Imam Asy Syathibi: Bapak Maqasid al Syariah

Musthafa Said al-Khin dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy membuat sebuah terobosan baru mengenai kecenderungan aliran dalam Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqaha atau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, al-Khin membaginya menjadi lima bagian: Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan Syathibiyyah
Musthafa Said al-Khin dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy membuat sebuah terobosan baru mengenai kecenderungan aliran dalam Ilmu Ushul Fiqh.[1] Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqaha atau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, al-Khin membaginya menjadi lima bagian: Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan Syathibiyyah.
Pembagian ini, hemat penulis, merupakan pembagian terbaru di manathariqah yang ditempuh Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagian corak aliran yang terpisah dari aliran ushul lainnya. Tidak berlebihan memang, karena dalam coraknya al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat) Ushul Fiqh dengan konsepMaqashid al-Syari’ah sehingga produk hukum yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual.
Ada dua nilai penting, hemat penulis, apabila model al-Syathibi ini dikembangkan para ulama sekarang dalam menggali hukum. Pertama, dapat menjembatani antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep Ilmu Ushul Fiqh sedangkan “aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenya tajdid Ushul al-Fiqh dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi Ushul Fiqh demi menghasilkan produk fiqh yang lebih kapabel. Di antara yang paling vokal menyuarakan konsep ini adalah Hasan al-Turaby dengan bukunya Tajdid Ushul al-Fiqh—buku ini dinyatakan terlarang dipasarkan.
Meski sesungguhnya penulis kurang sependapat dengan tayyar al-yasar ini, namun ada hal yang perlu dicatat bahwa apa yang mereka lontarkan adalah karena ketidakpuasannya dengan produk-produk fiqh para ulama yang terlalu terpaku pada teks tanpa mengindahkan konteks. Dengan demikian, produk hukum yang dihasilkan pun menjadi mati, ambigu, bahkan terkadang, menurut mereka, kurang manusiawi.[2] Keambiguan ini disebabkan methodologi yang ditempuh terlalu ushuli kurang memperhatikanMaqashid al-Syari’ah.
Betul, bahwa ulama-ulama Ushul dahulu telah membahas Maqashid al-Syari’ah ini menjadi salah satu bagian dari ilmu Ushul. Hanya saja, perlu dicatat, pembahasan al-mutaqaddimin dengan Maqashid al-Syari’ah ini boleh dikatakan hanya sebagai “lipstik” saja karena pembahasannya yang begitu singkat dan cenderung kurang mewakili.
Dengan corak methodologi Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat-nya yang mencoba menggabungkan antara teori-teori Ushul dengan Maqashid al-Syari’ah akan menjadi penghubung sekaligus jembatan untuk meng-“ishlahkan” kedua kecenderungan di atas. Memisahkan teori-teori Ushul Fiqh dengan Maqashid al-Syari’ah merupakan kesalahan besar karena tidak semua al-hawadits al-haditsah atau al-qaadimah dapat diselesaikan dengan Maqashid al-Syari’ah an.sich, meskipun Thahir bin Asyur dalam bukunya Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah secara yakin menjadikan Maqashid al-Syari’ah ini sebagai ilmu mustaqil yang terlepas dari ilmu Ushul Fiqh.[3] Namun, dalam pandangan penulis, sesungguhnya teori-teori dan kerangka yang dikemukakan Thahir bin Asyur sendiri, disadari atau tidak, adalah teori-teori Ushul Fiqh itu sendiri hanya dengan format yang berbeda.
Kedua, model al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu Qayyim, al fiqh al-hayy, fiqh yang hidup. Karena itu, fiqh yang terlalu teksbook yang penulis istilahkan dengan Fiqh Ushuly akan berubah menjadi Fiqh Maqashidy.
Sedikit penulis mengajak para pembaca untuk bernostalgia ke Indonesia. Dalam pengamatan penulis, ada kesalahan fatal sikap masyarakat Indonesia khususnya terhadap fiqh. Ia lebih dipahami sebagai ilmu yang membahas tentang ritual dan tata cara ibadah an sich, yang terlepas dari nilai-nilairububiyyah murni dan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini terlihat misalnya, mereka lebih asyik dengan menempelkan dahi di atas sajadah daripada memperhatikan tetangganya yang bergelut melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya yang kurus kering kurang gizi. Mereka lebih merasa berdosa tidak berdzikir setelah shalat atau makan daging anjing dari pada berbohong, menipu dan korupsi. Paling tidak, kesalahan ini adalah karena fiqh dipahami hanya ibadah yang kaitannya antara manusia dan Tuhan saja.
