Nasionalisasi Agama

Oleh: Gilig Pradana
Baru sebulan berlalu setelah pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Syaefuddin yang mengemukakan gagasan perlunya mengembangkan Islam ala Indonesia, “Dengan demikian, Islam Jawa dibaca sebagai sebuah varian dan wajah umat Islam yang berhak hadir sebagaimana juga Islam Persia, Islam India, Islam Melayu dan lainya,” ujar Lukman Hakim dalam Acara Ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI yang digelar di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta pada Ahad malam (8/2).
Kini Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintahkan  Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro untuk mengganti istilah teknis di bank syariah seperti mudarabah atau wakalah diganti dengan istilah bahasa Indonesia, saat melakukan pertemuan di kantor Wapres, Kompleks Istana, Selasa (10/3/2015).
“Tadi Pak wapres juga arahannya supaya istilah instrumen yang sekarang pakai Bahasa Arab semua, mudarabah, wakalah itu bisa di-Indonesiakan. Supaya ini bunyinya adalah ekonomi Islam ala Indonesia bukan ala Timur Tengah,” kata Bambang seperti dikutip Detik.
DEVIDE ET IMPERA
Ide-ide yang mendikotomikan Islam menurut garis-garis kebangsaan semacam ini terpengaruh oleh cara pandang nasionalisme yang bertolak belakang terhadap seruan persatuan dalam ukhuwah Islamiyyah (Baca: Nasionalisme Arab).
Tentu sebagai sesama Muslim, umat harus tetap berkhusnudzon kepada beliau berdua dengan menjauhkan prasangka bahwa Lukman Hakim ataupun Jusuf Kalla sengaja mengkotak-kotakkan Islam menjadi bersifat kedaerahan, dan sebagai gantinya kita menganggap cuma terdapat kesalahpahaman mereka mengenai konsep Islam. Namun supaya kesalahpahaman ini tidak ditumbuhsuburkan oleh pihak-pihak yang memusuhi Islam maupun masyarakat awam, tentu harus dijelaskan mana yang salah dan mana yang benar.
Sejarah mengajarkan bahwa kekuatan besar umat Islam dalam kepemimpinan para khalifah dari semenjak jaman Abu Bakar As-Shidiq hingga akhirnya di tangan Sultan Abdul Hamid II. Namun kebesaran kekuatan itu hancur di tangan politik pecah-belah yang dilancarkan Inggris dang Imperialis sebagaimana kerajaan-kerajaan nusantara saling berperang akibat hasutan VOC dari Belanda.
ISLAM ADALAH SATU
Dalam kesempatan yang sama dengan acara ta’aruf KUII ke-6 bersama sang Menteri, Sultan Palembang, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin meluruskan “Jadi, kalau Bapak Menteri ngomong ada Islam versi-ini versi-itu, saya tidak sepakat. Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, dan Islam adalah satu,” tegasnya.
Sekjen Forum Umat Islam, Ustadz Muhammad Al Khaththath menjernihkan kesalahan paham nasionalisasi-agama ini, “Islam bukan produk budaya masyarakat atau bangsa tertentu. Jadi, tidak ada Islam model Arab Saudi atau model Islam Indonesia,” Lagipula sewaktu ajaran Islam diturunkan dan tegak dalam satu kekhalifahan belum ada negara Arab Saudi ataupun negara Indonesia.
NASIONALISASI AGAMA
Kesalahpahaman ini muncul dari cara pandang yang salah mengenai agama, yakni menganggap agama sebagai salah satu hasil kebudayaan yang sejajar dengan kesenian atau tradisi, yang dengan demikian akan menghasilkan anggapan bahwa sebagaimana kesenian terus berganti dan tradisi berkembang, maka demikian pulalah agama. Padahal agama (khususnya Islam) bersifat tetap karena telah mencapai kesempurnaannya. Agama yang rentan terhadap perubahan berarti telah mengakui ketidaksempurnaannya. Salah satunya adalah manakala agama harus disesuaikan dengan kultur di daerah tertentu. Dengan mengatakan Islam Indonesia dan Islam Arab, sama halnya menuduh Islam dapat dipengaruhi oleh budaya lokal Arab maupun Indonesia, padahal yang diinginkan oleh Rasulullah SAW adalah Islam yang mempengaruhi daerah dimana kita tinggal dan menjadi patokan yang utama.
Demikianlah tidak ada lagi jalan untuk memecah Islam setelah mengetahui bahwa agama ini adalah agama global (rahmatan lil’aalamin), untuk seluruh umat dimana saja, kapan saja, hingga akhir zaman. Wallahu a’lam bish showab.