Mengenal “Bendera Tauhid” Kasultanan Cirebon dan Yogyakarta

Oleh : Susiyanto, M.Ag
Keberadaan bendera[1] kenegaraan bercorak Islam dengan kelengkapan berupa kalimat tauhid dan petikan ayat Al Quran telah menjadi bagian dari warisan sejarah dan kebudayaan Islam di Indonesia. Dengan mengaca pada sejarah masa lalu bangsa Indonesia, hal ini dapat dilacak kembali jejaknya. Catatan ini akan berupaya membahas tentang 2 (dua) bendera pusaka yang berasal dari Kasultanan Yogyakarta dan Kasultanan Cirebon.
 BENDERA KASULTANAN CIREBON
Bentuk Bendera Kasultanan Cirebon beserta keterangan maknanya. Dok: Susiyanto

Bentuk Bendera Kasultanan Cirebon beserta keterangan maknanya. Dok: Susiyanto
Kunjungan penulis ke Cirebon pada 28 Nopember 2010 rasanya adalah yang paling berkesan. Ini bukan saja kunjungan penulis yang pertama namun juga disertai misi untuk menelusuri seluk-beluk Cirebon mulai dari perjalanan sejarah sejak awal hingga perkembangan dakwah beserta tantangan yang terjadi di sana. Boleh dikatakan kunjungan-kunjungan selanjutnya ke kota wali tersebut adalah untuk menggenapi rangkaian data yang dibutuhkan.
Selama di Cirebon, penulis menyaksikan dan melakukan banyak hal. Mengelilingi Keraton Cirebon, melaksanakan shalat di Masjid Agung “Ciptarasa” Pakungwati, menikmati nasi Jamblang, dan lain-lain. Hal yang paling menarik adalah ketika drh. Bambang Irianto memperlihatkan wujud bendera Kesultanan Cirebon. Memang bukan bentuk aslinya karena hanya melalui foto saja. Meskipun demikian hal ini tidak mengurangi ketertarikan penulis untuk mempelajari bentuk dan makna bendera tersebut. Apalagi yang memberikan penjelasan adalah drh. Bambang Irianto sendiri. Beliau adalah Ketua Pusat Konservasi dan Pemanfaatan Naskah Klasik Cirebon dan sekaligus Penata Budaya Keraton Cirebon. Pak Bambang ini rupanya juga memiliki darah biru di Kasultanan Cirebon. Meskipun tidak menampakkan gelar bangsawannya, akhirnya terungkap bahwa beliau adalah pemilik nama Raden Padmanegara.
Bendera Kasultanan Cirebon berbentuk persegi panjang dengan ujung yang lancip dan memiliki warna dasar biru tua. Menurut sejumlah sumber klasik Cirebon, bendera ini memiliki sebutan “Kad lalancana Singa Barwang Dwajalullah”. Kata “dwajalullah” di atas secara meyakinkan menunjukkan bahwa benda pusaka yang dimaksud merupakan bendera dari sebuah kerajaan (baca: negara) Islam. Kata ini merupakan gabungan antara kata dari Bahasa Sansekerta “dwaja” yang diserap ke dalam Bahasa Kawi dan nama Illah umat Islam yakni Allah. “Dwaja” sendiri artinya “bendera”.[2]Dengan demikian “dwajalullah” bisa dimaknai sebagai “bendera Allah”. Jadi secara keseluruhan nama bendera di atas bisa diterjemahkan sebagai “bendera (milik) Allah dengan lambang (berlencana) singa barong”.
Bagian pangkal bendera bertuliskan bacaan basmallah yang menjadi pangkal tolak semua tindakan. Bagian atas bendera ini bertuliskan Surat Al Ikhlas ayat 1 sampai 4. Hal ini menunjukkan bahwa Kesultanan Cirebon merupakan sebuah kerajaan yang berpayung ajaran tauhid.
‘Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Illah yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlash: 1-4)
Sedangkan dalam bendera bagian bawah terdapat sebaris kutipan dari Surat Al An’aam ayat 103: “laa tudrikuhul abshaaru wa huwa yudrikul abshaara wa huwallathiiful khabiir” yang artinya ”Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui”. Penggunaan ayat tersebut menunjukkan sifat kerajaan yang merasakan adanya pengawasan Allah. Ayat tersebut menunjukkan lemahnya penglihatan manusia dibandingkan kesempurnaan penglihatan Allah. Tiada sesuatu pun yang dapat melihat-Nya, sedangkan Dia melihat semua makhluk. Menurut tafsir Ibnu Katsir ayat tersebut bukan berarti menafikan bahwa manusia dapat melihat Allah di hari kiamat kelak. Di akhir zaman Allah akan memperlihatkan diri kepada kaum mukminin menurut apa yang dikehendaki-Nya. Adapun keagungan dan kebesaran-Nya, sesuai dengan zat-Nya Yang Maha tinggi lagi Maha suci serta Maha bersih, tidak dapat dicapai oleh pandangan mata.