Ada semacam pembatasan pemahaman fiqh di kalangan masyarakat dewasa ini sehingga lebih mementingakn menghapal syarat sah, syarat wajib, rukun dan lainnya dari pada efek ibadah itu sendiri. Padahal pada awalnya fiqh mencakup pula persoalan tauhid dan akhlak seperti yang terdapat dalamKitab al-Fiqh al-Akbar karya Imam Abu Hanifah atau Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali.
Di samping itu, silabus pengajaran fiqh di Indonesia, sepengetahuan penulis, juga kurang mengarah pada Fiqh Maqashidy. Hampir tidak ada, hemat penulis, silabus yang khusus membahas tentang Maqashid al-Syari’ah. Karenanya, tidaklah heran ekses fiqh tidak berpengaruh pada tataranamaliyyah yaumiyyah, ia lebih pada tataran fardhiyyah syakhsiyyah. Akhirnya, shalat dan ibadah rajin, korupsi jalan terus. Inilah gambaran bagaiman fiqh itu mati, ambigu, sangat ushuly tidak hidup dan tidakmaqashidy.
Dari paparan di atas jelas, kebutuhan untuk memahami dan mengkampanyekan Maqashid al-Syari’ah di samping Ushul Fiqh menjadi sangat penting adanya. Demi menuju ke arah itu, penulis merasa terpanggil untuk mengungkap sekilas perjalanan Imam Sythibi sebagai Bapak Maqashid al-Syari’ah Pertama sekaligus sekilas tentang Maqashid al-Syari’ah versi Syathibi.
A. Biografi Singkat Imam Syathibi
Sebelum memaparkan lebih jauh tentang biografi Imam Syathibi, perlu penulis kemukakan terlebih dahulu bahwa buku yang membahas khusus seputar perjalanan hidup Imam Syathibi ini—sepengetahuan penulis—ada dua buah yaitu yang ditahkik oleh Ustadz Muhammad Abu al-Ajfan: al-Ifadaat wa al-Insyadaat li Syathibi dan Fatawa al-Imam al-Syathibi.[4]Kemudian muridnya, Ahmad Baba Attanbakaty mencoba mengembangkan lebih jauh dalam dua karyanya Nailul Ibtihaj dan Kifayatul Muhtaj. Oleh karena itu, pembahasan kali ini banyak mengacu kepada buku-buku tersebut.
Nama lengkap Imam Syathibi adalah Abu Ishak Ibrahim bin Musa bin Muhammad Allakhami al-Gharnathi. Ia dilahirkan di Granada pada tahun 730H dan meninggal pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun 790H atau 1388 M.[5] Nama Syathibi adalah nisbat kepada tempat kelahiran ayahnya di Sativa (Syathibah=arab), sebuah daerah di sebelah timur Andalusia.[6] Pada tahun 1247M, keluarga Imam Syathibi mengungsi ke Granada setelah Sativa, tempat asalnya, jatuh ke tangan raja Spanyol Uraqun setelah keduanya berperang kurang lebih 9 tahun sejak tahun 1239M.
Granada sendiri awalnya adalah sebuah kota kecil yang terletak di kaki gunung Syulair yang sangat kental dengan saljunya.[7] Karena Granada ini kota kecil dan sangat dingin, maka orang-orang muslim saat itu lebih memilih pindah ke kota Birrah—sebuah kota yang terletek tidak jauh dari Granada—dari pada tinggal di Granada.
