Menyongsong Muktamar, Saatnya Muhammadiyah Kembali Dipimpin Ulama

oleh : Wahyudi Abdurrahim, Lc
Tidak lama lagi, Muktamar Muhammadiyah ke-47 akan segera berlangsung. Muhammadiyah akan mengadakan suksesi untuk memilih pimpinan baru menggantikan Prof. Dr. Din Syamsuddin yang selama ini sudah memimpin Muhammadiyah selama dua periode.  Dengan demikian, beliau sudah tidak bisa dicalonkan lagi sebagai ketua Muhammadiyah.

Setiap jamaah Muhammadiyah tentu mempunyai idola dan harapan yang berbeda-beda mengenai sosok Pimpinan Muhamamdiyah mendatang. Saya sendiri, cenderung memilih sosok ulama. Saya merindukan pemimpin Muhammadiyah seperti generasi awal yang kental dengan keulamaannya, bukan karena kepolitikannya.

Mengapa ulama? Alasannya sangat sederhana:
Muhammadiyah adalah gerakan Islam amar makruf nahi munkar yang merujuk kepada Quran dan Sunnah. Kata-kata merujuk kepada Quran Sunnah ini menjadi beban berat bagi Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Kembali ke Quran Sunnah bearti harus merujuk kepada sumber asli hukum Islam. Untuk bisa ke sana, diperlukan piranti yang tidak sederhana. Mereka yang menguasai bahasa Arab saja, belum tentu bisa memahami Quran Sunnah. Jadi, sangat ironis jika Muhammadiyah yang mempunyai jargon kembali kepada Quran Sunnah dipimpin oleh mereka yang tidak mampu menggali hukum Islam langsung dari sumbernya.


Persoalan umat sangat komplek dan butuh pemecahan. Tentu saja, segala permasalahan tadi membutuhkan solusi alternatif yang sesuai dengan Quran dan Sunnah. Di sini, butuh figur ulama yang peka terhadap persoalan umat tadi. Figur ulama yang mampu bergerak cepat dan memberikan dorongan penuh kepada para ulama Muhammadiyah untuk ambil bagian.
Krisis Ulama Tarjih di Muhammadiyah. Hal ini sangat terasa, terutama di daerah-daerah. Halaqah tarjih kesannya hanya ada di Pusat. Memang ada beberapa daerah yang mempunyai halaqah Tarjih, hanya prosentasinya sangat sedikit. Sewaktu saya pulang ke tanah air bulan Desember 2014 lalu, saya mendengar cerita dari rekan saya bahwa di daerahnya ada dua pesantren Muhammadiyah yang bangkrut. Salah satu pesantren, awalnya mempunyai santri 100 orang, sekarang hanya tinggal 17 orang saja. Semua itu disebabkan karena pesantren kekurangan SDM dan tidak ada Kyai yang bisa menjadi simbul dan pemimpin pondok. Harapannya, jika Pimpinan Pusat dipimpin oleh seorang ulama, maka ia akan mempunyai perhatian besar terhadap krisis ulama.

Krisi ulama tadi, bisa ditanggulangi di antaranya dengan memberikan perhatian lebih terhadap pondok pesantren. Selama ini, belum ada lembaga khusus yang menangani pondok pesantren Muhammadiyah. Padahal secara manhaj, pondok pesantren berbeda dengan sekolahan. Pondok pesantren mempunyai ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh sekolahan biasa. Dengan dipimpin oleh seorang ulama, diharapkan perhatian terhadap pondok pesantren bisa lebih maksima. harapannya, secara kualitas dan kuantitas, pondok pesantren Muhammadiyah bisa ditingkatkan.

Banyak ranting Muhammadiyah yang sepi pengajian, padahal salah satu syarat berdirinya ranting Muhammadiyah adalah adanya pengajian ranting. Harapannya, dengan pimpinan Muhammadiyah dari kalangan ulama, bisa mendorong untuk menghidupkan lagi pengajian ranting Muhammadiyah.

Dengan dipimpin oleh seorang Ulama, harapannya juga memperkecil interfensi para politisi di Muhammadiyah. Dengan kewibawaan ulama, para politisi itu merasa enggan untuk menggunakan dan mencatut nama Muhammadiyah untuk digadaikan dalam politik praktis.

Barangkali ini sekelumit alasan saya mengenai sosok Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Mengaca dari lembaga al-Azhar, bahwa yang menjadi pimpinan tertinggi al-Azhar adalah tokoh ulama. Ia harus dari anggota lembaga ulama senior dan diangkat oleh Anggota Ddewan Ulama Senior.

Di Muhammadiyah, Terjih memang tidak memiliki peran sentral dalam pengangkatan pimpinan seperti yang ada di lembaga al-Azhar Cairo. Bahkan tarjih hanya majelis di bawah Pimpinan Pusat. Meski demikian tidak menutup kemungkinan jika seorang Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga berasal dari tokoh di Majelis Tarjih Muhammadiyah

*) penulis adalah anggota PCIM Mesir