Kaderisasi Muhammadiyah Dinilai Belum Optimal

Sistem pengaderan Muhammadiyah hingga kini dinilai belum optimal. Padahal jika kaderisasi tidak disiapkan dengan baik, organisasi seperti Muhammadiyah ini akan hancur. 
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin mengatakan, sistem kaderisasi Muhammadiyah yang diorganisasi Hizbul Wathan (gerakan kepanduan persiapan kader Muhammadiyah) dan juga lembaga kependidikan organisasi Muhammadiyah dari jenjang SD hingga perguruan tinggi Muhammadiyah, belum optimal melahirkan kader yang sesuai dengan zaman. 
Padahal, Muhammadiyah bisa bertahan hingga melewati satu abad ini karena ketersediaan kader dan generasi penerusnya. ”Jika suatu gerakan tidak menyiapkan generasi penerus, gerakan itu akan hancur dalam 30 tahun. Dari kedua sumber itu, pengaderan dimulai dan saya meminta mereka harus optimal melakukan pengaderisasi,” katanya dalam seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Kampus Uhamka kemarin. 
Din menjelaskan, kaderisasi menjadi penting karena ketersediaan kaderlah yang menjadi motor penggerak organisasi Muhammadiyah berjalan terus dari masa ke masa. Sayangnya, kedua lembaga pengaderan itu dinilai Din melemah kinerjanya. Kedua lembaga tersebut pun tidak sepenuhnya menjadi sarana pengaderan karena terlalu sibuk dengan nostalgia masa lalu. 
Maka itu, dia pun meminta ada perbaikan kaderisasi agar nasib Muhammadiyah tidak seperti organisasi lain di seluruh dunia yang hancur karena ketidaktersediaan kader mumpuni. Lebih lanjut Din mengatakan, proses pengaderan saat ini terlalu banyak terkooptasi kepentingan politik. Mayoritas kader yang dididik pun hanya ingin menjadi politikus semata. Mereka memaksa kepentingan partai dibawa masuk Muhammadiyah dan bukan sebaliknya. 
Dia menjelaskan, kader Muhammadiyah yang ingin menjadi politikus memang bagus, namun harus dengan syarat dia mampu menjadi politikus handal yang bisa melakukan perubahan. ”Sayangnya dengan sistem kepartaian saat ini kalau kader itu tidak kuat, maka dia tidak bisa menjadi penentu, melainkan hanya menjadi pembantu saja,” ungkapnya. 
Hadir juga sebagai pembicara, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas yang mengatakan bahwa korupsi sistemik yang marak terjadi di Indonesia disebabkan banyak elite parpol yang tidak jujur. Busyro mengatakan, ada hubungan korelasional yang saling memengaruhi antara kepentingan politik elite parpol dan pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif. 
Jika elite parpol jujur maka tiga kekuasaan itu harus disterilkan dari kepentingan sesaat parpol, sehingga ketiganya mampu menjaga independensinya untuk kepentingan rakyat. ”Tetapi faktanya corruption by design di sektor legislasi dan kebijakan publik lain menegaskan adanya peran langsung tidak langsung institusi parpol,” kata Busyro. 
Busyro menjelaskan, parpol yang kini menjadi industri kekuasaan lebih banyak menghasilkan politisi daripada kader bangsa yang memperjuangkan hak asasi bangsa. Terlebih DPR dan DPRD lebih menjadi ajang kepentingan dan konflik antarfraksi. Konflik terjadi bukan karena kepentingan bangsa, melainkan karena ego dan kepentingan asing. 
Rektor Uhamka Suyatno menambahkan, lembaga pendidikan Muhammadiyah memang perlu mereformasi sistem pengaderannya. Namun, dia mengakui perlu waktu panjang untuk menghasilkan kader seperti yang diinginkan Din. Ke depan, ujarnya, diperlukan lembaga pendidikan yang bisa menyiapkan kader per masingmasing bidang. (sp/sindo)