Muhammad Syafii Pasaribu, Anak Pendeta yang Kini Jadi Pendakwah

Foto: Muhammad Syafi’i Pasaribu saat di Masjid Nabawi – Madinah
Terlahir dengan nama Christian Pasaribu, Syafii adalah anak tunggal dari sebuah keluarga non muslim. Dia melalui jalan panjang dalam hidupnya hingga akhirnya menemukan Islam. Syafii mengalami kejolak dalam batinnya saat masih di usia muda. 
Pemuda yang lahir pada tanggal 17 Juli 1991 ini sudah ditinggal sang ibu saat baru menginjak sekolah dasar. Syafii lalu tumbuh di bawah asuhan sang ayah yang berprofesi sebagai pendeta. Besar di lingkungan keluarga yang taat dalam beragama, tidak mudah bagi Syafii saat memutuskan memeluk Islam. Apalagi hidayah itu menyapa Syafii ketika dia masih duduk di bangku SMA. 
Keyakinan terhadap agamanya yang lama mulai goncang saat Syafii sekolah di SMA. Bermula dari hobinya yang gemar membaca beragam buku, berdiskusi, bertanya dan mengkaji kitab sucinya, daya kritis Syafii justru muncul. Syafii merasakan ada kebimbangan dalam agamanya yang lama, terutama soal konsep ketuhanan. Kebimbangan itu mengarahkan pemuda yang saat itu baru berusia 17 tahun ini melirik ajaran Islam. Dia lalu banyak bertanya kepada teman-teman sebayanya yang muslim di sekolah soal Islam. Namun diskusi mereka tak memuaskan jiwa Syafii, hingga akhirnya seorang teman menyarankannya untuk bertanya kepada seorang guru agama Islam di sekolah bernama Pak Sudirman Latsa. 
Syafii pun mengikuti saran teman-temannya. Dia sambangi Pak Sudirman yang juga merupakan pengurus Pimpinan Daerah Muhammadiyah di Kota tersebut dan berdiskusi dengannya soal berbagai hal dalam Islam. Tak jarang diskusi mereka berdua berujung pada perdebatan. Namun dari perdebatan-perdebatan itu justru makin membuat Syafii mengenal Islam lebih dalam. Dari sinilah hidayah mulai menyapa jiwa Syafii. 
Setelah tiga bulan proses pencarian itu berjalan, hati Syafii semakin mantap untuk memilih menjadi muslim. Niat itu dia utarakan langsung kepada Pak Sudirman. Tapi tidak begitu saja Syafii dapat meluluskan niatnya menjadi muslim. Pak Sudirman justru mengingatkan Syafii soal aturan dari Kementerian Agama bahwa seseorang yang ingin pindah agama harus berusia di atas 21 tahun. Jika masih di bawah 21 tahun, orang tersebut harus mendapat persetujuan dari orangtuanya. Hal ini tentu saja makin berat dirasakan Syafii. Niatnya untuk berislam secara diam-diam ternyata harus dilupakan. Syafii harus mengungkapkan secara terbuka kepada keluarganya jika dia ingin masuk Islam. 
Keputusan ini bukanlah keputusan yang mudah bagi Syafii. Sikap penolakan keluarga sudah pasti akan diterimanya. Benar saja, sang ayah menerima dengan berat hati niat Syafii. Tapi dengan catatan, dia tidak lagi bagian dari keluarga Pasaribu. Syafii pun terusir. 
Terusir dari keluarga, tak membuat Syafii putus asa. Semangatnya masuk Islam sangat kuat. Dengan surat yang telah disetujui ayahnya, Syafii diantarkan Pak Sudirman  ke Panti Asuhan Muhammmadiyah di Jalan Setia Budi, Kisaran pada tanggal 8 Februari 2008. Syafii mengucap dua kalimat syahadat di panti tersebut. Namanya berganti dari Christian Pasaribu menjadi Muhammad Syafi’i Pasaribu. Setelah itu, dia tinggal di panti tersebut.
Menjadi mualaf di usia muda menjadi tantangan baru bagi Syafii. Apalagi saat itu dia masih sekolah, belum bekerja. Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, Syafii memutuskan bekerja di sela-sela kesibukannya bersekolah. Dia bekerja paruh waktu sebagai tukang cuci piring di salah satu rumah makan. Dia juga pernah berjualan es di pinggir jalan. 
Tantangan Syafii tidak berhenti di sini. Beberapa kali pihak keluarga mendatanginya dan membujuknya untuk kembali ke agama lama dengan tawaran materi. Namun bujukan itu tak menggoyahkan keyakinan Syafii untuk tetap dalam jalan hidup yang dipilihnya. Bahkan ancaman pembunuhan pun dia terima jika masih tetap memilih agama Islam.
“Bagi saya, mati dalam keadaan Islam itu lebih mulia daripada bergelimpangan harta tapi hidup dengan mensyirikkan Allah Swt” ucapnya.
Selepas lulus SMA, Syafii sempat menganggur setahun. Masa ini tak disia-siakannya. Dia isi dengan memperdalam ilmu agama di sebuah pesantren di Sukabumi, Jawa Barat. Semangatnya sangat tinggi dalam menuntut ilmu Islam. Dalam waktu 3 bulan, Syafii mampu berbicara bahasa Arab. Dalam waktu 6 bulan, Syafii mahir dalam tulisan Arab. Bahkan setahun di pesantren, Syafii mampu menghafal 10 Juz Alquran. 
Kisah perjalanan hidup Syafii dinilai sangat inspiratif, hingga beberapa stasiun televisi swasta nasional mengangkatnya dalam sebuah program tayangan Reality Show juga Talk Show. Lebih dari itu, kisahnya yang inspiratif mendorong sebuah agen perjalanan haji dan umrah menghadiahinya umrah gratis ke Tanah Suci pada tahun 2012.
Kini, di sela-sela aktifitasnya kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan sebagai aktifis Korps Muballigh Muda Muhammadiyah (KM3) DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Syafii juga sering menjadi penceramah di sejumlah majelis, pengajian dan khatib di beberapa masjid Jakarta dan sekitarnya. Syafii juga menjadi salah satu narasumber rutin program acara  “Jalan Menuju Islam” yang ditayangkan oleh Televisi Muhammadiyah (TVMu).

“Bisa dikatakan saya kehilangan semuanya , harta, benda bahkan ayah yang menyayangi saya. Dahulu saya tinggal dirumah mewah dan serba berkecukupan, namun harus tinggal di Panti Asuhan setelah masuk Islam karena diusir oleh keluarga. Harus hidup dan berjuang sendiri di Jakarta tanpa keluarga kandung yang peduli dengan saya. Akan tetapi semua itu tidak membuat saya sedih. Saya malah bahagia. Saya merasa aneh akan hal ini, tapi itulah yang dinamakan kenyamanan. Dahulu saya merasakan kenyamanan duniawi, namun kini saya merasakan kenyamanan jiwa dan bathin yang tidak bisa dinilai dengan uang dan harta” tegas Syafii. (sangpencerah.id)