PCIM Jerman Raya : “Danke” Mr. Din, “Wilkommen” Ketum PP Muhammadiyah Baru

Hampir dipastikan pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015, organisasi yang telah berusia lebih dari satu abad ini akan memilih ketua umum (ketum) baru beserta jajaran pimpinan lainnya. Din Syamsuddin yang telah memimpin selama dua periode (2005-2015) dipastikan tak bersedia dicalonkan lagi menjadi ketua umum maupun pimpinan di tingkat pusat. Dalam berbagai kesempatan, Din yang kini masih menjabat sebagai ketua umum MUI justru bangga ingin menjadi ketua Ranting Muhammadiyah.
Selama 10 tahun ini setidaknya ada beberapa prestasi yang ditorehkan Din. Pertama, keberhasilan dalam internasionalisasi gerakan dakwah Muhammadiyah. Kedua, mampu menjaga jarak dengan kekuasaan dan bersikap kritis terhadap pemerintah.
Ketiga, tampil menjadi mediator berbagai konflik di Tanah Air maupun di berbagai negara. Keempat, peremajaan pimpinan organisasi di berbagai sektor baik di internal persyarikatan maupun amal usaha (AUM). Kelima, melahirkan gagasan “trisula baru Muhammadiyah” dengan konsen di bidang penanggulangan bencana (MDMC), gerakan peduli zakat infak sedekah (Lazismu), dan pemberdayaan masyarakat (MPM).
Tentu berbagai masalah harus tetap di evaluasi, seperti kurang tegasnya disiplin organisasi dan ideologi, lemahnya gerakan Muhammadiyah di akar rumput, dan tidak ada sinergi sistem organisasi antarlembaga di Muhammadiyah.
Muktamar pertama setelah satu abad ini menjadi momentum penting bagi Muhammadiyah untuk mengonsolidasikan internal organisasi. Panitia Pemilihan Pusat (Panlihpus) telah menetapkan ada 82 bakal calon (balon) anggota formatur PP Muhammadiyah yang lolos verifikasi untuk dipilih dalam Sidang Tanwir menjadi 39 calon tetap. Dari 39 calon, dipilih lagi oleh anggota muktamar sehingga mengerucut menjadi 13 anggota formatur terpilih. Ketiga belas formatur inilah yang akan memilih ketum dan jajaran PP Muhammadiyah yang baru.
Dari 82 balon, setidaknya ada dua tipe kepemimpinan yang akan menjadi ketum baru Muhammadiyah. Pertama, tipe ulama-intelektual, yaitu pemimpin yang memiliki kemampuan keagamaan yang menonjol, muncul dari kalangan akademisi. Beberapa di antaranya Yunahar Ilyas, Syafiq A Mugni, Agung Danarto, Abdul Mu’ti, dan Budi Setiawan.
Kedua, tipe intelektualaktivis adalah pemimpin yang memiliki kemampuan intelektual memadai di bidang ilmu-ilmu sosial, mayoritas mereka adalah kader yang pernah menjadi aktivis organisasi sejak muda. Beberapa nama di antaranya Haedar Nashir, Dah lan Rais, Busyro Muqoddas, Hajriyanto Y Tohari, Khoiruddin Bashori, Agus Sukaca, Muhajir Effendi, dan Bam bang Setiadji. Jenis kelompok ke dua ini di Muhammadiyah jauh lebih ba nyak daripada jenis kelompok pertama.
Kader-kader muda Muhammadiyah lainnya juga cukup potensial untuk me mimpin organisasi ini, seperti Agus Taufiqurrohman, Ahmad-Norma Permata, Jamaluddin Ahmad, dan Hilman Latief. Beberapa calon perempuan juga telah lolos seleksi, seperti Siti Noordjannah Djohantini, Rahmawati Husein, Dyah Siti Nuraini, dan Isnawati Rais. Hal ini me nunjukkan bahwa Muhammadiyah memiliki segudang kader yang yang siap memimpin organisasi ini.
