Zakat dan Pemerataan Kesejahteraan, Potensi yang Belum Optimal

Oleh: Aries Musnandar
 
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan
keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan
khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem
ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan
perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari
pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah
bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan
dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur
yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran
dan Hadist). 
Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci
yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik
ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep
normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan
pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods)
serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui
pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan
bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum
mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam
menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.

Ekonomi Islam
 
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu
 berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai
tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik
ekonomi Islam.

Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal
mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui
prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf
dan sebagainya. Pada dasarnya Islam tidak mentolerir terjadinya
kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.

Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah
pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian
pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang
melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan
“kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.

Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing).
Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para
pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan
bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena
didzholimi.

Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang
terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya,
salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh
menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam
konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu
kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak
karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.

Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat
spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah,
direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan
antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan
perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip
ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali
serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.

Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial
juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah.
Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni
mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si
kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang
dan serakah dicegah dan dilarang.

Optimalisasi Zakat untuk Kesejahteraan
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian
(terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan
dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan
tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh
umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.

Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam
pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat
diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan
si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada
gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini
diterapkan optimal?

Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan
ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh.
Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa
persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil
asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan
diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang
2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan
mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak
penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan
mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai
UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul
tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan
infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak
boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam
memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan
kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan
ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP)
karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan
banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar
pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari
sektor perpajakan.

Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini
adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim
termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan
syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah
ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya
di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena
awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang
dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi
konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada
perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum
terperhatikan dengan baik dan sistematik.

*) Peminat kajian Ekonomi Islam
Malang JATIM