Keluarga dan Pelajaran Dari Abu Darda’

oleh : Gonda Yumitro, MA

Di era yang semakin materialistis ini, banyak orang begitu sibuk
mencari nafkah. Siang dan malam ia membanting tulang untuk menghidupi
keluarganya. Bahkan tidak sedikit mereka yang kehilangan waktu berharga
bersama anak dan istrinya dengan alasan untuk “membahagiakan” mereka.

Padahal boleh jadi apa yang dilakukan tersebut justru membuat
kehidupannya bertambah susah. Betapa banyak anak atau pasangan hidup
yang kekurangan perhatian, kasih sayang, dan pendidikan keluarga dari
pemimpinnya. 

Sungguh, meskipun materi memang diperlukan, tetapi
materi bukanlah segalanya. Dan betapa banyak mereka yang kita kira akan
bahagia dengan segala perhiasan dunia yang diperjuangkannya, ternyata
kehidupan mereka berakhir tragis dengan linangan air mata.

Sudah
banyak orang tua yang mengatakan apa yang mereka lakukan untuk
kebahagiaan keluarganya, tetapi justru yang terjadi adalah sebaliknya.

Karena itu, kiranya kita perlu belajar dari sejarah. Belajar Islam
secara lebih mendalam, bagaimana memahami hakikat dunia dan kebahagiaan
yang sebenarnya.

Salah satu pelajaran berharga bisa kita dapatkan
dari kisahnya Abu Darda’ radiyallahu ‘anhu. Seorang sahabat yang pada
awalnya merupakan seorang pengusaha kaya raya dan sibuk dengan
perniagaan. 

Namun kemudian, ketika ia mendapatkan hidayah
melalui dakwah yang disampaikan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
sallam, ia pun memfokuskan dirinya untuk beribadah, bahkan sampai
meninggalkan perdagangan yang dilakukannya selama ini kecuali
sekedarnya.

Ia pun banyak menghabiskan waktunya untuk memahami agama ini. Akhirnya ia dikenal sebagai seorang ulama dan fuqaha.

Dikisahkan dari Abi Jahidah bahwa Salman mendatangi saudaranya Abu
Darda’, dan menemukan istrinya Abu Darda’ dalam keadaan kurang
memperhatikan penampilannya. Maka ia pun bertanya, “apa yang terjadi
padamu?”. Ummu Darda’ menjawab,

إن أخاك لا حاجة له في الدنيا، يقوم الليل ويصوم النهار
Sesungguhnya saudaramu tidak lagi punya keinginan terhadap dunia, ia sholat pada malam hari dan berpuasa terus pada siang hari.

Salman pun mendatangi Abu Darda’ membawa makanan, kemudian mengatakan,
makanlah. Abu Darda’ menjawab, aku sedang berpuasa. Maka ketika
dikatakan berbukalah, Abu Darda’ pun makan bersama Salman.

Kemudian pada malam harinya Salman tidur di dekat Abu Darda’. Ketika
baru tidur, Abu Darda’ sudah bangkit dan ingin sholat malam. Salman
mengatakan,
إن لجسدك عليك حقّاً، ولربك عليك حقّاً، ولأهلك عليك حقّاً، صم، وأفطر، وصل، وائت أهلك، وأعط كل ذي حق حقه
Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak, Rabbmu mempunyai hak, keluargamu
punya hak, maka berpuasalah dan berbuka, sholatlah dan tidur bersama
keluargamu, dan berikan segala sesuatu haknya.

Ketika sudah menjelang subuh, maka Salman berkata, bangunlah. Mereka pun berwudhu’, kemudian sholat.

Mendapat perlakukan seperti ini, Abu Darda’ pun melaporkan kepada
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam perkara yang diperintahkan
Salman kepadanya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pun
mengatakan, 

يا أبا الدرداء، إن لجسدك عليك حقّاً، مثل ما قال لك سلمان
Wahai Aba Darda’, sesungguhnya tubuhmu punya hak, sebagaimana halnya yang dikatakan Salman kepadamu. (HR Bukhari dan Tarmidzi)

Dari kisah di atas, kita bisa mengambil pelajaran bahwa jika untuk
urusan ibadah sholat dan puasa saja kita tidak boleh berlebihan sampai
melupakan keluarga, maka apalagi jika hal tersebut dikarenakan kesibukan
pekerjaan kita.

Oleh karena itu, hendaknya kita kembali
mengoreksi intensitas hubungan kita dengan keluarga selama ini. Jangan
sampai karena kesibukan yang kita lakukan, istri kita tidak mendapatkan
haknya. Begitu juga dengan anak-anak kita, apalagi ketika mereka berada
pada usia emas. 

InsyaAllah dengan kesuksesan dalam membangun
keluarga sesuai dengan yang dituntukan Allah ta’ala, rencana sebesar
apapun dalam urusan kita akan terasa mudah dan mendapatkan dukungan dari
mereka. Aamin.