Ketika Imam Syathibi hidup, Granada diperintah oleh Bani Ahmar.[8] Bani Ahmar sendiri adalah sebutan untuk keturunan dan keluarga Sa’ad bin Ubadah, salah seorang sahabat Anshar. Sedangkan laqab Ahmar ditujukan kepada salah seorang rajanya yang bernama Abu Sa’id Muhammad as-Sadis (761-763H) karena memiliki warna kulit kemerah-merahan. Orang Spanyol menyebut Abu Sa’id ini dengan al-Barmekho yang dalam bahasa Spanyol berarti warna jeruk yang kemerah-merahan.[9]
Ketika Bani Ahmar berkuasa, kehidupan masyarakat jauh dari kehidupan yang islami bahkan mereka dipenuhi dengan berbagai khurafat dan bid’ah. Kondisi ini semakin parah ketika Muhammad al-Khamis yang bergelar al-Ghany Billah memegang kekuasaan.[10] Bukan hanya seringnya terjadi pertumpahan darah dan pemberontakan, akan tetapi pada masa itu juga setiap ada orang yang menyeru kepada cara beragama yang sebenarnya malah dituding telah keluar dari agama bahkan acap kali mendapat hukuman yang sangat berat.
Hampir semua ulama yang hidup pada masa itu adalah orang-orang yang tidak memiliki latar belakang ilmu agama yang cukup dan bahkan tidak jarang meraka yang tidak tahu menahu persoalan agama diangkat oleh raja sebagai dewan fatwa. Oleh karena itu, tidaklah heran apabila fatwa-fatwa yang dihasilkan sangat jauh dari kebenaran.
Imam Syathibi bangkit menentang dan melawan para ulama Granada saat itu. Ia mencoba meluruskan dan mengembalikan bid’ah ke sunnah serta membawa masyarakat dari kesesatan kepada kebenaran. Perseteruan sengit antara Imam Syathibi dan para ulama Granada saat itu tidak dapat dielakkan. Setiap kali Imam Syathibi berfatwa halal, mereka sebaliknya, berfatwa haram tanpa melihat terlebih dahulu kepada nash. Karena itulah, Imam Syathibi kemudian dilecehkan, dicerca, dikucilkan dan dianggap telah keluar dari agama yang sebenarnya.
Hal lain yang disoroti Imam Syathibi adalah praktek tasawwuf para ulama saat itu yang telah menyimpang. Mereka berkumpul malam hari, lalu berdzikir bersama dengan suara sangat keras kemudian diakhiri dengan tari dan nyanyi sampai akhir malam. Sebagian dari mereka ada yang memukul-mukul dadanya bahkan kepalanya sendiri. Imam Syathibi bangkit mengharamkan praktek tersebut karena dinilai telah menyimpang dari ajaran yang sesugguhnya. Menurut Imam Syathibi, setiap cara mendekatkan diri yang ditempuh bukan seperti yang dipraktekkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya adalah bathil dan terlarang.[11]
Fatwa Syathibi tentang praktek tasawwuf yang menyimpang ini juga dikuatkan oeh salah seorang ulama ahli tasawwuf saat itu Abul Hasan an-Nawawi. Ia mengatakan bahwa barangsiapa yang melihat orang yang mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan jalan yang keluar dari Ilmu Syari’ah, maka janganlah mendekatinya.[12]
Imam Syathibi juga menyoroti ta’ashub berlebihan yang dipraktekan para ulama Granada dan masyarakat Andalusia saat itu terhadap madzhab Maliki. Mereka memandang setiap orang yang bukan madzhab Maliki adalah sesat. Sebagaimana diketahui bersama bahwa masyarakat Andalus memegang erat madzhab Maliki ini sejak raja mereka Hisyam al-Awwal bin Abdurrahman ad-Dakhil yang memerintah dari tahun 173-180H menjadikan madzhab ini sebagai madzhab resmi negara.[13]
Menurut salah satu riwayat, kecenderungan Hisyam al-Awwal untuk mengambil madzhab Maliki ini adalah ketika dia bertanya kepada dua orang ulama yang satu bermadzhab Hanafi serta yang lain bermadzhab Maliki. Hisyam al-Awwal saat itu bertanya: “Dari mana asalnya Abu Hanifah itu?” Ulama Hanafi menjawab: “Dari Kufah”. Lalu ia bertanya kembali kepada ulama Maliki: “Dari mana asal Imam Malik?” Ulama Maliki ini menjawab: “Dari Madinah”. Hisyam lalu berkata: “Imam yang berasal dari tempat hijrah Rasulullah Saw cukup bagi kami”.[14]
