Menyikapi Perasaan Cinta Lawan Jenis dalam Islam

Dengan interaksi laki-laki dan wanita yang relatif terbuka di era ini,
tidak jarang hal tersebut mengundang rasa. Banyak yang sudah mulai
saling mencintai sebelum pernikahan.
Para ulama berpendapat bahwa
berkaitan dengan perkara ini, ada cinta yang dibolehkan karena memang
naluri manusia selama tidak jatuh kepada hal yang tidak syari dan
kemaksiatan. Namun sebaliknya, jika justru menjadi sarana melanggar
hukum Allah ta’ala maka perasaan tersebut menjadi terlarang.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لم نرَ للمتحابَّيْن مثل النكاح
Tidak terlihat dua orang yang saling mencintai seperti pernikahan (HR. Ibnu Majah)
Dari hadits ini terlihat bahwa cinta sejati antara pasangan berlawanan
jenis ada pada pernikahan. Dan tidak ada solusi terbaik bagi mereka yang
saling mencintai kecuali menikahkannya. Dengan pernikahan tersebut,
insyaAllah rasa cinta tadi akan semakin kuat dan bertambah.
Dan
perasaan cinta yang dimaksud bukanlah sesuatu yang datang karena kholwat
(berdua-duaan) yang dilakukan oleh keduanya, melainkan suatu perasaan
yang menjadi karunia karena penjagaan mereka terhadap kehormatan dan
keimanannya kepada Allah ta’ala. Rasa mencintai tersebut betul-betul
datang karena Allah ta’ala.
Adapun jika pernikahan tadi dimulai
dengan kemaksiatan, maka hal tersebut akan mengurangi bahkan
menghilangkan kebarokahan dari keluarga yang dibangun dalam pernikahan
tersebut. Akhirnya mereka tidak bisa merasakan kebahagiaan sejati dalam
pernikahannya, bahkan seringkali berakhir dengan penyesalan.
Dalam hal ini, islam bukan mengajarkan agar seseorang mencari pasangan
seperti menilai kucing dalam karung. Tidak sama sekali. Justru
sebaliknya, Islam mengajarkan kejujuran dari kedua belah pihak untuk
memperkenalkan keadaan diri masing-masing, dan keluarga dengan cara yang
syar’i.
Melihat seorang wanita yang akan dilamar pun merupakan
tuntunan dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Mugairah
bin Syu’bah akan melamar seorang wanita, maka Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasalam bersabda,
انظر إليها فإنه أحرى أن يؤدم بينكما
Lihatlah wanita itu, karena dengannya akan menjamin kelanggengan kalian berdua (HR. Tarmidzi)
Namun lagi-lagi ketika melihat wanita tadi, hendaklah ia ditemani oleh mahramnya dan dilakukan dengan cara yang syar’i.
Meskipun boleh jadi misalnya kita tidak berjodoh dengan orang yang
dicintai, maka dengan proses dan cara yang syar’i insyaAllah kita akan
bahagia. Karena itu, bersyukurlah dengan siapapun yang kita nikahi
selama tidak ada hukum Allah yang kita langgar.
Sudah merupakan
sunatullah bahwa pernikahan yang diawali dan dilakukan dengan cara yang
syar’i akan mendatangkan ketenangan jiwa. Allah ta’ala berfirman,
ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجاً لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة
Dan di antara ayatnya adalah menciptakan bagi kalian dari dirimu
istri-istri agar engkau merasa nyaman kepadanya dan dijadikan di antara
kalian mawaddah warahmah. (Q.S. Arrum: 21)
Pada saat yang sama,
jika hal ini terjadi, maka hendaklah pula melupakan orang lain yang
pernah ada dalam hati ini. Ingatlah bahwa ketika seorang suami menikah
dengan istrinya, ia telah membuat perjanjian yang kuat. Dengannya Allah
ta’ala menghalalkan apa yang awalnya haram bagi mereka.
Dari sini
bisa disimpulkan bahwa bukan urusan sudah mencintai atau belum yang
penting dalam pernikahan Islami. Namun hal tersebut lebih kepada sudah
syar’i atau tidakkah proses yang kita jalani. Menikah dengan orang yang
kita cintai dengan proses yang syar’i tentu merupakan anugerah terindah.
Wallahu a’lam.

 Ust.Gonda Yumitro,MA