Bagian pangkal bendera bertuliskan bacaan “Bismillahirrahmanirrahim” menunjukkan bahwa kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam yang senantiasa mendasarkan segala pemikiran, tindakan, dan memulai segala sesuatu berdasarkan atas nama Allah. Sedangkan bagian ujung terdapat kutipan dari Al Quran Surat Ash Shaaf ayat 13 yang menunjukkan tujuan utama dari kerajaan Cirebon untuk memperoleh karunia pertolongan dan kemenangan dari Allah: “nashru minallah wa fathan qariib“ (pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat)”. Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa pertolongan dari Allah dan kemenangan yang nyata ini bisa diperoleh dengan mentaati Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya serta menolong agama-Nya.
Stempel Sultan Abdul Qadir Muhyiddin dari Kasultanan Tanette berbetuk Pedang Bermata Dua

Stempel Sultan Abdul Qadir Muhyiddin dari Kasultanan Tanette berbetuk Pedang Bermata Dua dalam salah satu suratnya. (Dok. Mu’jizah)
Keberadaan golok bercabang dan lambang singa memiliki sejumlah penafsiran. Menurut drh. Bambang Irianto, Singa barwang atau macan Ali menunjukkan sifat keberanian dan keperwiraan.  Sedangkan pedang bermata dua atau golok cabang merupakan simbol dari pedang dzulfaqar. Motif mirip golok cabang, sebagaimana terdapat dalam bendera Kasultanan Cirebon, nampaknya merupakan simbol yang secara umum juga dimiliki oleh sejumlah Kasultanan Islam di Nusantara. Kasultanan Yogyakarta memiliki lambang serupa dalam bendera kerajaan yang disebut Kanjeng Kyai Tunggul Wulung. Stempel resmi milik Sultan Abdul Qadir Muhyiddin (1768-1807), raja Kasultanan Tanette – Sulawesi, diketahui juga menggunakan simbol pedang bermata dua yang bertuliskan aksara bugis: “Ca’na arunge ri Tanette ri asenge Abedollo Kadere Muheudini to mapesonangengngi ri Alla taala sininagauna” (Cap raja Tanette bernama Abdul Qadir Muhyiddin, yang mempercayakan semua pekerjaannya kepada Allah yang Maha Tinggi).[3]
Dalam sejumlah karya sastra klasik Cirebon, penafsiran terhadap keberadaan simbol singa dan golok bercabang dua tersebut juga dapat ditemukan. Dalam pengajaran Syaikh Nurjati kepada Somadullah (Pangeran Walang Sungsang, Putra Prabu Siliwangi) digambarkan keterangan sebagai berikut:
“ … Lalu engkau diberi pula golok cabang yang dapat berbicara dan dapat terbang. Dapat mengalahkan singa, dapat menghancurkan gunung yang gagah perkasa, dan dapat pula mengeringkan air laut yang sedang meluap-luap. Nama golok cabang itu berasal dari perkataan khuliqa lisab’ati asyyaa-a”, artinya dijadikan untuk tujuh perkara. Maksudnya jika engkau menghendaki mendapatkan apa yang engkau kehendaki, engkau harus menghadapi ketetapan anggota badan yang tujuh, ialah anggota sujud. Jelasnya, jika engkau ingin mencapai segala sesuatu, hendaknya engkau tunduk sujud kepada Allah.”[4]
Babad Tanah Sunda – Babad Cirebon versi Sulaeman Sulendraningrat justru menyediakan pemaknaan bersifat mistik terhadap keberadaan golok cabang. Tersirat pernyataan bahwa golok inilah yang mampu mengeliminasi superioritas dan kuasa para dewa dalam pantheon Hinduisme. Nampaknya pemaknaan secara luas terhadap golok cabang ini memang semestinya diarahkan sebagai representasi kehadiran Islam itu sendiri di tanah Cirebon. Babad yang dimaksud bercerita demikian: “Ini golok cabang pusaka para leluhur terimalah. Ini golok bisa bicara bahasa manusia dan bisa terbang dan bisa keluar api, tiap yang terkena niscaya lebur, walaupun dewa tidak tahan, gunung ambruk dan laut kering”.[5]
Sedangkan lambang singa (sebenarnya: harimau) sebelum masuknya Islam di tanah Cirebon sering diidentikkan dengan simbol kerajaan Pajajaran, sebuah kerajaan Hindhu dan Budha. Kesenian Genjring memposisikan simbol singa sebagai perwujudan Bathari Durga, dewi kejahatan dalam Hindu yang kemudian berhasil diislamkan. Tubuh singa dalam bendera tersebut menunjukkan kecenderungan penafsiran dengan makna ini. Menurut tradisi tutur yang berkembang, singa barwang dalam bendera ini berhiaskan ornamen kaligrafi kalimat tauhid “Laa ilaha illallah” (Tiada illah selain Allah). Dengan mengikuti tradisi ini maka lambang Singa dan Golok Cabang itu melambangkan Islam yang mampu menaklukkan anasir Hinduisme.
