Ekonomi Islam dan Penguasaan Bahasa Arab

Oleh: Aries Musnandar

Pendidik/Peminat Kajian Ekonomi Islam
Pada undangan diskusi tentang ekonomi Islam yang diadakan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) usai ketua program studi Ilmu Ekonomi Islam FEB UB menyampaikan materi lalu giliran saya menyampaikan pandangan tentang ekonomi Islam dalam prakteknya di Indonesia. Dihadapan peserta kajian Ekonomi Islam yang sebagiannya berasal dari program studi ilmu Ekonomi Islam dan sebagian lagi dari ilmu ekonomi umum yang berminat dengan kajian ekonomi Islam saya bertanya kepada peserta (mahasiswa) karena ingin mengetahui seberapa banyak yang menguasai bahasa Arab atau paling tidak tengah mengikuti kursus atau belajar bahasa Arab. Ternyata tidak satu pun yang masuk dalam kategori keduanya itu, malah “menyentuh” mushaf al Quran untuk mendalami makna yang terkandung di dalamnya tidak menjadi perhatian mereka, padahal mereka begitu antusias belajar ilmu ekonomi Islam. Oleh karena itu saya katakan kepada mereka mumpung masih muda belia dan “fresh” agar bersegera mempelajari al Quran bacalah setiap hari ayat-ayat al Quran serta pelajari bahasa Arab secara serius hingga mampu memahami al Quran dan Hadist yang ditulis dalam bahasa Arab itu.
Kegiatan mempelajari al Quran dan bahasa Arab ini amat diperlukan guna lebih memahami makna ekonomi Islam itu sendiri. Ayat-ayat qawliyyah berasal dari bahasa Arab sehingga kita mesti menguasai bahasa Arab terlebih dahulu agar lebih sempurna menuntut ilmu ekonomi Islam tersebut sebab bagaimana mungkin kita bisa dianggap ahli ekonomi Islam sementara kita tidak menguasai bahasa asal yang digunakan dalam mengkaji ekonomi Islam itu. Sumber pemahaman tentang ekonomi Islam tentu berasal dari al Quran, Hadist, sirah Nabawiyyah dan berbagai tradisi keislaman yang telah dilalui umat Islam sehingga dahulu Islam pernah jaya dalam zaman keemasannya (the golden age of Islam) yang membuat Islam dengan cepat dan mudah menyebar tidak hanya di jazirah Arab saja tetapi keseluruh penjuru dunia. Peradaban Islam yang dibentuk oleh umat Islam pada masa kejayaan itu membuat pengembangan sains dan teknologi berjaya dan mampu menajdikan kehidupan masyarakat di era kekuasaan Islam menjadi begitu nyaman, kondusif, merasakan kedamaian. Disinilah tampak bahwa Islam memang agama yang ‘rahmatan lil alamin’.
Nah, jika hingga kini misalnya masyarakat Indonesia belum merasakan kondisi positif semacam itu padahal mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam maka mungkjin saja terjadi sesuatu kekeliruan dalam memahani konsep keislaman termasuk dalam hal ini memahami ekonomi Islam sebagai suatu cara untuk menyejahterakan umat Islam sehingga tidak ada umat yang berada di garis kemiskinan. Jika berdasarkan standar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa mereka yang berada dalam garis kemiskinan apabila memiliki penghasilan dibawah 2 dollar AS atau sekitar 20 ribu rupiah per hari atau 600 ribu rupiah per bulan, maka jumlah orang miskin di Indonesia bisa mencapai setengah atau 50 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah mendekati 250 juta jiwa itu. Sedangkan standar pemerintah melalui BPS menetapkan orang miskin itu sekitar 1 dollar AS per hari atau separuhnya dari standar PBB tersebut, ini berarti orang baru dianggap miskin bila penduduk memiliki penghasilan kurang dari 300 ribu rupiah per bulan. Artinya jika berdasarkan tolok ukur pemerintah tersebut maka jumlah orang miskin di Indonesia “hanya” sekitar 12 persen atau 30 juta jiwa.
Padahal untuk kondisi kehidupan dewasa ini uang 600 ribu rupiah per bulan yang didasarkan standar PBB itu saja sudah sulit untuk menjalankan hidup sehari-hari apalagi dengan penghasilan hanya 300 ribu rupiah per bulan, sungguh keterlaluan standar yang ditetapkan pemerintah itu. Ironisnya, gaji dan fasilitas pejabat pemerintah ribuan atau ratusan ribu kali lipat dari penghasilan warga miskin, dan jika dengan korupsinya sekalian akan jutaan kali lipat dari penghasilan warga miskin Indonesia. Alamak, alangkah “kejam” dan egoisnya pemerintah menetapkan standar kemiskinan yang tidak masuk akal dan hanya ingin enaknya sendiri saja.
Kembali ke persoalan pemahaman al Quran melalui penguasaan bahasa Arab, kita menyadari bahwa selama ini pendidikan kita dicekoki dengan bahasa Asing non Arab yang dipelajari tidak saja di tingkat sekolah menengah bahkan sejak TK atau pun taman bermain atau play group anak-anak kita “dipaksa” berbahasa asing yakni bahasa Inggris. Bahasa Arab tidak menjadi hal yang serius dipelajari. Jika pun ada yang terkait dengan bahasa Arab itu hanya pada tataran menghafalkan doa-doa yang diajarkan pada jenjang program pendidikan usia dini termasuk manakala anak-anak kita belajar di madrasah kesungguhan untuk dapat menguasai bahasa Arab kurang terasa dibandingkan upaya untuk menguasai bahasa Inggris. Alhasil, anak-anak kita saat menggali ilmu pengetahuan hanya terbiasa dengan bahasa Inggris ketimbang bahasa Arab. Padahal bahasa Arab juga bahasa ilmu.
Nah, karena tidak menguasai bahasa Arab muncul kemalasan untuk menggali hal-hal terkait sumber ilmu pengetahuan yang ada di al Quran, seperti ketika kita ingin mendalami perihal ilmu ekonomi Islam sebagaimana dipaparkan di awal tulisan ini. Sementara itu hanya dengan sedikit saja penguasaan bahasa Inggris anak-anak kita ini dipacu untuk membaca buku-buku ilmu pengetahuan yang tertulis dalam bahasa Inggris. Lalu kita pun belajar sampai ke Barat tempat yang memproduksi buku-buku pengetahuan termasuk bahkan (ini lebih gila lagi) menuntut ilmu agama Islam ke Barat. Meski menguasai bahasa Arab para orientalis itu memiliki worldview sendiri sehingga mereka tidak Islam dan tidak melakukan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan dan dilarang oleh agama sehingga mereka (dalam istilah Prof. Naquib al Attas) bukanlah Muslim atau “being good man” tetapi baru sampai pada “being good citizen”.