Afsyus Salâm: Dari Ucapan Menuju Tindakan

Ustadz Muhsin Hariyanto, M.Ag
Ada sebuah pernyataan dari Abu Hurairah r.a. (salah seorang sahabat Nabi s.a.w.), bahwa beliau pernah bersabda:
لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُونَ حَتَّى تَحَابُّوا ثُمَّ قَالَ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
“Tidaklah kalian masuk surga hingga kalian beriman. Dan tidaklah kalian beriman hingga saling mencintai. Kemudian beliu bersabda: Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakan niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (Hadis Riwayat Muslim).
Hadis ini memberi isyarat akan artipentingnya “salâm”. Sekadar mengucapkan salam? Tentu saja tidak sesederhana itu. Karena kata “salâm” dalam hadis itu bisa dimaknai lebih daripada sekadar mengucapkan salam secara verbal. Lebih jauh dari itu, salâm bisa dimaknai sebagai “kedamaian” dalam pengertian luas. Tebarkan kedamaian untuk siapa pun dalam konteks apa pun. Karena Islam hadir dengan tawaran damai: “peace for all” (damai untuk semuanya), selaras dengan misi kerahmatannya, rahmatan li al-âlamîn. Itulah kurang-lebih makna kalimat “afsyus salâm” (tebarkanlah kedamaian untuk semua orang) dalam hadis di atas.
Nabi Muhammad s.a.w. mengajarkan kepada umatnya untuk selalu meningkatkan kecintaan terhadap saudara sesama umat manusia, merekatkan persaudaraan dan kasih sayang. Dan untuk mewujudkannya, beliau perintahkan untuk menyebarkan “salâm” dalam artikulasi yang santun dan ramah, dengan ucapan “assalâmu ‘alaikum, dan bahkan menganjurkan untuk disempurnakan dengan ungkapan “wa rahmatullâhi wa barakâtuh” (kedamaian yang diharapkan hadir bersama kasih sayang dan keberkahan dari Allah).
Perhatikan makna firman Allah SWT berikut:
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil darimu, dan kamu selalu berpaling.” (QS al-Baqarah [2]: 83)
Namun, seiring dengan hilangnya semangat berbagi di zaman ‘edan’. Ini (meminjam istilah Ronggowarsito), ucapan salam ini sebegitu mudah ditinggalkan oleh sebagian umatnya yang kurang peduli dan – dengan serta-merta – berubah menjadi sû-u zhan (prasangka buruk), kecurigaan yang berbuah pada ketidak-pedulian, dan bahkan sikap permusuhan antarmanusia yang berlarut-larut. Antarkomunitas manusia menjadi terkotak-kotak dalam semangat sektarian-sempit dengan berbagai kepentingan: “ideologi, etnis, agama, serta sejumlah kepentingan duniawi yang lain, dan bahkan – lebih ironis – (terpilah) karena kepentingan politik jangka-pendek, yang ujung-ujungnya adalah: hubbud dunya (cinta-dunia). Konon, kini sudah ada sejumlah ‘berhala’ yang menjadi pilihan hidup, dan menjadikan umat manusia rela berpecah-belah karena kepentingan-kepentingan pemberhalaan terhadap sesuatu yang sesungguhnya tidak pantas diberhalakan. Mereka seolah tak hirau lagi dengan seruan Allah dalam QS Âli ‘Imrân [3]: 103:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Sebuah ayat yang mengingatkan kehancuran peradaban disebabkan oleh perpecahan yang terjadi karena mereka lupa untuk mengingat Allah.
Begitulah nasib umat manusia di ketika mereka lalai untuk bertuhan kepada Tuhan (Allah) semata, satu-satunya Tuhan yang layak dipertuhankan, dan justeru mempertuhankan tuhan-tuhan palsu yang mereka ciptakan dalam imajinasi mereka, yang akhirnya benar-benar menjadi “thâghût” (sesuatu yang disembah selain Allah).
Mereka asyik dalam kekeliruan, dan menganggap kekeliruan-kekeliruan itu sebagai kebenaran, karena selama ini telah menjadi bagian dari apa yang mereka yakini sebagai “Tuhan”. Kini saatnya “syirik”, ternyata telah merambah dalam benak dan lubuk hati yang paling dalam pada kehidupan “mu’amalah” (baca: interaksi-sosial) umat manusia di seputar kita, hingga mereka lupa bersinergi untuk kepentingan kemashlahatan mereka sendiri, membangun kekuatan bersama dengan: “berbagi salâm” (saling menebar kedamaian).
Hingga kini, ucapan as-salāmu `alaikum memang boleh jadi selalu diucapkan oleh setiap muslim – utamanya — untuk sesama muslim. Hanya saja ucapan-ucapan salâm mereka boleh jadi tidak tumbuh dari lubuk hati yang paling dalam, hingga para pengucapnya sendiri tidak sadar bahwa makna ucapannya benar-benar memiliki spirit-utama: “mendoakan kepada setiap orang yang dijumpainya” agar mendapatkan kedamaian. Oleh karenanya para pengucap itu kemudian tidak berhasrat untuk mewujudkan ucapan-ucapan verbalnya ke dalam tindakan nyata: “menebarkan kedamaian” kepada siapa pun yang diberi ucapan salâm. Begitu juga spontanitas para penerima salâm yang secara verbal membalas ucapan salâm -verbal para pemberi salâm barangkali tidak semuanya sadar bahwa makna jawaban salâm nya adalah “doa” bagi setiap para pemberi salâm mereka. Akhirnya, tidak berbeda dengan para pemberi salâm, mereka pun sama sekali boleh jadi tidak berhasrat untuk mewujudkan jawaban verbalnya ke dalam tindakan nyata: “menebarkan kedamaian” kepada siapa pun yang memberi ucapan salâm. Dan konklusi pentingnya: “salâm – hingga kini — tetap hanya sekadar menjadi ucapan-upan verbal tanpa makna”, tak berujung pada kedamaian nyata untuk semuanya.
Padahal, kalau kita cermati, hadis Nabi Muhammad s.a.w. di atas sebenarnya telah mengingatkan kepada kita semua bahwa “salâm” yang selalu terungkap dalam ucapan verbal “as-salāmu `alaikum” beserta kesempurnaan ucapannya seharusnya menjadi pijakan awal untuk berbagi kedamaian di antara kita, agar kita menjadi umat manusia yang saling-mencintai, sebagai bukti dari keberimanan kita. Dan, pada akhirnya kita pun berhak menagih janji Allah berupa surga, “kenikmatan hakiki yang abadi” yang senanntiasa kita dambakan.
Akhirnya, “salam” yang senantiasa kita ucapkan seharusnya mengingatkan kita bahwa kita semua adalah “ummah wâhidah (satu kesatuan umat), ikhwah (bersaudara) dan perlu selalu merekatkan kedekatan kita dengan semangat ukhuwwah (persaudaraan). Dan oleh karenanya kita harus mulai membudayakannya bukan sekadar menjadi ucapan-verbal, tetapi – lebih dari itu – menjadikannya sebagai instrumen penting untuk membangun “cinta” antarsesama, hingga kita antarmanusia bisa saling-mencintai. Dan tentu saja, salam yang kita implementasikan menjadi tindakan nyata, bisa menjadi prasyarat kita (umat Islam) untuk menjadi khairu ummah (umat yang terbaik) di tengah hiruk-pikuk peradaban dunia, kini dan masa mendatang.
Ma’an-Najâh (semoga sukses)