 Dakwah awal di Cirebon memang tidak bisa tidak harus dihubungkan dengan runtuhnya supremasi Hinduisme di lingkungan Praja Pajajaran. Proses itu menurut tradisi dimulai ketika keturunan Prabu Siliwangi mulai menerima Islam. Syaikh Nurjati merupakan salah satu perintis dakwah di Cirebon. Nama kecilnya adalah Datul Kahfi bin Syaikh Ahmad. Ia pernah menuntut ilmu di Makkah dan bermukim di Baghdad. Selanjutnya ia melakukan perjalanan ke Jawa dan menetap di sebuah bukit kecil bernama Giri Amparan Jati. Dari sinilah dakwahnya dimulai dan secara berangsur-angsur memperoleh murid. Di antara murid yang pernah berguru kepadanya adalah dua orang putra-putri Prabu Siliwangi, yaitu Raden Walang Sungsang dan Nyai Rarasantang.[6] Raden Walang Sungsang yang kemudian dikenal sebutan Cakrabumi dan Cakrabuana  inilah yang telah mengembangkan Cirebon sehingga menjadi sebuah pust penyebaran agama Islam di Jawa. Ketika masih menimba ilmu sebagai murid Syaikh Nur Jati dirinya diberi namaSomadullah yang dalam sejumlah babad diidentifikasi sebagai pemilik golok cabang.
BENDERA KASULTANAN YOGYAKARTA
Sketsa kasar bendera Pusaka Kraton Yogyakarta bernama Kanjeng Kyai Tunggul Wulung. (Dok. PS)

Sketsa kasar bendera Pusaka Kraton Yogyakarta bernama Kanjeng Kyai Tunggul Wulung. (Dok. PS)
Sejak awal Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan pewaris dan penerus Kesultanan Mataram Islam, yang memegang nilai-nilai kepemimpinan berdasarkan syari’at Islam. Nilai-nilai syari’at Islam itu kemudian diaktualisasikan dalam bungkus budaya Jawa. A. Adaby Darban memperlihatkan bukti bahwa dalam ihwal ilmu pemerintahan dan ketatanegaraan, etika pemerintahan raja digambarkan dengan mengupas sejumlah sifat yang dihubungkan dengan Allah seperti jalalullahjamalullah,kamalullahkaharullahqudratiradatkhayatsama’,basharkalam, dan wahdaniyat. Tema-tema ini terangkum secara jelas dalam kitab bernama Kanjeng Kyai Surya Raja.[7]
Kraton Kasultanan Ngayogyakarta memiliki bendera pusaka yang dikenal dengan nama Kanjeng Kyai Tunggul Wulung. Nama ini nampaknya mengacu pada kainnya yang berwarna hitam bersemu biru tua atau dalam istilah Jawa disebut warna wulung. Bendera berbentuk persegi ini dibuat dari potongan kain kiswah (selubung penutup Ka’bah) sebagai hadiah seorang Sayid besar di Makkah saat penobatan Pangeran Harya Mangkubumi sebagai Susuhunan Paku Buwana Senapati Mataram (gelar ini berbeda dengan gelar Sunan Pakubuwana di Surakarta) atau Susuhunan Kabanaran (karena penobatan dilakukan di Banaran, sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kulon Progo) tanggal 1 Sura tahun Alif 1675 atau 11 Desember 1749. Kain ini lantas dibuat menjadi bendera atau panji kerajaan pada masa Pangeran Mangkubumi bertahta di Ngayogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I.[8]
Bagi sebagian masyarakat Nusantara, kepemilikan terhadap potongan kain kiswah semacam ini seringkali dihubungkan dengan suatu keyakinan spiritual tertentu. Maka tidak mengherankan jika ada dari jama’ah haji Indonesia yang bersedia membeli potongan-potongan kiswah yang sudah tidak terpakai.[9] Atas alasan itu pula, maka sebuah bendera yang dibuat dari potongan kiswah dianggap memiliki nilai spiritual yang tinggi oleh masyarakat.
