Ber-Muhammadiyah, Kenapa Tidak?

Oleh: Ustadz Muhsin Haryanto
Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta
Kyai Ahmad Dahlan -menurut penuturan Kyai Hadjid, salah seorang murid setia beliau- pernah mengajukan dua pertanyaan yang sangat sederhana dan sangat mudah dipahami. Dan andaikata siapa pun mau menjawab, sebenarnya juga sangat mudah. Pertama, “apa saudara-saudara tahu betul apa agama Islam itu?” Kedua, “apa saudara berani beragama Islam?” Pada saat beliau bertanya dalam majelisnya, tidak ada satu pun dari yang hadir yang sanggup menjawab pertanyaan itu, termasuk Haji Agus Salim. Bukannya tidak bisa, sebab mana mungkin ditanya soal Islam begitu saja tidak tahu. Tetapi, ketika ditanya “Beranikah kamu beragama Islam?” Mereka tahu persis yang ditanyakan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu. Hadjid muda, menyatakan, “Bukan main tulusnya pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu”. Sebenarnya pertanyaan itu sederhana, tetapi tidak ada yang sanggup menjawabnya.
Kata guru saya, Allâhuyarhamhu, Ustadz HMS Ibnu Juraimi, dua pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu, hingga sekarang baru terjawab satu. Yaitu pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya, pada tahun 1978. Jawaban itu berupa keputusan tentang Ideologi Islam, Pokok-Pokok Pikiran tentang ‘Dienul Islam’, yang konsepnya dari Ustadz, Allâhuyarhamhu, HM Djindar Tamimy. Jadi, setelah kira-kira 56 tahun baru terjawab satu pertanyaan. Sedangkan pertanyaan yang kedua, sampai sekarang ini belum ada yang berani menjawab. Tahun 1960, kebetulan guru saya masih sering mendengar, ada ungkapan Kyai Dahlan yang menarik, “Durung Islam temenan, nek durung wani mbeset kuliti dewe” (Belum Islam sungguh-sungguh, kalau belum berani mengelupas kulitnya sendiri).
Mengenai pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu, ‘apa Islam itu’, bisa dibuka pada Pelajaran Kyai Haji Ahmad Dahlan. Bagi KHR Hadjid, Kyai Dahlan dalam mengungkap ayat itu menarik sekali. Ayat yang diungkap adalah ayat yang sudah populer. Bahkan menjadi bacaan harian mereka yang membaca doa iftitah shalat menggunakan hadis riwayat Imam Muslim (Wajjahtu wajhiya…). Buku itu mengungkap dan mengajarkan bagaimana Islam itu. Ternyata, setelah sekian tahun bermuhammadiyah Kyai Dahlan baru sanggup mengaplikasikan dan merealisisasikan ajaran al-Quran tidak lebih dari 50 ayat. Dua ayat di antaranya ada dalam QS al-An’âm [6]: 162-163,
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (١٦٢) لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (١٦٣(
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku,ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan Semesta Alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.
Dalam salah satu kitab tafsir diungkap, bahwa ayat ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Kata-kata dalam ayat al-Quran yang menyebut aslama-yuslimu-aslim, muncul dari Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Jadi, awwalul muslimîn itu Ibrahim ‘alaihis salam, sedang wa ana minal muslimîn itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Maka di dalam doa iftitah yang diucapkan dalam bacaan shalat tadi boleh dipilih antara awwalul muslimîn atau wa ana minal muslimîn. Qul, katakanlah (Muhammad), inna shalâtî, sungguh shalatku; wa nusukî, dan pengurbananku;wa mahyâya, dan kiprah hidupku; wa mamâtî, dan tujuan matiku; lillâh, hanya untuk dan karena Allah; rabbil ‘âlamîn, pengatur alam semesta. Lâ syarîkalah, tidak ada sekutu bagi-Nya; wa bidzâlika umirtu, dan dengan itu aku diperintah; wa ana awwalul muslimîn, dan aku orang yang pertama, pasrah, setia tunduk kepada Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ. Âmîn yâ rabbal ‘âlamîn. Kata guru saya – Ustadz HMS Ibnu Juraimi – “itu makna yang populer, kecuali kata nusuk yang saya terjemahkan menjadi pengurbananku”. Pada hampir semua terjemahan, nusuk diartikan ‘ibadah’. Mengenai tafsirnya, kebetulan tidak sempat saya catat, tetapi saya punya kitabnya, nusuk bukan berarti ibadah. Yang berarti ibadah adalah nasakun. Nusuk artinya menyembelih kurban. Maka saya artikan, nusukî adalah pengurbananku. Jadi, “shalatku, pengurbananku, hidup matiku, lillâhi rabbil ‘âlamîn”.
