Memupuk Budaya Tabayyun

Oleh: Asma Nadia

Ada satu adegan menarik dalam film PK yang sukses menjadi film terlaris sepanjang sejarah film India. Dalam adegan tersebut, PK (tokoh pemeran utama yang berasal dari planet lain) membawa beberapa pemeluk agama ke sebuah ruang pertemuan orang suci.

Orang pertama berjanggut dan berpeci, orang kedua yang terlihat klimis mengenakan jubah pendeta lengkap dengan kalung salibnya, orang ketiga berbaju pandita Hindu, sementara sosok keempat berkepala plontos dengan baju biksu.

Lalu, PK bertanya pada lawan bicaranya, pemimpin yang dikultuskan, apakah ia tahu agama yang dianut keempat orang di hadapannya itu? Dengan mudah orang suci mengatakan, “Mudah. Yang pertama adalah Muslim, yang kedua adalah Nasrani, ketiga Hindu, dan keempat adalah Buddha.”

Mendengar itu, PK tersenyum. “Anda menilai agama seseorang hanya dari apa yang Anda lihat.” Kepada keempat orang yang dibawanya, PK lalu berbicara.

“Siapakah yang Muslim?” Orang ketiga yang mengenakan busana identik dengan penganut agama Hindu maju. Sontak semua terperangah, termasuk sang pemimpin yang seluruh tebakannya salah. Ternyata, keempat orang tersebut telah bertukar pakaian lebih dahulu. Begitu mudah karenanya tokoh agama yang dianggap orang suci-juga penonton-terkecoh.

Adegan di atas bukan sekadar lelucon, melainkan punya pesan yang sangat mendalam. ‘Pertunjukan’ sederhana di atas seharusnya membuka mata banyak pihak, termasuk kita, betapa sangat mudah manusia termakan simbol-simbol tanpa menelitinya lebih cermat.

Adegan itu juga menunjukkan bahwa orang dengan mudah mengambil kesimpulan hanya dari kelaziman atas apa yang mereka sering lihat, dengar, dan “umum” diketahui. Lebih penting lagi, adegan tersebut menegaskan bahwa identitas seseorang seharusnya ditentukan pada apa yang ada di hati, lalu kemudian diamalkannya, bukan semata-mata oleh simbol dan hal kasat mata.

Seorang sahabat Usamah bin Zaid RA suatu ketika bertemu pihak musuh dalam sebuah perjalanan. Begitu melihat mereka, sang musuh langsung bersyahadat “La ilaha illallah”.

Namun, Usamah tetap menusuknya dengan tombak dan membunuhnya. Setiba di Madinah, kejadian tersebut ia ceritakan. Rasulullah SAW pun bertabayun, mencari kejelasan langsung akan kejadian sebenarnya.

“Hai Usamah, adakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan La ilaha illallah?” Usamah menjawab, “Ya Rasulullah, sebenarnya orang itu hanya bersyahadat untuk mencari perlindungan diri saja (yakni mengatakan syahadat hanya untuk mencari selamat), sedang hatinya tidak meyakini itu.”

Rasulullah SAW kembali menekankan berkali-kali, “Adakah ia engkau bunuh setelah mengucapkan La ilaha illallah?” Usamah membenarkan.

Sang Nabi pun menegaskan, “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya sehingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkan itu karena takut senjata ataukah tidak, yakni dengan keikhlasan?” Urusan hati, hanya diri sendiri dan Allah yang tahu.

Sayangnya, kini banyak orang yang dengan terbuka tanpa rasa malu bertindak seolah mampu membaca hati orang lain. Dengan mudah mereka menuduh, bahkan menghakimi seseorang, termasuk motivasi atau alasan seseorang dalam melakukan sesuatu.

Padahal, Allah jelas-jelas melarang kita berprasangka, justru mendorong dilakukannya tabayun, sebelum prasangka kita merugikan pihak lain lebih jauh. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS al-Hujurat: 12).

Sebagai hamba Allah yang sama-sama memiliki keterbatasan dalam pandangan, kita hanya boleh menilai atau bertindak jika segala sesuatu memang terbukti nyata, bukan sekadar katanya, kalau tidak salah, sepertinya, dan lain-lain. Dalam era gadget saat ini khususnya, mudah sekali kita mem-broadcast satu informasi ke banyak pihak tanpa sebelumnya mensyaratkan diri berpikir sejenak dan mencari kejelasan.

Prasangka pada akhirnya tidak sekadar mengganggu kerukunan, menebarkan fitnah, tapi juga merusak kemajuan umat Islam dalam berbagai bidang, yang dengan susah payah dirintis dan diperjuangkan selama bertahun-tahun.

Ada film Islami, buku Islami, dan berbagai karya Muslim lain tidak jarang menjadi korban karena fitnah tanpa tabayun. Akhirnya, umat Islam bukan saling mendukung, malah justru menghancurkan perjuangan saudaranya sendiri. Apakah akan kita biarkan hal ini terus terjadi?

Allah dan Rasul sejak lama mewanti-wanti untuk berprasanga baik dan tabayun karena kehancuran yang disebabkan fitnah bisa luar biasa. Fitnah lebih kejam dari pembunuhan, kalimat ini kita dengar sejak lama, tapi tak banyak yang merenungkannya.

Fitnah sanggup menghancurkan satu generasi, bahkan satu peradaban. Alquran cukup menjadi pegangan, termasuk dalam menebarkan prasangka baik ketika kita tidak dalam pengetahuan akan sesuatu. Bahkan, Rasulullah SAW meminta sesama Muslim lebih dulu mencari 40 alasan untuk berprasangka baik kepada seseorang, sebelum menjatuhkan satu prasangka buruk.

(Ya Allah lindungilah kami dari bahaya fitnah dan satukanlah hati sesama Muslim dalam prasangka baik agar kami tak mudah dipecah belah dan mampu menjadi satu kekuatan dahsyat dalam menebar rahmat dan kebaikan, amin).

Sumber: republika