Mulai saat itu, seolah sudah merupakan amar resmi, masyarakat Andalus memegang kokoh madzhab Maliki. Saking berlebihannya ta’asub mereka, mereka tidak lagi mengenal bahkan cenderung tidak bersahabat dengan madzhab-madzhab lainnya terutama madzhab Hanafi sehingga Muhammad Fadhil bin Asyur melukiskan mereka: “Mereka tidak lagi mengenal selain al-Qur’an dan al-Muwatha’ Imam Malik”.[15]
Para ulama yang tidak bermadzhab Maliki saat itu tidak pernah lepas dari cercaan bahkan penyiksaan seperti yang dialami oleh al-Alammah Baqa bin Mukhlid, seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Imam Syathibi melukiskan ulama ini sebagai ulama besar yang tidak ada tandingannya saat itu, ia pernah belajar dari Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal dan ulama-ulama lainnya yang berada di luar Andalus. Namun, sayang meninggal karena hukuman dari amir saat itu.[16]
Sekalipun Imam Syathibi seorang ulama Maliki—bahkan Muhammad Makhluf menjadikannya sebagai ulama Maliki tingkatan ke-16 cabang Andalus[17]—namun ia tetap menghargai ulama-ulama madzhab lainnya termasuk madzhab Hanafi yang saat itu selalu menjadi sasaran tembak nomor satu. Bahkan, dalam berbagai kesempatan ia sering menyanjung Abu Hanifah dan ulama lainnya. Kitab al-Muwafaqat sendiri—yang akan kita bahas—sengaja disusun oleh Imam Syathibi dalam rangka menjembatani ketegangan yang terjadi saat itu antara Madzhab Maliki dan Hanafi.
Sedangkan sebagai respon terhadap bid’ah dan khurafat yang berkembang saat itu, Imam Syathibi menyusun sebuah karya monumental lainnya yaitual-I’tisham.
Demikian sekelumit kehidupan Imam Syathibi dan kondisi masyarakat sekitarnya yang melatarbelakangi disusunnya karya-karya agung.
Karya-karya Imam Syathibi
Karya-karya Imam Syathibi semuanya mengacu kepada dua bidang ilmu yang menurut istilah Hammadi al-Ubaidy, ulum al- wasilah dan ulum al-maqasid. Ulum al-wasilah adalah ilmu-ilmu bahasa Arab yang merupakanwasilah untuk memahami Ilmu Maqasid. Untuk lebih jelasnya, berikut ini sekilas tentang karya-karya Imam Syathibi:
1. Kitab al-Muwafaqat
Kitab ini adalah kitab paling monumental sekaligus paling dikenal di antara karya-karya Imam Syathibi lainnya. Kitab ini terdiri dari 4 juz dan awalnya kitab ini berjudul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif kemudian setelah Imam Syathibi bermimpi, dirubah menjadi al-Muwafaqat sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh di penghujung bahasan ini
2. Kitab al-I’tisham
Buku ini terdiri dari dua juz dan ditulis setelah Kitab al-Muwafaqat. Buku ini mengupas secara panjang lebar tentang bid’ah dan seluk beluknya. Ditulis oleh Imam Syathibi dalam suatu perjalanan khusus dan beliau meninggal terlebih dahulu sebelum merampungkan tulisannya ini.[18]
3. Kitab al-Majalis
Kitab ini merupakan syarah dari Kitab al-Buyu’ yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari. Attanbakaty melihat faidah buku ini dengan menyebutnya: “minal fawaid wa al-tahqiqat ma la ya’lamuhu illallah”.[19]
4. Syarah al-Khulashah
Buku ini adalah buku Ilmu Nahwu yang merupakan syarah dari Alfiyyah Ibn Malik. Terdiri dari 4 juz besar dan menurut Attanbakaty buku ini merupakansyarah Alfiyyah Ibn Malik terbaik dari segi kedalaman dan keluasan ilmu yang dipaparkannya.[20]
5. Unwan al-Ittifaq fi ‘Ilm al-Isytiqaq
Buku tentang Ilmu Sharf dan Fiqh Lughah. Buku ini sebanding dengan bukual-Khulashah karya Ibn Jinny. Hanya saja sayang buku ini sudah hilang semenjak Imam Syathibi masih hidup.[21]
6. Ushul an-Nahw
Buku ini membahas tentang Qawaid Lughah dalam Ilmu Sharf dan Ilm Nahwu. Di dalamnya dibahas Qawaid Ashliyyah seputar ilmu tersebut hanya saja sayang buku ini sudah hilang semenjak dahulu.[22]
7. Al-Ifadaat wa al-Insyadaat
Buku ini khusus dibuat sebagai gambaran perjalanan hidup Imam Syathibi sekaligus menyebutkan guru-guru dan murid-muridnya.