Selanjutnya dinyatakan bahwa bermuhammadiyah itu bisa dimaknai dalam lima kategori:
Pertama, Bermuhammadiyah adalah Berislam
Kedua, Bermuhammadiyah adalah Berdakwah
Ketiga, Bermuhammadiyah adalah Berorganisasi
Keempat, Bermuhammadiyah adalah Berjuang
Kelima, Bermuhammadiyah adalah Berkurban.
Padahal, seakarang ini, berdasarkan pengamatan para tokoh Muhammadiyah, sebagaimana yang dikuti oleh M. Choirul Amin — Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis. Pustaka dan Informasi — di lapangan sedikitnya ada empat motif (alasan) mengapa orang tertarik dan ingin menjadi anggota Muhammadiyah.
Motif pertama, adalah ia ingin mencari penghidupan dengan jalan menginfakkan tenaga dan pikiran di perguruan–perguruan Muhammadiyah. Misalnya menjadi guru, dosen atau tenaga non-pendidikan. Dengan demikian ia bisa melangsungkan hajat hidupnya tanpa terbebani oleh hal-hal lain di luar profesinya – pokoknya ‘saya’ mengajar kemudian dapat upah titik – soal-soal lainnya itu urusan pengurus Muhammadiyah setempat. Dengan lain perkataan ia ber-Muhammadiyah ibarat numpang makan, minum dan tidur. Secara sosio-psikologis keterlibatannya dalam ber-Muhammadiyah, bermotif biogenetik.
Sedikitkah jumlah mereka? Sangat banyak jumlahnya, saking banyaknya penulis tidak mampu un tuk menghitungnya. Kalau tidak percaya silahkan pembaca menghitung sendiri. Mudah-mudahan Anda sendiri tidak termasuk kelompok ini.
Motif yang kedua, orang tertarik Muhammadiyah dan ingin menjadi anggota bahkan rela menjadi pengurus, karena hal tersebut dianggap sebagai batu loncatan yang efektif guna menggapai sesuatu yang lebih baik. Setidaknya untuk menjaga image (citra diri) di masyarakat. Misalnya seorang mantan pejabat, tokoh masyarakat atau orang terpandang di komunitas tertentu, rasanya akan lebih dihormati manakala ia bergabung dan aktif di setiap kegiatan yang ada di ormas tersebut, bila perlu ia rela mengorbankan waktu dan hartanya, demi cita-citanya. Dengan demikian, nama beliau akan mudah dikenal oleh masyarakat tidak terkecuali warga ormas itu sendiri. Dengan modal popularitas dan finansial yang dimilikinya bukan hal yang sulit baginya untuk menggunakan momen-momen itu dijadikan jembatan (untuk) meraih keuntungan yang lebih besar, misalnya dengan mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dengan logika kaum pedagang, pada umumnya pengorbanan yang ia keluarkan harus memeroleh ganti, yaitu dukungan “suara” atas namanya. Bila ternyata ia terpilih menjadi anggota Dewan yang “terhormat”, jelas kesejahteraan hidupnya terjamin. Namun sayang, seiring berjalannya waktu terkadang sang anggota dewan terjebak oleh kesibukan dan mulai melupakan nama ormas dan anggotanya yang dulu pendukung setianya. Dengan kata lain motif anggota dewan tersebut dapat diibaratkan seperti numpang lewat; artinya ia jadikan ormas sebagai kendaraan politik demi ambisinya. Secara sosiologis, motif ber-Muhammadiyah orang tersebut termasuk bermotif sosiogenetik.
