Menggagas Budaya Literasi dalam Khutbah Jum’at

A. Latar Belakang Masalah 

Khotbah Jumat merupakan salah satu media yang strategis untuk dakwah Islam, karena ia bersifat rutin dan wajib dihadiri oleh kaum Muslimin secara berjamaah. Namun, media ini terkadang kurang dimanfaatkan secara optimal.1 Para khatib seringkali menyampaikan khotbah yang membosankan yang berputar-putar dan terkesan itu-itu saja. 
Akibatnya, banyak para hadirin yang terkantuk-kantuk dan bahkan tertidur. Bahkan, ada satu anekdot yang menyebutkan, khotbah Jumat adalah obat yang cukup mujarab untuk insomnia, penyakit sulit tidur. Maksudnya, jika terkena penyakit itu, hadirilah khotbah Jumat, niscaya akan dapat tertidur nyenyak. 
Sebagian di antaranya ngobrol, nongkrong di luar masjid atau menunggu di warung-warung sampai waktu sholat akan ditunaikan. Sebagian yang lain masih berada di rumah atau yang masih di perjalan justru berlomba-lomba untuk hadir paling akhir saat jumatan. 
Adegan mendengarkan khotbah, terkadang seperti dongeng sebelum tidur yang dibacakan di siang bolong. Khotbah kehilangan daya tarik pendengarnya. Sekadar berton-ton huruf dan kata-kata mulia tanpa ada hasrat berpikir, menelusuri dan riset. Ayat dan hadis dikumpulkan serta-merta dan langsung ditumpahkan keluar dituangkan ke kuping-kuping logam yang terbakar. Khotbah akhirnya terjerumus dalam ibadah kultural, ritual, dan sosiologis. 
Materi khotbah Jumat cenderung berulang dari minggu ke minggu. Bahkan, beberapa khatib memiliki buku sakti yang ia gunakan untuk menghisi khotbah Jumat hingga bertahun-tahun. Dugaan terkuat adalah, selama ini khotbah dianggap bukan wilayah akademis. Tindakan membaca, riset dan melacak buku-buku justru akan dianggap ganjil. 
Apalagi, menampilkan terlalu banyak literatur akademis (bukan ayat atau hadis) tentu akan terdengar aneh di telinga jemaah. Apalagi dalam bulan-bulan tertentu (hari besar Islam dan hari besar nasional), ada semacam pakem tentang isi khotbah yang harus terus disampaikan dari masa ke masa. Tanpa ada pembaharuan dan pembahasan yang lebih menarik. Kita sebagai pendengar bisa menebak apa yang akan disampikan khatib prasampai pasca-Idul Adha (ibadah kurban), atau memasuki Ramadan, hari kemerdekaan, Isra‟ Mi‟raj, Maulid Nabi, dan hari-hari penting lain. Khotbah kehilangan ruh untuk mencipta gagasan-gagasan baru. Pendengar jarang mendapat keterkejutan atas materi yang disampaikan. Khatib pasrah pada buku khotbah Jumat yang ada. 
Di dalam Muhammadiyah, sejauh ini terdapat beberapa buku yang diproduksi berkaitan dengan khotbah Jumat. Adapun yang resmi diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah adalah 15 Khotbah Jumat Pilihan 1, 2, dan 3. Selebihnya diterbitkan atas nama pribadi. Meskipun begitu, dalam beberapa lembaga Muhammadiyah, seperti daerah Solo raya nampaknya jarang dijadikan sebagai rujukan. 
Takmir masjid Fadhlurrahman Kampus 1 dan 2 UMS misalkan, membuat kebijakan bahwa pembuatan naskah khotbah ditugaskan kepada masing-masing khatib. Implikasinya, pesan khotbah tidak fokus dan tidak konsisten. Terlebih, dengan para khatib yang tidak/kurang memiliki ikatan ideologis dengan Muhammadiyah. Hal itu terjadi pula di beberapa lembaga dan amal usaha Muhammadiyah (AUM) yang pernah penulis kunjungi. Mimbar Jumat tidak berfungsi sebagai mimbar pencerahan. 
