Ki Bagoes Hadikusumo : Sang Pejuang Aqidah Islam

“ Apakah anda tidak punya kaki untuk berjalan sampai ke sana (baca: Solo)? Kalau tidak ada sepur, apakah tidak dapat pergi dengan lainnya?(Sutrisno Kutoyo,1998: 163)

Kalimat di atas adalah jawaban dari KH Ahmad Dahlan kepada Ki Bagus Hadikusumo ketika Ki Bagoes melapor kepada Ki Dahlan bahwa dirinya terlambat kereta api tujuan Jogjakarta-Solo di Stasiun Tugu untuk memberi pengajian di Solo. Jawaban tersebut cermin model kaderisasi yang dilakukan Kiai Dahlan pada muridnya. Setelah mendapat respon seperti itu, Ki Bagoes akhirnya berangkat ke Solo dengan menyewa mobil dengan biaya yang tidak sedikit. Kelak gemblengan Dahlan itu merubah Ki Bagoes menjadi seorang yang militan, alim, teguh dengan pendirian dan disegani banyak orang termasuk Kaisar Jepang.
Putra keempat (Haji Muhammad Syoeja’: 6) dari enam bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim ini lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 Rabiul Awal 1038H (Pimpinan pusat Muhammadiyah,2000,18) yang bertepatan dengan tanggal 24 November 1890.(1998:162; http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Bagoes_Hadikoesoemo) Di tahun yang sama lahir juga Sayid Idris Al-Sanusi (1890-1983) yang kelak menjadi pemimpin negara Libya Modern pertama (1951) hingga kejatuhannya karena kudeta pada 1969 oleh Muammar Al-Qaddafi. (“Idris I.” Microsoft®Encarta®2009[DVD].Redmond,WA: Microsoft Corporation, 2008) Setahun sebelumnya, (1889) di negeri Allahabad India, telah lahir seorang Jawaharlal Nehru (1889-1964) yang kelak menjadi Perdana Menteri India pertama dan pemimpin gerakan Non-Blok bersama Ir. Soekarno.(Gordon, Leonard. “Jawaharlal Nehru.” Microsoft® Encarta® 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008)

Kauman Yogyakarta, tempat kelahiran Ki Bagoes tampak seperti sudah direncanakan yang maha kuasa akan menjadi basis lahirnya pemimpin agama yang akan membimbing umat dari kebimbangan aqidah Islam. Di kampung ini pulalah keturunan wali pertama (baca: Maulana Malik Ibrahim) dari sembilan wali tumbuh berkembang yang dibawa melalui garis nasab Kiai Dahlan.(Ahmad Adaby Darban,2000:136; Adi Nugroho,2010:17) Sejarah mencatat kelak pejuang Aqidah dan pejuang perintis kemerdekaan Indonesia seperti Ki Bagoes hadir memberi kesejukan batin masyarakat Islam pada saat itu. Selain kondisi Kauman yang agamis, kepribadian Ki Bagoes diperoleh dari pendidikan yang diberikan ayahnya. Pendidikan keluarga yang taat pada agama dan penerapan disiplin dalam memegang tanggungjawab, adalah sekolah kader pertama Ki Bagoes. Kepemimpinan ayahnya sebagai lurah kraton menghantarkan putra-putranya menjadi tokoh berpengaruh seperti Kiai Haji Sujak, Kiai Haji Fakhruddin, dan Ki Bagoes sendiri. Sujak dan Fakhruddin adalah kakak kedua dan ketiga dari Ki Bagoes. Jika Dahlan adalah peletak dasar amal sosial Muhammadiyah, maka Kiai Sujak adalah murid langsung yang merumuskan dan menafsir pemikiran Dahlan dalam realitas gerakan. Sementara Fakhruddin adalah tokoh politik Islam yang berpengaruh di Syarikat Islam atau Partai Serikat Islam Indonesia. Sementara itu dua orang saudara perempuannya adalah aktifis sopo tresno yang didirikan oleh Nyai Walidah. Secara formal Ki Bagoes menempuh pendidikan di Sekolah ongko loro (tiga tahun setingkat sekolah dasar) dan pondok pesantren tradisional Wonokromo yogyakarta sebagaimana abangnya, Fakhruddin juga nyantri di sana. Selama di pesantren tersebut Ki Bagoes sangat tekun mempelajari kitab-kitab agama dalam bidang tasawuf, fiqih dan sebagainya.  

