Semangat Bung Karno Memajukan Islam Bersama Muhammadiyah

Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan adalah tema yang diambil Muhammadiyah untuk Muktamar ke-47 yang akan berlangsung pada 3 – 7 Agustus 2015. Gerakan memajukan tersebut sebenarnya sudah dilakukan sejak dahulu ketika zaman perjuangan.

Ciri khas ajaran Islam di Muhammadiyah adalah pencerahan melalui pendidikan. Presiden RI pertama Sukarno pun pernah ikut mencerahkan anak bangsa lewat Muhammadiyah, ketika diasingkan ke Bengkulu.

“Kemudian aku menjadi pendidik anak-anak. Ketua Muhammadiyah setempat, Pak Hasan Din, datang di suatu pagi tanpa memberi tahu lebih dulu, suatu hal yang biasa di kalangan kami. ‘Di sini,’ ia memulai, ‘Muhammadiyah menyelenggarakan sekolah rendah agama dan kami sedang kekurangan guru. Ketika di Ende, Bung memiliki hubungan yang akrab dengan salah satu organisasi Islam di Bandung, Persatuan Islam, dan kami dengar Bung sepaham dengan pandangan Ahmad Hassan, guru yang terpelajar itu. Apakah Bung bersedia membantu kami menjadi guru?’ ‘Kuanggap permintaan ini sebagai satu kehormatan,’ jawabku,” tutur Bung Karno kepada Cindy Adam yang ditulis dalam buku ‘Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’.

Di salah satu kelas yang diajar oleh Bung Karno itu juga ada Fatmawati, anak Hasan Din yang kelak menjadi Ibu Negara pertama mendampingi dirinya. Sebelum mulai mengajar, Hasan Din juga berpesan kepada Bung Karno untuk tak memasukkan materi politik dalam pelajaran.

“Pasti tidak, kecuali hanya akan kusebut bahwa Nabi Muhammad selalu mengajarkan kecintaan kepada Tanah Air,” jawab Bung Karno saat itu.

Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada tahun 1938 hingga 1942 setelah sebelumnya diasingkan di Ende, Flores. Awalnya Belanda bermaksud membuat Bung Karno sakit malaria dengan diasingkan ke Flores. Namun rupanya di sana dia malah menyebarkan semangat kemerdekaan, sehingga dipindahkan ke Bengkulu.

Di Bengkulu pun sama, lewat perannya sebagai guru, Bung Karno lebih gencar menyebarkan pencerahan untuk merdeka. Bahkan sebuah kelompok debat juga dibentuk oleh Putera Sang Fajar tersebut. Juga sebuah Masjid Jami’ yang kini terletak di Jalan Soeprapto.

Lebih lanjut mengenai kedekatan Bung Karno dengan Muhammadiyah juga pernah dituturkan oleh Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam sebuah kesempatan seperti dilansir situs resmi Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur. Bung Karno menegaskan bahwa sekali Muhammadiyah, selamanya Muhammadiyah.

Bung Karno juga menuliskan pemikirannya mengenai memajukan Islam dalam buku ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ dalam bab ‘Memudakan Pengertian Islam’. Buku yang sempat dilarang pada rezim orde baru itu memang berisi pemikiran yang ditujukan kepada pemuda Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan.

“Nah, suasana yang demikian itulah, saudara-saudara, meliputi jiwa saya tatkala saya buat pertama kali bertemu dengan Kyai Haji Ahmad Dahlan. Datang Kiyai Haji Ahmad Dahlan yang sebagai tadi saya katakan memberi pengertian yang lain tentang agama Islam. Malahan ia mengatakan, sebagai tadi dikatakan oleh salah seorang pembicara: “Benar, umat Islam di Indonesia tertutup sama sekali oleh jumud, tertutup sama sekali oleh khurafat, tertutup sekali oleh bid’ah, tertutup sekali oleh takhayul-takhayul. Dikatakan oleh  DahlanKyai, sebagai tadi dikatakan pula, padahal agama Islam itu agama yang sederhana, yang gampang, yang bersih, yang dapat dilakukan oleh semua manusia, agama yang tidak pentalitan, tanpa pentalit-pentalit, satu agama yang mudah sama sekali,” tutur Haedar Nashir mengutip Bung Karno pada sebuah acara di UMM.

Bung Karno bertemu dengan KH Ahmad Dahlan di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya. Pak Tjokro merupakan ‘bapak kost’ Bung Karno sekaligus sosok yang menginspirasi dirinya untuk menjadi singa podium.

“Nah, dengan demikianlah makin kuatlah, saudara-saudara, keyakinan saya bahwa ada hubungannya erat antara pembangunan agama dan pembangunan tanah air, bangsa, negara dan masyarakat. Maka oleh karena itu, saudara-saudara, kok makin lama makin saya cinta kepada Muhammadiyah. Tatkala umur 15 tahun, saya simpati kepada Kyai Ahmad Dahlan, sehingga mengintil kepadanya, tahun ’38 saya resmi menjadi anggota Muhammadiyah, tahun ’46 saya minta jangan dicoret nama saya dari Muhammadiyah: tahun ’62 ini saya berkata, “moga-moga saya diberi umur panjang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jikalau saya meninggal, supaya saya dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan saja,” tutur Haedar kembali mengutip Bung Karno.

Atas kiprah Bung Karno itu, PP Muhammadiyah juga mengusulkan agar proklamator itu dijadikan pahlawan nasional. Usulan itu diajukan pada tahun 2012 silam lewat MPR.

“Jadi tiga nama yang diusulkan PP Muhammadiyah untuk memperoleh gelar Pahlawan Nasional adalah: Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Abdoel Kahar Moezakir. Kita juga akan mengusulkan Bung Karno dan Bung Hatta,” kata Ketua PP Muhammadiyah Abdul Fattah Wibisono dalam audiensi dengan pimpinan MPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (31/8/2012). (sp/dtk)