Tantangan Muhammadiyah dari waktu ke waktu tentu berbeda. Kondisi sosio-politik sangat memengaruhi model kepemimpinan yang dicari warga Muhammadiyah. Dari tiga periode ke pemimpinan terakhir, ada perbedaan mencolok antara Amien Rais, Syafii Maarif, dan Din Syamsuddin.
Pertanyaannya, apakah kita akan mencari kriteria ketum baru seperti tiga tokoh itu ataukah malah mundur lagi ke belakang seperti Kiai AR Fachruddin? Tentu semuanya diserahkan pada muktamirin yang memiliki hak suara.
Namun, kondisi Islam di tingkat global maupun domestik serta perkembangan politik kekinian mensyaratkan ketum baru Muhammadiyah harus memiliki kriteria berikut. Pertama, visi internasionalisasi Muhammadiyah. Sebuah riset yang dirilis Pew Research Center pada 2 April 2015 tentang masa depan agama- agama di dunia menunjukkan, Islam ada lah agama yang memiliki pertumbuhan sangat pesat dan menjadi agama terbesar kedua di dunia pada 2050, hampir mendekati populasi umat Kristiani.
Dalam konteks ini, ketum baru Muhammadiyah harus memiliki peran untuk mewujudkan wajah Islam yang rahmatan lil `alamin di tengah mencuatnya ekstremisme Islam. Konsekuensinya, kemampuan berbahasa internasional harus dimiliki, setidaknya Inggris dan Arab.
Kedua, pemimpin yang memiliki jiwa ulama. Sebagai ormas Islam modern terbesar di Indonesia, umat membutuhkan figur umara (pemimpin) yang memiliki jiwa ulama dalam arti mampu menghadirkan wajah Islam yang damai dan mem berikan pencerahan terhadap persoalan umat yang multikompleks.
Ketiga, organisator yang memiliki kemampuan manajerial. Muhammadiyah memiliki struktur organisasi bertingkat (lebih dari 12 ribu ranting dan hampir 4.000 cabang serta cabang istimewa di berbagai negara) dan ribuan amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat. Besar dan luasnya organisasi ini membutuhkan sosok pemimpin yang mampu menyatukan berbagai macam perbedaan antarlembaga itu.
Keempat, mampu menjadi penafsir atas spirit ajaran KH A Dahlan untuk menghadapi tantangan Muhammadiyah pada abad kedua. Ide “Islam Berkemajuan” harus mampu dikontekstualisasikan secara cerdas terhadap realitas saat ini.
Meskipun ketua umum adalah simbol organisasi, Muhammadiyah menganut kepemimpinan kolektif-kolegial. Sistem organisasi diputuskan dan dilaksanakan bersama oleh “13 Dewa” yang terpilih. Karena itu, “13 Dewa” ini harus memiliki unsur-unsur berikut.
Pertama, memenuhi unsur keahlian yang beragam karena Muhammadiyah bergerak hampir di segala sektor. Kedua, kombinasi kepemimpinan tua dan muda (60:40). Ketiga, memiliki kemampuan manajerial yang andal, terutama menghadapi konflik.
Keempat, mampu berkomunikasi dengan generasi muda Muhammadiyah sehingga kaderisasi dapat berjalan baik. Kelima, ikhlas dan tidak memperkaya diri dengan mengatasnamakan Muhammadiyah di segala urusan.
Siapa yang akan memimpin organisasi ini tergantung pilihan bijak muktamirin di Makassar. Satu dekade kepemimpinan Din Syamsuddin harus patut kita apresiasi karena berbagai prestasi telah ditorehkannya. Selamat bermusyawarah, selamat memilih pemimpin baru, dan teruslah berkarya untuk Indonesia berkemajuan.
RIDHO AL-HAMDI

Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Jerman Raya, Studi S3 Ilmu Politik di TU Dortmund University