KIPRAH KI BAGOES
Ki Bagoes sangat dikenal sebagai seorang yang sangat teguh memegang ajaran agama Islam. Baginya aqidah Islam tidak dapat dipertukarkan dengan tata aturan manapun meski nyawa taruhannya. Semangat menggenggam aqidah Islam tersebut tercermin dari berbagai peristiwa yang dapat direkam dalam sejarah. Lewat Muhammadiyah Ki Bagoes selalu menggelorakan pentingnya ummat islam mempertahankan aqidah islam. Pesan-pesan itu ia sampaikan dalam pengajian Fathur-Asrar-Miftahus-Sa’adah yang dirintis Ahmad Dahlan. Ki Bagoes juga mengajarkan keyakinannya tersebut di madrasah Mu’alimat, pengajian para pensiunan, sewaktu menjadi guru di dakwatuddin, dan di berbagai kesempatan lainnya.

Sebagai murid langsung Kiai Dahlan, Ki Bagoes konsisten meneruskan cita-cita Muhammadiyah. Tercatat Ki Bagoes pernah menjadi ketua Majelis tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota komisi MPM Hoofdbestuur (1926), dan menjadi ketua PP Muhammadiyah pada tahun 1942-1953. Terpilihnya Ki Bagoes jadi Ketua PP Muhammadiyah sesungguhnya bukanlah karena keinginan pribadinya. Ia terpilih karena tuntutan sejarah dan dorongan warga Muhammadiyah. Ketika itu gejolak sosial politik bangsa sangat tinggi. Jepang masuk Ke Indonesia dengan mempersiapkan Dinasti Asia Timur Raya. Jepang adalah aktor utama dalam Perang dunia II  melawan sekutu. Karena KH Mas Mansur –sebagai ketua pengurus besar Muhammadiyah pada saat itu- diminta menjadi Ketua PUTERA di bawah koordinasi Jepang, maka kepemimpinan Muhammadiyah mengalami kekosongan. Sehingga melalui Muktamar darurat Muhammadiyah di Jogjakarta pada tahun 1944 diputuskan Ki Bagoes menjadi ketua pengurus besar Muhammadiyah.(M.T Arifin,1990:164)

Di masa kepemimpinannya sebagai Ketua PP Muhammadiyah, tantangan utama yang dihadapi oleh Ki Bagoes adalah justru soal ‘Aqidah Islam. Sebagaimana diketahui, bahwa Jepang menerapkan kebijakan Sei Kirei pada bangsa Indonesia. (Djarnawi Hadikusumo:96) Sei kirei adalah sikap tunduk seperti rukuk dalam sholat menghadap matahari terbit dengan maksud menyembah kaisar jepang Tenno Heika. Setiap pagi sekitar pukul 07.00 semua anak sekolah, pegawai negeri, tentara, petani diminta melakukan ritual Sei Kirei tersebut. Jelas ritual itu sangat bertentangan dengan Aqidah Islam di mana yang boleh disembah hanyalah Allah SWT saja. Sebagai Amir Muhammadiyah, Ia menentang kebijakan tersebut dan menyerukan kepada ummat Islam Indonesia dan warga Muhamamdiyah khususnya untuk menghentikan ritual tersebut. Di Sumatra seruan itu disambut baik oleh Dr. Haji Abdul Karim Amarullah dan pengikut-pengikutnya. Akibat kebijakan itu tentu Ki Bagoes harus berurusan dengan Gunsaikan atau Gubernur Militer Jepang di Jogjakarta. Bukan hanya Ki Bagoes sebagai seorang manusia biasa yang cemas atas keselamatannya, tetapi juga keluarga dan warga Muhammadiyah pada saat itu merasakan resah tak terperi. Namun Allah SWT berkehendak lain. Setelah Ki Bagoes menjelaskan sendiri argumentasi penolakan kebijakan Sei Kirei tersebut, Gunsaiken merasa senang dan memahami penjelasan seorang yang pernah menjadi pedagang kelililing itu. Sejak saat itu, maka bagi Umat Islam diperkenankan untuk tidak melakukan Sie Kirei.
Keteguhan Ki Bagoes dalam memegang Aqidah dan syariat Islam dapat dilihat juga dari peristiwa ketika ia diundang ke Jepang menghadap kaisar Jepang Tenno Heika dalam menerima janji kemerdekaan untuk Indonesia bersama Soekarno dan Moh. Hatta pada bulan februari 1945.(1998:165) Setibanya di Jepang, tiga utusan Indonesia ini diminta mengikuti sembahyang di Kuil upacara termulia bersama Kaisar Jepang. Salah satu rukun upacara sakral itu adalah harus meminum air sakai (arak) dalam cangkir. Hati Ki Bagoes berontak dan bukan meminumnya melainkan menumpahkan isi air arak ke lantai di depan kaisar dan para petinggi militer dan elit Jepang. Dapat kita bayangkan bagaimana berani dan teguh keimanan Ki Bagoes pada saat itu. Kembali lagi ia harus menghadap kaisar untuk dimintai pertanggungjawaban. Subhanallah, Ia kembali dilindungi oleh zat yang menciptakan kaisar Jepang itu. Bahkan kaisar Tenno Heika merasa takjub pada keimanan Ki Bagoes, sehingga ia menghadiahkan cangkir dan cawan itu kepada ayah Djarnawihadikusumo, kakek dari Afnan Hadikusumo (anggota DPD RI) dan Gunawan Budiyanto (Wakil Rektor UMY).

