Satu Simbol Keislaman Kerajaan Mataram Kini Telah Tiada

Oleh: Wahyudi Abdurrahim,Lc
Beberapa waktu lalu, Raja Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan Sabda Raja. Terdapat lima poin Sabda Raja, namun yang paling menimbulkan polemik adalah penghapusan gelar khalifatullah. Apalagi gelar ini sudah melekat pada diri seorang Sultan Yogyakarta ratusan tahun lamanya.
Gelar Khalifatullah untuk seorang raja, dalam pemikiran politik Islam bermakan perwakilan Tuhan. Dengan kata lain bahwa seorang sultan sesungguhnya adalah wakil Tuhan di muka bumi. Ia berwenang untuk mengatur kehidupan rakyatnya sesuai dengan tuntunan syariat. Tidak heran jika gelar tersebut berkaitan erat dengan “sayyidin panatagama”, atau imam dan pemimpin untuk mengatur kehidupan beragama.
Di ranah fikih, soal pemimpin perempuan ini masih menjadi perdebatan. Ada yang membolehkan da nada juga yang melarangnya. Hanya umumnya banyak yang beranggapan bahwa khalifah harus berasal dari kalangan laki-laki.
Sultan Yogya sendiri tidak mempunyai anak laki-laki. Bagaimana kelak tahka kerajaan Yogyakarta? Haruskah khalifah dari kalangan perempuan? Ini menjadi problematik. Untuk menghapus stikma ini, maka khalifah dihapus saja dari gelar kerajaan Mataram.
Jadi penghapusan ini sangat erat kaitannya dengan pengangkatan Gusti Pembayun sebagai Putri Mahkota. Dengan kata lain, penghapusan khalifatullah sekadar pintu pertama untuk mempermudah naiknya Gusti Pembayun sebagai Raja Mataram.
Penghapusan kata khalifatullah ini patut disayangkan. Soal pemimpin perempuan menjadi khilafiyah pernah terjadi dalam sejarah Islam, yaitu sultan Syajaratu ad-Dzur yang menjadi raja Mesir di masa mamalik.
Gelar Khalifatullah ini menjadi simbol dan identitas keislaman Kerajaan Mataram. Ia sebagai bukti bahwa sesungguhnya kerajaan mataram Yogyakarta merupakan kerajaan Islam. Jadi legalitas keislaman keraton Yogyakarta melekat dengan kata khalifatullah ini.
Jika dilihat dari legalitas keislaman kerajaan mataram itu, maka sesunggunya kerajaan Yogyakarta sangat lapang untuk penerapan syariat Islam secara kafah. Sayangnya, selama ini kita tidak pernah menengok tentang legalitas ini. Padahal di tempat lain, untuk mendapatkan legalitas agar syariat Islam bisa diakui, membutuhkan perjuangan panjang. Di kerajaan Mataram, aspek legalitas sudah ada, tinggal bagaimana umat Islam bisa memanfaatkan dengan baik.
Apakah dengan penghapusan khalifatullah ini, identitas sebagai kerajaan Islam akan pudar. Wallahu alam. Yang jelas, satu dari simbol keislaman sudah tidak ada lagi. Semoga saja ini tidak berdampak jauh terhadap keberagamaan di keraton Yogyakarta.
*aktivis PCIM Mesir