Seorang abdi dalem sedang memegang bendera Kanjeng Kyai Tunggul Wulung.

Seorang abdi dalem sedang memegang bendera Kanjeng Kyai Tunggul Wulung.
Motif yang ada dalam bendera ini adalah sebentuk pedang bermata dua. Bentuk pedang ini mirip dengan lambang golok cabang yang sama terpampang dibendera Kasultanan Cirebon maupun dalam stempel Sultan Abdul Qadir Muhyiddin (1768-1807) dari Kasultanan Tanette di Sulawesi. Pedang bercabang ini menurut salah satu tafsir merupakan hasil stilisasi dari huruf lam alif, huruf pertama dari kalimat tauhid “laa ilaaha illallah”.
 Di bilah pedang tersebut terdapat tulisan Arabic antara lain dua kalimat syahadat sebagai tanda persaksian atas keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad, beberapa nama Allah yang berasal dari Asmaul Husna, dan Surat Al-Kautsar. Surat Alkautsar sendiri adalah salah satu surat dalam Al Quran yang memerintahkan manusia untuk mengerjakan shalat dan berkurban sebagai tanda rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah dianugerahkan.
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (QS. Alkautsar: 1-3)
Bendera ini biasanya dikeluarkan oleh Kraton dalam upacara-upacara tertentu seperti Grebeg Mulud atau upacara tolak balak. Diantaranya saat Yogyakarta mengalami wabah influenza, bendera Kyai Tunggul Wulung pernah dikeluarkan di Malam Jum’at Kliwon 2 Mulud Tahun Wawu 1849 atau 6 Desember 1918. Juga pernah dikeluarkan dalam upacara yang sama pada Malam Jumat Kliwon 22 Januari 1932, dan terakhir kali pada tahun 1948.[10]
Bendera Kanjeng Kyai Tunggul Wulung (sebelah kiri) dan bendera Pare Anom (sebelah kanan) sedang dibawa abdi dalem keluar dari Kraton. (Dok. PS)

Bendera Kanjeng Kyai Tunggul Wulung (sebelah kiri) dan bendera Pare Anom (sebelah kanan) sedang dibawa abdi dalem keluar dari Kraton. (Dok. PS)
Bendera yang sekarang sering dipakai Keraton Yogyakarta dalam upacara adalah bendera Putran(tiruan) yang dibuat pada masa Sultan Hamengkubuwana VII. Proses pembuatannya dimulai pada hari Jum’at Kliwon 12 Besar Tahun Jimakir 1834 atau 17 Februari 1905 dan selesai pembuatannya pada hari Kamis Pon 25 Besar Jimakir 1834 atau 2 Maret 1905. Bendera ini dibuat mirip dengan aslinya dan diberi nama Kanjeng Kyai Santri. Sedangkan tongkat benderanya diberi nama Kyai Duda namun kemudian lebih dikenal dengan nama Kyai Slamet. Sebelumnya pada masa Sultan Hamengkubuwana V juga telah dibuat bendera pusaka yang disebut Kanjeng Kyai Pare Anom. Bendera yang disebut terakhir ini kemudian juga dibuat tiruannya mulai hari Jum’at Wage 26  Besar Jimakir 1834 atau 3 Maret 1905 dan diselesaikan pada hari Jumat Kliwon 22 Sapar Alif 1825 atau 28 April 1905. Selanjutnya bendera-bendera itu, baik asli maupun putran, ditempatkan di Gedhong Hinggil, yang terletak di sebelah barat Masjid Panepen.[11]
Awalnya bendera-bendera pusaka ini dikeluarkan dalam upacara penting semacam Grebeg Mulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Dari Gedhong Hinggil pusaka ini dibawa ke Bangsal Witana berdekatan dengan Sultan yang sedang dihadap para abdi dalem dalam Pasewakan. Bendera ini lantas dibawa keluar ke serambi masjid agung. Namun sekarang bendera tersebut hanya dikeluarkan di Bangsal Kencana saja. Hal ini dilakukan mengingat usia bendera tersebut yang sudah semakin menua.

