Muhammadiyah, Dikepung “Islam Nusantara” dan “Islam Kejawen”

Bora Mu’min Al Mushlih

IMM Universitas Muhammadiyah Palembang
Melihat isu “Islam Nusantara” sekarang jadi ingat “Islam Kejawen” dimasa KH.Ahmad Dahlan, sosok sang pencerah yang senantiasa optimis dalam melakukan gerakan tajdid. Menarik sekali ketika zaman KH.Ahmad Dahlan banyak praktik pencampuradukan antara ibadah islam dengan budaya jawa, yang sangat jelas tidak ada tuntunannya dari Al Qur’an dan sunnah Rasulullah.SAW.  Sekarang Allah SWT nampaknya mengingatkan kembali bahwa perjuangan Tajdid itu belum usai dengan maraknya pemikiran “Islam Nusantara” yang membanggakan diri bahwa islam Diindonesia itu harus menyesuaikan dengan budaya nusantara, hal ini sungguh miris.
Gerakan tajdid yang merupakan jiwa dari dakwah muhammadiyah, seakan-akan dirindukan oleh umat islam diindonesia, hal ini membuatku sadar sepertinya Allah.SWT menegur kami para penerus dakwah sang pencerah untuk lebih totalitas lagi dalam berdakwah amar ma’ruf nahi munkar. Tajdid merupakan kata yang diambil dari bahasa Arab yang berkata dasar “Jaddada-Yujaddidu-Tajdiidan” yang artinya memperbarui dan juga tajdid dapat diartikan sebagai pemurnian.  Hal ini seiring dengan salah satu poin dalam ciri perjuangan muhammmadiyah yaitu “muhammadiyah” sebagai gerakan tajdid. Muhammadiyah  sejak semula menempatkan diri sebagai satu organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama Islam sebagaimana tercantum dalam Alquran dan Assunah, sekaligus membersikan amalan umat yang terang-terangan mulai menyimpang. Meski selain gerakan pemurnian seperti ini muhammadiyah juga memandang sifat tajdid dalam persfektif pembaharuan dengan melakukan pembaharuan cara-cara pelaksanaan islam dalam kehidupan bermasyarakat yaitu seperti mendirikan amal usaha baik itu dibidang pendidikan, kesehatan dan lainnya yang senantiasa membawa visi dakwah muhammadiyah sebagai pondasi dasar pelaksanaannya.
Muktamar ke-47 muhammadiyah melahirkan kepemimpinan yang mirip dengan kepemimpinan generasi pertama yaitu dimana pemimpin muhammadiyah dan ‘aisyiyah merupakan pasangan suami istri, hal ini membangun pandangan bahwa muhammadiyah yang mulai memasuki abad ke-2 nya harus benar-benar membuktikan bahwa perjuangan generasi pertama itu dapat dilanjutkan dengan dengan baik oleh generasi di abad ke-2 ini. Harapan saya muhammadiyah kembali bercahaya sebagai pencerah bangsa ini, agar islam berkemajuan bukan hanya mimpi semata.