Perlukah Muhammadiyah Jadi Parpol ?

Ketua LSIK (kiri), Rektor Unimus (tengah) dan pembicara (kanan)
Semarang – Perbincangan tentang perlu tidaknya Muhammadiyah menjadi atau mendirikan partai politik. Sudah terjadi sejak lama dan selalu menjadi perbincangan di kalangan internal maupun eksternal organisasi Muhammadiyah. Dilihat dari tujuan dan gerakan awal berdirinya, Muhammadiyah saat ini tidak perlu mendirikan partai atau sebagai partai (partisan) meski dalam kenyataannya Muhammadiyah merupakan gerakan politik.
 
Hal tersebut disampaikan Ketua Majelis Hikmah PP Humammadiyah Jakarta Dr H Imam Addaruqutni MA (Al Hafidz) pada Seminar Keislaman yang diselenggarakan Lembaga Studi Islam dan Kemuhammadiyahan (LSIK) Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus) di kampus setempat, Jumat (09/01/2015).
 
Seminar dengan tema “Muhammadiyah dan Politik Kebangsaan” ini dibuka Rektor Unimus Prof Dr H Jamaludin Darwis MA dihadiri para wakil rektor, dekan, Ketua Badan Harian Unimus Widadi SH, Ketua LSIK Rohmat Suprapto SAg MAg dan para dosen Unimus.
 
“Sebagian sejarah dan pergerak awal berdirinya organisasi Muhammadiyah oleh KH Ahmad Dahlan menunjukkan KH Ahmad Dahlan saat itu terinspirasi pemikiran reformasi keislaman terjadi di Arab Saudi dan sejumlah negara Islam di Timur Tengah untuk kembali pada kemurnian ajaran Islam. Sehingga pada dasarnya Muhammadiyah merupakan organisasi yang boleh dikata berpolitik namun tidak partisan. Dan politik baru dijalankan manakala komunikasi dengan penguasa menemui jalan buntu atau penguasa tidak mau mendengarkan masukan-masukan dari Muhammadiyah maupun kalangan umat Islam lainnya.
 
Menurut Imam Addaraqutni saat itu KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya mengggunakan pola atau pendekatan Manhaj Maki (pembaharuan Mekah) yang dilakukan Muh Ibnu Abdul Wahab untuk reformasi Islam di Arab Saudi secara internal serta pendekatan Manhaj Misri (Pendekatan Mesir) untuk melakukan reformasi di bidang ekternal atau ketatanegaraan sesuai tuntutan Islam. Gerakan di Mesir yang memberi inspirasi KH Ahmad Dahlan dipelopori Jamaludin Al Afghoni” ujar Imam.
 
Lebih lanjut menurut Imam, Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi dakwah untuk kepentingan seluruh umat, bukan hanya arti sempit dakwah tentang tata cara salat, mengaji dan lain-lain tetapi lebih luas maknanya menyangkut kehidupan sehari-hari sampai pada kehidupan ketata negaraan yang dilakukan lewat berpolitik. Namun makna dakwah belakangan dimatikan atau dipersempit hanya sebagai cara-cara salat, ngaji, puasa atau hal internal keislaman saja. Inspirasi awal berdirinya  Muhammadiyah merupakan gerakan yang harus bisa memberi manfaat orang lain lewat organisasi. Karena lewat organisasi akan lebih memudahkan ke arah tujuan yang ingin dicapai.
 
“Sehingga kalau berbicara dan mengkaji Muhammadiyah maka perlu mengembalikan Muhammadiyah pada awal berdirinya organisasi ini yang sangat jelas tujuan berdirinya organisasi ini. Juga tatacara organisasi Muhammadiyah dijalankan penuh dengan profesionalisme” tandas Imam. (sp/krjogja)