Dalam kontek berbangsa dan bernegara, Ki Bagoes adalah seorang pemimpin Islam yang dikenal sangat kuat untuk mewujudkan syariat Islam dalam bingkai tata negara formal. Kegigihannya memperjuangkan formalisme Islam sebagai ideologi negara dapat dilihat dari rapat Dokuritsu Jumbi Cosakai (BPUPKI) pada 14 juli 1945. Sebagai anggota BPUPKI, ia mempertanyakan Mukaddimah (piagam Jakarta) yang berbunyi “negara …berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Ia mengusulkan agar anak kalimat “bagi pemeluk-pemeluknya” itu dihilangkan saja karena dipandang tidak tegas dan terkesan samar.(Muhammad Yamin,1959:hal 250; Endang Saifuddin Anshari, 1986:38) Dalam rapat itu, usulan Ki Bagoes tidak diterima dan yang berlaku adalah sebagaimana hasil kompromi (gentleman’s agreement) piagam jakarta tersebut. Selain itu Ki bagushadikusumo juga mendukung usulan agar syarat menjadi Presiden Republik Indonesia adalah harus beragama Islam. Ketika kelompok nasionalis dan non muslim menolak usulan itu, Ki Bagus lantang membela kelompok Islam dan berkata:
“Saya berlindung kepada Allah terhadap Syetan yang merusak. Tuan-tuan, dengan pendek sudah kerapkali diterangkan disini, bahwa Islam itu mengandung ideologi negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam. Jadi saya menyetujui usulan tuan Abdul Kahar Muzakir tadi, kalau ideologi Islam tidak diterima, tidak diterima! Jadi nyata negara ini tidak berdiri di atas agama Islam dan negara akan netral.(1986:44)

Keluhuran budi, keteguhan memegang Aqidah Islam sangat tercermin dari sikap Ki Bagoes dalam rapat BPUPKI tersebut. Sejarah mencatat bahwa tujuh kata dan syarat menjadi presiden RI sangat mencerminkan aspirasi umat Islam. Namun satu hari setelah Indonesia merdeka, 18 Agustus 1945 dalam rapat PPKI, Moh. Hatta mengusulkan agar pasal pertama dari pancasila itu diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan syarat Presiden diganti dengan hanya sebagai orang Indonesia asli saja. Rapat itu mengalami kemunduran dari jam 09.30 yang direncanakan, menjadi pukul 11.30 WIB. Dalam rentang waktu antara 09.30- 11.30 itulah sejarah mencatat telah terjadi Lobi antara Moh. Hatta dan 4 orang anggota PPKI yang berpengaruh. Kelompok Islam diwakili oleh Ki Bagoeshadikusumo, KH Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimejo, sementara Teuku Hasan bukan representasi dari nasionalis Islam.(Moh. Hatta,1969:59; 1986:57)Menurut keterangan prowoto dapat disimpulkan bahwa ternyata perubahan dasar negara itu hanya dibebankan pada pundak Ki bagushadikusumo karena KH Wahid Hasyim tidak menghadiri rapat, sementara Mr, Kasman singodimejo anggota baru yang tidak ikut dalam perdebatan BPUPKI, sedangkan Teuku Hasan cendrung menerima positif usulan Moh. Hatta tersebut.(Prawoto,1970:38-39; 1986:58) Dari pengakuan Moh. Hatta, frase Yang Maha Esa ternyata adalah usulan dari Ki Bagoes Hadikusumo dengan maksud Tauhid yang tercermin dari Al quran Surat Al ikhlas ayat 1-4. Usul itu diajukan Ki Bagoes Hadikusumo ketika proses lobi sedang berlangsung.(1986:xvi) Fakta ini diperkuat dari hasil penelitian saudara prowoto Mangkusasmito yang bersempat bertemu langsung dengan Ki Bagoes Hadikusumo. Dialog Prawoto dengan Ki Bagoes itu didokumentasikan dalam bukunya Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara (Bulan Bintang, cetakan II, jakarta, 1977. Usulan Ki Bagoes tersebut mencerminkan buah pikiran dan tindakannya yang tidak lepas dari kerangka membela ajaran Islam sekaligus untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara.