FOOTNOTE
[1] Kata “bendera” pertama kali masuk ke dalam Bahasa Indonesia sebagai pengaruh dari penjajahan bangsa Spanyol dan Portugis. Dalam Bahasa Italia, yang termasuk rumpun Bahasa Romawi, kata ini berbunyi “bandiera”. Kata benderaini selanjutnya menjadi kata yang populer di kalangan masyarakat Indonesia dibanding sebutan dalam bahasa setempat untuk benda yang sama diantaranya tunggulpanjimerawaldwajapataka, dan lain sebagainya. Dalam Bahasa Jawa kata “bendera” diserap menjadi “bandera” atau “gendera”. Lihat: Mr. Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Mérah-Putih, Jakarta: Penerbitan Siguntang, 1951, hlm. 42
[2] Lihat: Mr. Muhammad Yamin, 6000 Tahun …, hlm. 42; C.F. Winter Sr. dan R. Ng. Ranggawarsita, Kamus Kawi-Jawa, Cetakan XVIII, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003, hlm. 43; Sabari, Kamus Basa Jawi, Surakarta: Seti-Aji, 2005, hlm. 50
[3] Stempel ini secara resmi digunakan dalam surat menyurat yang dilakukan oleh Sultan Abdul Qadir Muhyiddin. Surat-surat sultan dari Tanette tersebut didokumentasikan dalam: Mu’jizah, Iluminasi dalam Surat-surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19, Jakarta: Gramedia, 2009, hlm. 136-143
[4] Lihat: drh. H. Bambang Irianto dan Siti Fatimah, M. Hum, Syekh Nurjati (Syaikh Datul Kahfi): Perintis Dakwah dan Pendidikan. Cirebon: STAIN Press, 2009, hlm. 22-23
[5] Lihat: P.S. Sulendraningrat, Babad Tanah Sunda-Babad Cirebon, Cirebon: TP, 1984, hlm. 9
[6] H. Bambang Irianto, Syekh Nurjati (Syaikh Datul Kahfi): Perintis Dakwah dan Pendidikan. Cirebon: STAIN Press, 2009, hlm. 1-15; Lihat juga: Dr. Muhaimin Ag, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, hlm. 235-237; Kedua putra Prabu Siliwangi tersebut merupakan anak dari pasangannya yang bernama Nyai Subang Krancang atau Nyai Subang Larang. Suatu ketika Raden Jayadewata atau Pamanah Rasa, yaitu nama Prabu Siliwangi muda, memenangkan sayembara berhasil memenangkan sayembara pertarungan untuk bisa melamar Nyai Subang Karancang (Larang) yang menjadi murid Syekh Quro. Raden Pamanah Rasa diberi juga syarat agar mencari Kartika kertiyang berjumlah seratus biji. (maksudnya tasbih). Prabu Siliwangi kemudian diceritakan masuk Islam meskipun tidak untuk seterusnya. Setelah sang istri wafat ia lantas kembali kepada keyakinan lamanya. Dari hasil perkawinan dengan Nyai Subang Larang Prabu Siliwangi memiliki 3 putra yaitu Raden Walang Sungsang (lahir 1423) dan Nyai Lara atau Rara Santang (lahir 1426), dan Raja Sengara lahir 1428. Lihat: Prof. Dr. H. Rokhmin Dahuri, MS, Drh. Bambang Irianto, BA, dan Eva Nur Arovah, Sag. Mhum, Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi, Jakarta: Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, 2004, hlm. 56
[7] Lihat: Kanjeng Kyai Suryaraja: Kitab Pusaka Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2002, hlm. 40
[8] Hugo M. Satyapara, Ngawekani Pageblug Kanthi Miyose Kangjeng Kyai Tunggul Wulung, dalam Panjebar Semangat No. 25 / 19 Juni 2010, Surabaya, hlm. 8
[9] Prof. Dr. H. Aboebakar Aceh, Sejarah Ka’bah dan Manasik Haji, Cetakan IV, Surakarta: Ramadhani, 1984, hlm. 116
[10] Hugo M. Satyapara, Ngawekani Pageblug …, hlm. 9
[11] Hugo M. Satyapara, Ngawekani Pageblug …, hlm. 8-9
susiyanto.com