8. Fatawa al-Syathibi
Buku ini adalah buku paling bontot. Hanya saja buku ini bukan dikarang langsung oleh Imam Syathibi hanya merupakan kumpulan fatwa-fatwanya yang tersebar dalam Kitab al-I’tisham dan al-Muwafaqat.
Di antara sekian banyak karya Imam Syathibi ini, yang dicetak hanya tiga buah yaitu Kitab al-Muwafaqat, Kitab al-I’tisham dan al-Ifaadat wa al-Insyadaat.
Sekilas Tentang al-Muwafaqat
“Qalilun minka yakfiini wa lakin qaliluka la yuqalu lahu qalil”. Demikian salah satu syair yang dikemukakan Rasyid Ridha terhadap dua buah kitab karya Syathibi, yaitu al-Muwafaqat dan al-I’tisham dalam Muqaddimah Kitab al-I’tisham yang ditulisnya. Bahkan ia lebih jauh memberikan dua buah gelar bagi Imam Syathibi yaitu Mujaddid fi al-Islam dengan Kitab al-Muwafaqat-nya dan al-Mushlih dengan Kitab al-I’tisham-nya.[23]
Memang layak Imam Syathibi menyandang dua gelar di atas karena dalamal-Muwafaqat ia mencoba memperbaharui pemahaman syari’ah dengan jalan membawa aqal untuk memahami maqasid dan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Sementara dalam al-I’tisham ia mencoba mengembalikan bid’ah kepada sunnah serta mencoba menawarkan konsep untuk membangun sebuah kehidupan masyarakat yang sesuai dengan apa yang dipraktekkan pada masa Rasulullah Saw dan al-Khulafa al-Rasyidun.
Awalnya buku al-Muwafaqat ini diberi judul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif karena mengungkap rahasia-rahasia di balik hukum taklif. Akan tetapi Imam Syathibi merasa kurang cocok dengan nama ini sampai suatu hari ia bermimpi. Dalam mimpinya ini Imam Syathibi bertemu dengan salah seorang syaikhnya, keduanya berjalan dan bercerita dengan seksama. Lalu gurunya itu berkata kepada Imam Syathibi: “Kemarin saya bermimpi melihat kamu membawa sebuah buku hasil karyamu sendiri. Lalu saya bertanya kepadamu tentang judul buku itu dan kamu mengatakan bahwa judulnya adalah al-Muwafaqat. Saya lalu bertanya kembali maknanya dan kamu menjawab bahwa kamu mencoba menyelaraskan dua madzhab yaitu Maliki dan Hanafi”. Setelah mimpi itu, Imam Syathibi menggantinya dengan namaal-Muwafaqat.[24]
Dari ungkapan Imam Syathibi di atas tampak bahwa ia mencoba menyamakan kedudukan Imam Malik dan Abu Hanifah. Ia mengangkat kedudukan Imam Malik dan menjadikan Abu Hanifah sejajar dengan kedudukan Ibn al-Qasim, salah seorang murid Imam Malik.
Buku ini terdiri dari 4 juz akan tetapi dilihat dari segi temanya terbagi kepada 5 bagian:
1. Al-Muqaddimah 
Ada 13 masalah yang dipaparkan dalam mukaddimah ini sebagai langkah awal dan dasar dalam memahami pembahasan kitab al-Muwafaqatberikutnya.
2. Al-Ahkam
Membahas lima hukum taklifi dan lima hukum wadh’i di samping itu dijelaskan pula keterkaitannya dengan maqasid al-Syari’ah.