Dari berbagai fakta historis itu, teranglah bagi kita bahwa seorang Ki Bagoes hadikusumo adalah seorang pemimpin Islam yang sangat teguh memegang Aqidah dan Syariat Islam. Ki Bagoes sebenarnya telah memberi teladan bagi kita bagaimana ber-Muhammadiyah dan ber-Islam dengan baik dan benar. Sebagai warga Muhammadiyah yang sudah tidak bertemu langsung dengan beliau, kita tidak perlu merasa kecewa karena Ki Bagoes hadikusumo telah meninggalkan ruh keberIslamannya melalui rumusan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. (Penerbit Suara Muhammadiyah dan MPK PP Muhammadiyah, 2010:7) Muqaddimah AD Muhammadiyah tersebut adalah pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan dan keteladanan hidupnya. Dengan menghayati, memahami, dan mengamalkan 7 pokok-pokok pikiran Muhammadiyah dalam Muqaddimah AD Muhammadiyah tersebut sesungguhnya kita telah menjalankan ajaran Islam dengan baik dan benar. Selain Muqaddimah AD Muhammadiyah, Ki Bagoes juga meninggalkan warisan pemikirannya dalam beberapa buku seperti Islam sebagai dasar negara dan Achlak pemimpin, Risalah Katresnanan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam(1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954). (2000:19) Buku-buku tersebut juga merupakan cermin keberpihakannya kepada Aqidah Islam. Beliau wafat kembali pada rahmat Allah SWT pada 4 November 1954 di Yogyakarta dalam usia 64 tahun dan pemerintah menobatkannya sebagai pahlawan perintis kemerdekan Republik Indonesia. Ki Bagoes meninggalkan 14 orang anak, dan pernah menikahi 3 orang istri. (Nidia Zuraya, Republika: 4 juli 2010)

Sebagai penutup tulisan ini, putranya Djarnawi hadikusumo mengabadikan jejak juangnya Ki Bagoes hadikusumo dalam buku yang berjudul derita seorang pemimpin. Kemudian dalam buku Aliran Pembaharuan Islam Dari Jamaluddin Al afghani sampai KH Ahmad Dahlan, Djarnawi menulis puisi untuk ayahnya. Puisi itu ia beri judul Untuk Ayahku. Bait-bait puisi itu sebagai berikut : Inilah dia-kalau belum dadanya pecah-kalau belum bahunya patah-jangan harap dia menyerah. Bukan kepadamu, wahai nafsu- tapi pada Allah Yang Maha Murah- biarlah jasadnya berkalang tanah- biarlah ruhnya ke alam barzakh. Yang jatuh, yang runtuh, yang tertimbun, yang memutih tulang- datang dan pergi, lalu pengganti datang- karena seruan Allah Maha Pengampun. Mereka itu adalah, tiada lain shobirin, sholihin, muballighin, mujahidin. Mereka itu adalah, tiada lain, peserta nabiyyin dijannatun na’im. Kini 61 tahun pasca kepergiannya, Muhammadiyah tetap berlayar mengarungi samudra kehidupan. Semoga keteladanannya dapat menaungi pelayaran Muhammadiyah mengantarkan umat Islam menuju Jannatun Naim sebagaimana yang ia doakan dalam muqaddimah AD Muhammadiyah. (bagi yang membaca tulisan ini mohon di Aminkan)
Nugroho Noto Susanto

Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, 
Wakil Sekretaris MPK PP Muhammadiyah, 
bisa dihubungi melalui emeail : nugrohoideolog@gmail.com