam
7. Melecehkan dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul
8. Mengingkari Nabi Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul terakhir
9. Mengubah pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah
10. Mengkafirkan kaum muslim (takfir) tanpa dalil syar’i
Jadi sangat jelas sekali dari jawaban diatas bahwa salah satu ciri khas yang melekat dalam tubuh aliran sesat adalah doktrin Takfiri terhadap kaum muslimin yang tidak bergabung ke dalam kelompoknya. Sehingga ketika fenomena takfir yang dilancarkan aliran sesat kepada kita yang tidak sepakat dan menentang ajarannya, lalu kemudian diputar balikkan seolah umat Islam mayoritas itulah yang gemar mengkafirkan penganut aliran sesat semacam Ahmadiyah, Syiah dan LDII. Padahal sudah jelas fatwa kesesatan suatu aliran keagamaan yang dikeluarkan oleh MUI tidak otomatis adalah kekafiran dengan segala konsekuensi syar’inya, sebagaimana putusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI di Cikura Tegal.
Umat Islam yang selama ini menjadi korban pengkafiran (takfiri) dari gerakan aliran sesat itu malah saat ini makin merana dituding gemar melakukan takfir terhadap kelompok yang berbeda keyakinan. Baik oleh BNPT, maupun oleh putusan rekomendasi Muktamar Muhammadiyah. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Sehingga tidak kaget kalau pentolan JIL dan para pengekornya sangat senang dan menyanjung setinggi langit “Rekomendasi Toleransi” dalam 13 butir Rekomendasi Muktamar 47 Muhammadiyah di Makassar. Hal itu tidak berlebihan, karena isi butir “Toleransi dan Kerukunan” sangat menohok MUI (terkait dengan fatwa-fatwa kesesatan aliran keagamaan) dan ulama ormas Islam yang gigih berjuang mensosialisasikan fatwa atau rekomendasi fatwa MUI tersebut. Selain kelompok JIL yang dikenal sebagai pembela kaum minoritas, maka yang diuntungkan dari rekomendasi toleransi itu adalah badan-badan dan person tokoh-tokoh yang menakhodai aliran menyimpang beserta pengikutnya di Indonesia.
Kita tentu saja tidak menolak ajakan toleransi dan kerukunan dari manapun datangnya. Namun toleransi dan kerukunan yang tepat sasaran. Bukan malah yang merugikan umat Islam sehingga dapat memicu maraknya penistaan terhadap kemurnian ajaran Islam. Ajakan untuk “mengadakan dialog intra umat Islam serta mengembangkan pemahaman tentang perbedaan keagaaman di antaranya dengan menyusun fiqh khilafiyah” sebagaimana bunyi rekomendasi Muktamar adalah perlu dan baik sepanjang perbedaan itu terjadi di dalam ranah fiqih praktis dalam amaliyah ibadah atau muamalat. Itu yang disebut oleh MUI dalam putusan Ijtima Ulama di Gontor tahun 2006 sebagai taswiyatul manhaj. Bahwa perbedaan yang ditoleransi adalah dalam wilayah pemahaman keagamaan ‘ma alayhi ana wa ashabi’ atau ahlussunnah wal jamaah dalam pengertiannya yang luas. Sedangkan perbedaan jika terjadi di wilayah ushul dan akidah, maka itu bukan lagi wilayah perbedaan yang ditoleransi, tetapi penyimpangan yang perlu diamputasi.
Janganlah dibalik, kita umat Islam tak jarang ditanamkan sikap tidak toleran terhadap praktek amaliyah fiqhiyah di bidang ibadah seperti kaifiyah dan jumlah rakaat tarawih dan witir Ramadhan, qunut shalat Subuh, Yasinan dan tahlilan, serta penetapan hari raya dengan metode rukyat atau hisab, dst, tetapi kita disuruh toleran dan rukun dengan aliran yang menistakan akidah kepungkasan Nabi Muhammad saw, atau yang mengkafirkan dan menistakan kehormatan para pembesar sahabat dan istri Nabi yang mulia, serta menganggapnya itu khilafiyah biasa. Na’dudzu billah min dzalik.
Wallahu a’lam bil-shawab.

Jakarta, 23 Syawal 1436 H/8 Agustus 2015