3. Al-Maqasid
Pembahasan ini dibahas dalam juz II sampai selesai. Dalam kesempatan ini penulis hanya akan membedah bab ini saja mengingat persoalan ini yang membuat al-Muwafaqat membumbung tinggi.
4. Al-Adillah
Bab ini membahas tentang dua dalil yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah serta hukum-hukum lain yang berkaitan dengannya seperti naskh, amr, nahyi dan lainnya.
5. Al-Ijtihad wa al-Tajdid
Bab ini mengupas seputar persoalan ijtihad dan taqlid atau yang lebih dikenal dengan Ahkam al-Ijtihad wa al-Taqlid.
Buku al-Muwafaqat ini pertama kali dikenal di Tunis oleh para mahasiswa dan para ulama Tunis saat itu. Kemudian untuk pertama kalinya dicetak di Tunisia pada tahun 1302H atau 1884M di Mathba’ah al-Daulah al-Tunisiyyah dengan tashih dari tiga ulama besar Tunisia saat itu yaitu: Syaikh Ali al-Syanufi, Syaikh Ahmad al-Wartany dan Syaikh Shalih Qayiji. Sedangkan di Mesir baru dicetak pertama kali tahun 1341H / 1922M atau setelah kurang lebih 38 tahun dicetak di Tunisia.[25] Oleh karena itu, apa yang ditulis Abdullah Darraz dalam Mukaddimah al-Muwafaqat bahwa buku ini pertama kali dicetak di Mesir, menjadi terbantahkan.[26]
Kitab ini mulai dikenal di Mesir semenjak Muhammad Abduh mengadakan kunjungan ke Tunisia tahun 1884M. Sejak kunjungan itulah, Abduh kemudian memperkenalkannnya kepada Mesir dan langsung dicetak dua kali cetakan, yang pertama ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (dicetak oleh Maktabah Shabih di Mesir tahun 1969M) dan yang kedua ditahkik oleh Syaikh Abdullah Darraz (dicetak oleh al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra di Mesir tanpa tahun cetakan).[27]
Di antara ulama yang mempunyai peranan sangat penting dalam mempopulerkan kitab ini adalah Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha serta murid Rasyid Ridha, Abdullah Darraz. Bahkan Rasyid Ridha melihat kitab al-Muwafaqat ini sebanding dengan al-Muqaddimah-nya Ibn Khaldun.[28]
Kitab al-Muwafaqat ini kini menjadi sangat populer bukan hanya di Timur Tengah, tetapi juga di Barat. Di Kanada, Belanda dan Amerika misalnya, al-Muwafaqat menjadi buku pegangan wajib bagi mereka yang mengambilsyu’bah Islamic Studies.
Karya-karya besar pun telah banyak dihasilkan, terutama dalam bentuk disertasi dan thesis, dari mengkaji buku ini. Di antara karya-karya dimaksud—sepengetahuan penulis untuk lingkungan Timur Tengah—adalah Ahmad Raisuni; Nadhariyyatul Maqasid Maqasid ‘Inda al-Imam al-Syathibi; Hammadi al-Ubaidhi; al-Syathibi wa Maqasid al-Syari’ah, Abdurrahman Zaid al-Kailani;Qawaid al-Maqasid ‘Inda al-Imam al-Syathibi, Abdul Mun’in Idris; Fikru al-Maqashid ‘Inda al-Syathibi min Khilal Kitab al-Muwafaqat, Abd Majid Najar;Masalik al-Kasyf ‘an Maqasid al-Syari’ah Baina al-Syathibi wa Ibn ‘Asyur, Jailani al-Marini; al-Qawaid al-Ushuliyyah ‘Inda al-Syathibi, Basyir Mahdi al-Kabisi; al-Syathibi wa Manhajatuhu fi Maqasid al-Syari’ah dan Habib Iyad;Maqasid al-Syari’ah fi Kitab al-Muwafaqat li al-Syathibi.

Aep Saepulloh Darusmanwiati, 


Alumni pasca sarjana Universitas al-Azhar Kairo, Fakultas Syari’ah jurusan Ushul Fiqh