Sejarah Berdirinya PCI Muhammadiyah Libya


Latar Belakang
Sujud syukur dan gema hamdallah terucap dari lisan para kader Muhammadiyah di Libya, karena pada tanggal 29 Juni 2006, pukul 22.00 WL (Waktu Libya) IKM (Ikatan Keluarga Muhammadiyah) Libya berdiri.

Berdirinya organisasi ini patut direspon positif oleh seluruh kader Muhammadiyah yang ada, baik para kader yang ada di bumi pertiwi atau di luar sekalipun.

Mengapa demikian? Karena jika ditelusuri, eksistensi organisasi ini mampu mengawal tiga agenda besar organisasi Muhammadiyah pada dasawarsa terakhir ini, khususnya pasca pergiliran kepengurusan, dari Prof. DR. Syafi’i Ma’arif kepada Prof. DR. Din Syamsudin, dimana keran semangat tiga agenda besar tersebut kembali dihembuskan dengan momok yang semakin “greget”: mengembalikan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid yang bersandar kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana pernah digagas oleh para pendiri organisasi ini, seperti KH. A. Dahlan, KH. Mas Mansyur dan KH. AR. Fakhrudin, bukan justru gerakan yang mengaburkan ajaran Islam itu sendiri (baca : jargon Islam Kiri atau Islam ala Barat), gerakan pembeliaan -dimana organisasi ini masih didominasi oleh generasi tua-, serta gerakan regenerasi kader ulama.

Dan secara historis-epistemologis, para kader Muhammadiyah di Libya, terpanggil untuk mendirikan sebuah jama’ah atas beberapa alasan, yaitu :

1. Sungguh, sebuah cita-cita yang agung tidaklah mungkin mampu diciptakan dengan amal infirodi, namun harus dilakukan dengan amal jama’i. Dan diharapkan skill-skill personal yang “tercecer” dari kalangan kader tersebut mampu bersinergi menjadi sebuah kekuatan yang padu sehingga mampu menjadi part of solution bagi tiga agenda besar di atas. Semangat ini pun secara teks Ilahi dan qoth’i ad-Dilalah selaras dengan landasan yang selama ini menjadi khittah perjuangan dakwah-sosial organisasi Muhammadiyah: Q.S. Al-Imran : 104.
2. Keberagaman latar belakang para mahasiswa Indonesia di Libya, dimana masing-masing latar belakang memiliki idealisme yang berbeda dan tidak bisa disinerjikan. Ada NU, Al-Wasliyah, Persis, dll. Sehingga kalau semangat kemuhammadiyahan yang sekian lama terpatri dengan sangat kuat di Indonesia tersebut dialokasikan secara konstitusi dalam sebuah organisasi kemahasiswaan yang ada, hal tersebut sangatlah tidak mungkin, bahkan justeru malah akan melukis peta konflik antar anggota.
3. Kalau ditilik secara kultur keilmuan, kader-kader yang berada di negera-negara Timur Tengah itu lebih diistimewakan oleh ilmu agama (baca: ilmu syari’at). Maka menurut hemat kami, semangat i’adat at-Tajdid (reformasi) seyogyanya mampu dilakukan oleh mereka yang memiliki kelebihan ini. Dimana sisi keulamaan mengakar dengan sangat kuat. Saya sangat berharap, para Ulul Albab dengan tradisi turatslah yang berada pada lanskap terdepan guna memimpin semangat pembaharuan di tubuh Muhammadiyah pada masa yang akan datang. Bukankah KH. A. Dahlan dahulu dikenal sebagai Agamawan yang Negarawan?!
4. Tak bisa dipungkiri, bahwa berdirinya organisasi ini -secara klimaks- juga didukung oleh dialog intens yang berlangsung antara para kader dengan para “penggede” organisasi Muhammadiyah yang beberapa kali berkunjung ke Libya. Ini berarti adanya keselarasan harapan antara para kader dengan para “orang tua”nya.

Inilah empat alasan, juga embrio, berdirinya organisasi IKM Libya. Sedangkan mengenai nama organisasi ini, yang tidak sesuai dengan pakem organisasi Muhammadiyah, PCI-M. Hal ini terjadi, karena secara konstitusi, organisasi ini belumlah layak disejajarkan dengan PCI-M. Sebab masih banyak kekurangan-kekurangan yang mesti dilengkapi idealnya sebuah PCI-M.

Akan tetapi, meskipun harus “terseok-seok” dengan kondisi tandzim atau struktur yang sangat sederhana: tiga pengurus harian: Ketua, Sekretaris dan Bendahara, serta dua majelis: Majelis Pendidikan dan Tarjih, juga Majelis Komunikasi dan Informasi.
Perlahan-lahan tapi pasti, idealisme keorganisasian yang diimpikan terus di bangun oleh para kader, sehingga tak berselang beberapa bulan kehadirannya mendapat respon positif dari para “orang tua” di Indonesia. Maka pada tanggal 02 Jumadi al-ula 1428 H/ 19 Mei 2007 M IKM-Libya ditetapkan menjadi PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) Libya oleh PP Muhammadiyah di Yogyakarta.

Harapan
Dengan berubahnya status IKM menjadi PCI-M ini, tentunya memberikan dampak yang berarti bagi para kader Muhammadiyah di Libya. Disatu sisi kami merasa gembira karena ternyata usaha kami untuk mewujudkan IKM menjadi PCI-M direspon hangat oleh PP Muhammadiyah. Dan disisi lain kami meras berat menanggung beban organisasi ini, tentunya bukan saja dari segi srtuktural keorganisasian saja -dimana kami sebagai bawahan harus mempertanggung jawabkan kinerja kami ke PP-, tapi lebih kepada tanggung jawab kami kepada umat/masyarakat, karena organisasi ini adalah organisasinya masyarakat; organisasi yang menjadi tumpuannya masyarakat.

Namun demikian insya Allah, pundi cita dan secercah harapan itu akan kami usahakan dengan semampu kami, sehingga nantinya apa-apa yang kami persembahkan -walaupun tidak seberapa- bisa disemprotkan wewangiannya kepada umat di masa yang akan datang.
Dan inilah harapan terbesar yang kami impi-impikan. Maka kamipun dalam berusaha ke arah sana tidak akan meminimalisir impian tiga agenda besar yang disebutkan di atas. Atau, lebih parah lagi menjadi part of problem bagi persatuan umat yang sudah terkeping-keping ukhuwahnya, sebagai out put, menjadi organisasi yang tak memiliki arah yang jelas.
Di atas semua kekurangan itu, kami tetap mensyukuri apa yang telah kami husung demi meretas mimpi-mimpi dan cita-cita besar yang telah kami dengungkan gaungnya. Sebab kami adalah rijal al-Ghad (pemuda harapan) dan penerus risalah kenabian, juga penerus cita-cita KH. A. Dahlan. Wallahua’lam bishoab 
sumber: pcimlibya