Jumlah kelompok yang kedua ini tidak terlalu banyak, tetapi dampak politis dan psikologisnya lebih dahsyat dibanding dengan kelompok yang pertama. Mengapa? Karena mereka ini tergolong elit dan memunyai kekuasaan. Bila mereka tidak bisa menjalankan amanat rakyat yang diembannya bisa-bisa nama Persyarikatan menjadi rusak dan menyisakan rasa kecewa yang berkelanjutan.
Motif ketiga, mengapa seseorang tertarik terhadap Muhammadiyah tanpa harus menjadi anggota resmi Muhammadiyah ‘alias’ ia hanya sebagai anggota/simpatisan. Keberadaannya di Muhammadiyah hanyalah pelengkap kalau tidak mau dibilang penggembira. Namun demikian kesungguhannya dalam mengikuti kegiatan Muhammadiyah tidak perlu diragukan: ia rajin ikut shalat berjama’ah, rela menjadi donatur tetap dan tidak keberatan bila diminta datang ke tempat-tempat pengajian, tetapi dia – hamper selalu — menolak untuk didaftar sebagai anggota resmi, apalagi untuk dicalonkan menjadi pengurus Muhammadiyah. Baginya ia bergaul dan bergabung dengan warga Muhammadiyah bukan untuk mengejar popularitas atau yang lainnya. Keber-Muhammadiyahan-nya lebih didorong oleh rasa simpatiknya terhadap ormas tersebut. Karena menurutnya Muhammadiyah adalah satu dari dua ormas Islam terbesar di Indonesia yang menaruh perhatian besar pada rakyat yang tidak berdaya baik secara ekonomis maupun edukatif. Jadi boleh dikatakan bahwa motif orang ini ber-Muhammadiyah bisa diibaratkan ‘numpang surga’.
Banyakkah orang yang bermuhammadiyah model seperti ini? Jawabnya tentu banyak. Namun sulit dipastikan karena di samping mereka juga tidak ber-KTA (Kartu Tanda Anggota), mereka tidak mau tampil secara terang-terangan di muka umum, ‘alias’ lebih ‘enjoy’, berada di belakang layar
Motif keempat, mengapa orang tertarik dan ingin ber-Muhammadiyah karena ia yakin, bahwa dengan ber-Muhammadiyah hidupnya tidak akan sia-sia di dunia dan (juga) akherat. Baginya ber-Muhammadiyah itu harus berani berkorban tanpa disisipi oleh keinginan-keinginan lain. Ia benar-benar berhimmah (bertekad) untuk menginfakkan harta, tenaga, waktu serta pikirannya demi tegaknya ‘Islam’. Dalam bahasa agamaia ber-Muhammadiyah secara lillâhi ta’âlâ. Dengan kata lain motifber-Muhammadiyahnya adalah: bermotif teogenetik.
Dari Keempat motif (alasan) di atas, mana yang lebih sesuai dengan wasiat Kyai Dahlan? Yaitu, bagaimana orang Muhammadiyah seharusnya mau “menghidup-hidupkan Muhammadiyah”? Jawabnya sudah jelas yaitu: “kelompok yang keempat”.
Nah, kini saatnya kita mulai bermuhammadiyah dengan ‘benerl an pener’ (benar dan proporsional). Bermuhammadiyah, tidak sekadar berada di kepengurusan, apalagi sekadar ber-KTA, tanpa ruh (spirit) bermuhammadiyah yang benar. Tetapi di mana saja kita berada “kita bangun akhlak mulia dengan panduan nilai-nilai Islam yang tersurat dan tersirat dalam al-Quran mapun as-Sunnah ash-Shahîhah”. Meminjam ungkapan guru saya, Ustadz HMS Ibnu Juraimi, kita seharusnya bisa bermuhammadiyah dalam lima matra: “Berislam, Berdakwah, Berorganisasi, Berjuang dan Berkurban”, agar cita-cita KHA Dahlan bisa terwujud: “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”, dalam ranah privat maupun publik.
Insyâallâh.
*) Tulisan ini adalah bagian dari dokumentasi penulis ketika penulis ‘ngaji’ tentang ‘Muhammadiyah’ bersama dengan Ustadz HM Djindar Tamimy, Ustadz HMS Ibnu Juraimi (Allâhu Yarhamhumâ).