Membacalah, Seperti Diperintahkan Kepada Nabi


Ustadz dr.Agus Sukaca, M.Kes
(Ketua Majlis Tabligh PP Muhammadiyah)
Assalamu’alaikum wr. wb.
Pembaca yang budiman!
Tentu ada maksud tertentu di balik wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad s.a.w. Sebagaimana kita ketahui bahwa wahyu pertama tersebut berupa perintah membaca (Iqra’). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata membaca diartikan dengan melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis. Sedangkan, menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, membaca bermakna suatu cara untuk mendapatkan informasi dari sesuatu yang ditulis. Berdasarkan definisi ini, wajar jika membaca telah menjadi aktivitas yang memberikan dampak besar bagi kehidupan manusia.
Dalam banyak aspek dijumpai suatu kondisi yang berbanding lurus antara kegiatan membaca dengan kualitas diri seseorang. Hal ini berarti bahwa kualitas diri seseorang sangat ditentukan oleh seberapa banyak aktivitas membaca yang dilakukan. Selain itu, bahan-bahan bacaannya pun sangat berpengaruh besar pada diri seseorang. Jika seseorang banyak membaca bacaan yang mengandung bahan-bahan positif, tentu pikirannya akan selalu menjadi positif, dan begitu pula sebaliknya. Selain bermanfaat dalam menambah wawasan dan membentuk cara pandang seseorang menjadi lebih positif, bahan-bahan bacaan yang positif juga bisa mempengaruhi seseorang untuk menghasilkan amalan-amalan yang baik. Hal ini tentu saja memberikan gambaran kepada kita bahwa aktivitas membaca serta bahan-bahan bacaan yang dibacanya dapat menjadi media pembelajaran bagi seseorang.
Jika ditelisik lebih jauh, aktivitas membaca rupanya telah menjadi kegiatan utama dalam proses pembelajaran sejak ditemukannya aksara. Sejarah menunjukkan betapa tulisan telah lebih dari 5000 tahun yang lalu digunakan oleh orang-orang Sumeria di Timur Tengah sebagai alat berkomunikasi. Pada saat itu, mereka telah menciptakan tanda-tanda khusus pada tanah liat sebagai suatu simbol tertentu yang mewakili bunyi. Melalui simbol-simbol inilah, orang-orang Sumeria melakukan kontak dan komunikasi antara satu dengan yang lainnya.
Pada zaman Nabi Muhammad s.a.w., tulisan telah menjadi alat penting untuk menyimpan informasi. Pada saat itu, Beliau memerintahkan para sahabat untuk menuliskan al-Qur’an pada media-media yang dapat digunakan, seperti: pelepah kurma, tulang yang pipih, batu tipis, kulit binatang, dan lain-lain. Di saat Rasulullah s.a.w. wafat, al-Qur’an telah dihafal dan ditulis oleh para sahabat, meskipun masih berserakan dalam banyak media.
Pada masa khalifah Abu Bakar as-Shidiq, terjadi perang Yamamah yang menyebabkan banyak penghafal al-Qur’an menemui syahidnya. Kejadian tersebut jelas membuat Umar r.a. merasa sangat khawatir. Kematian mereka akan disertai dengan hilangnya al-Qur’an. Umar lalu mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan tulisan al-Qur’an yang berserakan di banyak media itu. Pada awalnya, Abu Bakar merasa keberatan terkait dengan usul Umar tersebut. Ia mengatakan: “bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan Rasulullah s.a.w.?” Namun karena Umar mengulang-ulang permintaan tersebut, Abu Bakar akhirnya dapat memahami pentingnya pengumpulan tulisan al-Qur’an yang masih berserakan di banyak media itu. Dengan demikian, pada akhirnya Abu Bakar memiliki pendapat yang sama seperti apa yang dikemukakan oleh Umar.