Oleh karena itu, diperlukan terobosan berupa tradisi literasi di kalangan khatib serta takmir di lembaga serta AUM, sehingga naskah-naskah khotbah benar-benar dipersiapkan, baik tujuan maupun sistematikanya. Literasi pun harus ditunjang dengan riset-riset tentang teks-teks khotbah Jumat terdahulu, agar terjadi pembaharuan baik dari perspektif maupun pendekatan masalah. 
Adapun, salah satu upaya diplomatik Indonesia dengan negara lain adalah penerjemahan karya-karya Indonesia, baik fiksi maupun non-fiksi. Hal tersebut dilakukan agar terjadi dialog antar bangsa serta menghindarkan streotype serta rasa saling curiga, akibat wacana yang tidak disemai dengan baik. Tradisi literasi khotbah Jumat dapat menjadi modal bagi Muhammadiyah untuk ikut berdiplomasi/berdakwah dalam rangka “Internasionalisasi dakwah dan pemikiran Muhammadiyah”. Mengingat umat Muslim di seluruh dunia pasti melakukan salat Jumat sehingga memerlukan materi khotbah yang bisa dimanfaatkan oleh Muhammadiyah untuk melancarkan strategi dakwahnya. 
Adapun, jika kita perbandingkan dengan organisasi transnasional lainnya, seperti Hizbut-tahrir dan Ikhwanul Muslimin (tarbiyah) sangat jelas bahwa, modal utama mereka dalam berinvasi ideologi adalah teks-teks atau naskah dari para pemikir/ideolognya. Khusus bagi Hizbut-tahrir di Indonesia sering memanfaatkan forum khotbah Jumat sebagai wahana invasi pemikiran khilafah, melalui buletin-buletin dakwah yang dibagikan. 
B. Rumusan Masalah 
a. Sejauh mana kepedulian Muhammadiyah terhadap literasi khotbah Jumat? 
b. Bagaimana sistematika penulisan khotbah Jumat yang baik, benar, serta mampu memberikan pencerahan? 
c. Bagaimana peran literasi khotbah Jumat dalam internasionalisasi dakwah dan pemikiran Muhammadiyah? 
C. Tujuan 
a. Mengetahui sejauh mana kepedulian Muhammadiyah terhadap literasi khotbah Jumat? 
b. Mengetahui sistematika penulisan khotbah yang baik, benar, serta mampu memberikan pencerahan. 
c. Merumuskan peran literasi khotbah Jumat dalam rangka internasionalisai dakwah dan pemikiran Muhammadiyah. 
PEMBAHASAN 
A. Budaya Literasi 
Literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan menulis dan membaca, budaya literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berfikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca, menulis yang pada akhirnya apa yang dilakukan dalam sebuah proses kegiatan tersebut akan menciptakan karya. Membudayakan atau membiasakan untuk membaca, menulis itu perlu proses jika memang dalam suatu kelompok masyarakat kebiasaan tersebut memang belum ada atau belum terbentuk. 
Ada banyak cara untuk membentuk budaya literasi diantaranya (dekat, mudah, murah, senang, lanjut) : 
1. Pendekatan akses fasilitas baca (buku dan non buku) 
2. Kemudahan akses mendapatkan bahan bacaan 
3. Murah / Tanpa biaya (gratis) 
4. Menyenangkan dengan segala keramahan 
5. Keberlanjutan / Continue / istiqomah 
Namun sebenarnya upaya itu tidak cukup hanya dengan lima langkah, karena ada penjabaran yang lebih detail. Tidak sekedar ketersediaan fasilitas saja tapi ada cara bagaimana menjalin hubungan antar manusia sehingga hubungan tersebut akan mempengaruhi bagaimana suatu kelompok masyarakat bisa menerima dengan baik apa yang akan menjadi tujuan kita melakukan gerakan literasi. 
B. Khotbah Jumat 
1. Definisi 
Khotbah secara bahasa, adalah „perkataan yang disampaikan di atas mimbar‟. Ada pula yang mengatakannya berasal dari kata “al-khatbu” yang berarti „perkara besar yang diperbincangkan‟, karena orang-orang Arab tidak berkhotbah kecuali pada perkara besar. Sebagian ulama mendefinisikan “khotbah” sebagai „perkataan tersusun yang mengandung nasihat dan informasi‟. 