Seiring perjalanan waktu, Abu Bakar kemudian meminta Zaid bin Tsabit (seorang sahabat yang mendampingi Rasulullah s.a.w. dan salah satu penulis al-Qur’an) untuk mengumpulkan tulisan al-Qur’an yang berserakan. Mendengar permintaan itu, Zaid awalnya memiliki pendapat yang sama seperti Abu Bakar sebelum berubah pikiran. Namun, Umar lagi-lagi meyakinkan bahwa pekerjaan tersebut merupakan sesuatu hal yang baik. Zaid bin Tsabit pada akhirnya mengumpulkan lembaran-lembaran al-Qur’an yang ditulis di hadapan Rasulullah s.a.w. Lembaran-lembaran al-Qur’an tersebut diterima setelah dilakukan verifikasi dan terbukti ditulis di hadapan Rasulullah dengan minimal 2 orang saksi sahabat, diperoleh dari salah seorang sahabat dan harus dihafal oleh kalangan sahabat. Lembaran-lembaran al-Qur’an tersebut disimpan Abu Bakar selama hidupnya dan dilanjutkan oleh Umar ibn Khattab serta Hafshah binti Umar.
Pada masa khalifah Usman ibn Affan, terjadi perbedaan dalam membaca al-Qur’an. Penduduk Syam membaca al-Qur’an mengacu bacaan Ubay bin Kaab, sedangkan penduduk Irak berdasarkan bacaan Abdullah bin Mas’ud. Perbedaan ini sempat menimbulkan perselisihan di kalangan kaum muslimin. Melihat hal ini, Hudzaifah bin al-Yaman yakin jikalau perbedaan tersebut dapat membahayakan keutuhan kaum muslimin. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, Hudzaifah pada akhirnya menghadap khalifah Usman bin Affan dengan berkata: “wahai Amirul Mukminin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang al-Kitab (al-Qur’an), sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani”.
Mendengar hal itu, Khalifah Utsman kemudian memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalin lembaran-lembaran al-Qur’an yang telah dikumpulkan pada masa khalifah Abu Bakar r.a. dan saat itu disimpan oleh Hafshah. Akhirnya, tim yang dibentuk Khalifah Utsman ini dapat menyelesaikan proses penyalinan lembaran-lembaran al-Qur’an dengan baik dan menghasilkan 7 (tujuh) buah salinan. Selanjutnya, masing-masing (satu buah) salinan tersebut dikirimkan ke Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan Madinah. Mushaf ini kemudian dikenal dengan nama Mushaf Utsmani dan dijadikan sebagai rujukan dalam penyalinan al-Qur’an hingga sekarang.
Beberapa elaborasi di atas memberikan gambaran betapa pentingnya tulisan sebagai penyambung informasi. Perintah Rasulullah s.a.w. kepada para sahabat untuk menulis al-Qur’an setidaknnya dapat membenarkan hal tersebut. Selain bisa berfungsi sebagai penerus informasi yang dapat diandalkan, penulisan al-Qur’an juga dapat menjamin autentisitas kebenarnnya. Dengan demikian, melalui mushaf yang terjamin kebenarannya ini, generasi sepeninggal Rasulullah dan para sahabat dapat tetap memperoleh petunjuk yang sama dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Tentunya, petunjuk tersebut hanya dapat diperoleh dengan membaca mushaf al-Qur’an.
Untuk itu, Rasulullah senantiasa memerintahkan kita agar selalu membaca al-Qur’an. Hal ini terdapat dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Abdullah bin Umar. Dalam hadits tersebut, Rasulullah memerintahkan kita membaca al-Qur’an dalam sebulan. Namun ketika Abdullah menyatakan mampu membacanya lebih cepat, Rasulullah memerintahkan mengkhatamkannya dalam seminggu dan melarang kurang dari itu. Apa yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat tersebut menunjukkan betapa pentingnya MEMBACA dalam kehidupan setiap muslim.
*****
Perlu dicatat bahwa budaya baca sangatlah mempengaruhi kemajuan suatu bangsa. Semakin tinggi minat baca suatu bangsa, maka semakin maju pula bangsa itu. Kenyataan ini tentu dapat kita lihat dalam masa kejayaan Islam. Pada masa itu, di mana-mana diadakan perpustakaan sebagai tempat membaca. Dalam buku berjudul Destiny Disrupted: A History of the World through Islamic Eyes, dan kemudian diterjemahkan menjadi “Dari Puncak Baghdad: Sejarah Dunia Versi Islam”, Tamim Anshary menyebutkan bahwa pada zaman kekuasaan Islam di Andalusia, perpustakaan-perpustakaan terbesar yang banyak tersebar di Cordova konon berisi lebih dari 500.000 jilid buku (Tamim Anshary, 2012: 202). Dengan begitu banyaknya didirikan perpustakaan, wajar jika kemudian minat baca umat Islam saat itu jauh lebih tinggi dibandingkan umat-umat yang lainnya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila negeri-negeri Islam pada saat itu menjadi pusat tamaddun dunia.
Ketika menaklukkan kota tua Balkh, Jengis Khan pada saat itu membuang isi perpustakaannya ke sungai Oxus dan ratusan ribu buku yang ditulis tangan hanyut (Tamim Anshary, 2012: 255). Demikian halnya di saat Hulagu Khan menaklukkan dan hampir melenyapkan Baghdad pada tahun 1258. Saat itu, ia membunuh 800 ribu orang, melenyapkan perpustakaan, sekolah, rumah sakit, dan semua catatan serta kesaksian tentang gelombang besar peradaban Islam di zaman keemasan (Tamim Anshary, 2012: 260). Dengan hancurnya perpustakaan-perpustakaan yang tersebar di dunia Islam, dunia kehilangan sesuatu hal yang besar. Tradisi membaca yang begitu tinggi pun turut hancur bersamaan dengan takluknya negeri-negeri muslim tersebut.
Hingga saat ini, minat baca di negeri-negeri muslim pun belum kembali seperti zaman kejayaannya dulu. Di Indonesia misalnya, laporan Bank Dunia menyebut bahwa tingkat membaca anak-anak kelas VI SD baru mampu meraih nilai 51,7. Nilai ini masih berada di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1), Singapura (74,0) dan Hongkong (75,5). Organisasi Pengembangan Kerjasama Ekonomi (OECD) bahkan menyebut budaya baca masyarakat Indonesia berada pada posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur (H.R. Kompas, 18/06/2009). Kenyataan ini jelas telah mengundang keprihatinan banyak pihak, terlebih bagi Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pelajar dan mahasiswa di Indonesia saat ini masih banyak yang serius membaca ketika sedang menghadapi ujian. Bisa jadi, mereka tidak tidur semalaman. Ketika tidak ada ujian, mereka santai. Cara membaca seperti mereka ini tentu mudah terhenti ketika sudah tidak ada agenda ujian atau telah lulus dari pendidikannya.
Kita semua pasti sudah menyadari, memahami dan meyakini arti pentingnya membaca. Di dunia, di mana kita tinggal saat ini, membaca merupakan kegiatan sangat penting dalam proses pendidikan. Materi pelajaran yang pertama-tama kita peroleh di jenjang Sekolah Dasar adalah membaca dan menulis. Dalam proses pembelajaran selanjutnya disajikan buku-buku yang harus dibaca dan dikuasai. Di dalam buku-buku tersebut, segala macam ilmu, baik yang berupa pikiran maupun pengalaman, didokumentasikan dengan baik. Oleh sebab itu, saya mengajak para pembaca “Berkala Tuntunan Islam” untuk dapat mempersiapkan masa depan umat Islam yang gemilang dengan melakukan gerakan membaca secara rutin. Gerakan ini haruslah didasari oleh semangat bahwa membaca adalah kebutuhan. Sebagai kebutuhan, maka kita wajib meluangkan waktu khusus setiap hari untuk aktivitas membaca.
Dengan memilih waktu yang paling memungkinkan dalam siklus harian, kita dapat membuat agenda khusus membaca lebih dari 1 (satu) jam setiap harinya. Usahakan sedapat mungkin agenda tersebut bersifat tetap untuk dijadikan sebagai jam wajib membaca. Misalnya saja setiap selesai tadarrus al-Qur’an ba’da Subuh selama 30 menit dan ba’da shalat Isya’ berjamaah selama 60 menit. Lakukan agenda tersebut secara rutin dan disiplin! Di saat kita berhasil melakukan agenda tersebut selama 90 hari berturut-turut, insya Allah aktivitas membaca yang telah ditentukan pada waktu-waktu khusus itu akan tersimpan di dalam file otak bawah sadar kita. Dengan kata lain, aktivitas membaca telah menjadi kebiasaan harian, sehingga untuk melakukannya kita tidak perlu berpikir-pikir lagi. Secara otomatis, kita akan langsung mengambil buku dan duduk manis membacanya di tempat biasa.
Namun, satu hal yang perlu dicatat adalah aktivitas membaca akan menjadi lebih terasa ringan apabila lingkungan kita juga gemar membaca. Ajaklah semua anggota keluarga kita untuk menetapkan jam wajib membaca secara bersama-sama. Dengan menetapkan jadual rutin tersebut, maka keluarga kita memiliki jam wajib membaca. Di samping jam yang telah tetap, manfaatkan pula waktu-waktu luang lainnya yang memungkinkan kita untuk membaca. Di saat menunggu, antri dan sedang dalam kendaraan merupakan waktu-waktu yang bagus dimanfaatkan untuk membaca. Oleh sebab itu, biasakanlah membawa buku ke mana pun kita pergi. Sebab dengannya, kita dapat membacanya di saat-saat memungkinkan.
Jika memang demikian, lantas apa yang sekiranya perlu kita baca? Jawaban atas pertanyaan ini adalah tergantung tujuan kita membaca. Secara umum, tujuan orang membaca adalah untuk belajar, menguasai keahlian dan/atau bahkan untuk kesenangan semata. Orang yang membaca untuk tujuan belajar, akan menjadi pandai. Orang belajar untuk menguasai suatu keahlian, maka akan menjadi seorang ahli dalam bidang tertentu. Tetapi, orang yang membaca untuk mencari kesenangan, maka kesenanganlah yang akan didapatkannya. Oleh sebab itu, sekali lagi perlu ditegaskan di sini bahwa tujuan orang membaca sangatlah tergantung dari niatannya dalam melakukan aktivitas tersebut.
Meskipun demikian, sebagai seorang muslim kita perlu mengarahkan tujuan membaca untuk keperluan belajar memperdalam pemahaman ajaran agama Islam. Dengan tujuan ini, kita dapat membaca sejumlah tafsir al-Qur’an, hadits dan juga buku-buku lainnya yang bisa mengantarkan untuk mengerti ajaran Islam. Sebagai seorang muslim yang menekuni profesi tertentu, kita juga dapat membaca buku-buku yang terkait dengan profesi (keahlian) yang ditekuni. Sehingga dengannya, kita bisa menjadi yang terbaik di bidang (profesi) tersebut. Sementara, sebagai seorang muslim yang berjuang menuju kesuksesan, kita juga bisa membaca buku-buku tentang motivasi. Dengan buku ini, kita dapat mengambil hikmah, semangat dan inspirasi dalam berjuang meraih kesuksesan.
Beberapa hal tersebut hanyalah contoh kecil yang dapat mengarahkan tujuan kita membaca agar menjadi lebih positif. Yang pasti, pilihlah buku-buku bermutu dan mengandung bahan bacaan positif sehingga dapat mengantarkan kita kepada kehidupan yang lebih baik. Marilah kita buat target-target khusus tentang jumlah buku yang akan kita baca dalam satu bulan. Selanjutnya, pilahlah buku apa saja yang akan kita baca dalam setiap minggunya dan halaman berapa saja di setiap harinya. Yakinlah, bahwa kita akan cerdas jika dapat membaca buku yang apabila ditumpuk-tumpuk telah melebihi ukuran tubuh kita. Mari kita songsong bersama masa depan gemilang dengan membiasakan membaca! Wallahu a’lam
Wassalamu’alaikum wr. wb.