Definisi khotbah Jumat secara istilah adalah, „perkataan yang disampaikan kepada sejumlah orang secara berkesinambungan, berupa nasihat dengan bahasa Arab, sesaat sebelum shalat Jumat setelah masuk waktunya, disertai niat serta diucapkan secara keras, dilakukan dengan berdiri jika mampu, sehingga tercapai tujuannya. 
2. Adab Khotbah Jum’at 
Adab khotbah Jum‟at dapat diartikan sebagai sekumpulan tatacara khotbah Jum‟at, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan hal-hal yang disunnahkan padanya. 
Dengan pengertian tersebut, maka adab-adab khotbah Jum‟at di antaranya adalah sebagai berikut : 
1.) Disyaratkan bagi khatib pada kedua khotbah untuk berdiri (bagi yang kuasa), dengan sekali duduk di antara keduanya. Kedua khotbah itu merupakan syarat sah Jum‟atan, demikian menurut seluruh imam madzhab. Menurut Imam Asy Syafi‟i, berdiri dalam dua khotbah dan duduk di antara keduanya adalah wajib. Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, “Bahwa Nabi SAW berkhotbah pada hari Jum‟at dengan berdiri, lalu duduk, lalu berdiri (untuk berkhotbah lagi) seperti yang dikerjakan orang-orang hari ini.” (HR. Jamaah). 
2.) Disunnahkan bagi khatib untuk memberi salam ketika masuk masjid dan ketika naik mimbar sebelum khotbah. Ibnu Umar RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW jika masuk masjid pada hari Jum‟at memberi salam pada orang-orang yang duduk di sisi mimbar dan jika telah naik mimbar beliau menghadap hadirin dan mengucapkan salam. (HR. Ath Thabrani) 
3.) Kedua khotbah wajib memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. 
Rukun-rukun khotbah dalam madzhab Syafi‟i ada 5 (lima) : (1) Membaca hamdalah pada kedua khotbah, (2) Membaca shalawat Nabi pada kedua khotbah, (3) Wasiat taqwa pada kedua khotbah (meski tidak harus dengan kata “taqwa”, misalnya dengan kata Athiullah/taatilah kepada Allah), (4) Membaca ayat Al-Qur‟an pada salah satu khotbah (pada khotbah pertama lebih utama), (5) Membaca do‟a untuk kaum muslimin khusus pada khotbah kedua. 
Adapun syarat-syaratnya ada 6 (Enam) perkara: (1) Kedua khotbah dilaksanakan mendahului shalat Jum‟at, (2) Diawali dengan niat, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Menurut ulama Syafi‟iyah dan Malikiyah, niat bukan syarat sah khotbah, (3) Khotbah disampaikan dalam bahasa Arab. Ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa bagi kaum berbangsa Arab, rukun-rukun khotbah wajib berbahasa Arab, sedang selain rukun tidak disyaratkan demikian. Adapun bagi kaum „ajam (bukan Arab), pelaksanaan rukun-rukun khotbah tidak disyaratkan secara mutlak dengan bahasa Arab, kecuali pada bacaan ayat Al Qur‟an, (4) Kedua khotbah dilaksanakan pada waktunya (setelah tergelincir matahari). Jika dilaksanakan sebelum waktunya, lalu dilaksanakan shalat Jum‟at pada waktunya, maka khotbahnya tidak sah, (5) Khatib disyaratkan mengeraskan suaranya pada kedua khotbah. Ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa rukun-rukun khotbah, khatib disyaratkan mengeraskan suaranya, (6) Antara khotbah dan shalat Jum‟at tidak boleh berselang waktu lama. 
4.) Disunnahkan bagi khatib untuk berkhotbah di atas mimbar, sebab Nabi SAW dahulu berkhotbah di atas mimbar. 
5.) Disunnahkan bagi khatib untuk duduk pada anak tangga mimbar yang paling atas, sebab Nabi SAW telah mengerjakan yang demikian itu. 
6.) Disunnahkan bagi khatib untuk mengeraskan suaranya pada khotbahnya (selain rukun-rukun khotbah). Diriwayatkan dari Jabir RA, bahwa jika Rasulullah berkhotbah, kedua matanya memerah, suaranya keras, dan nampak sangat marah, sampai beliau seperti orang yang sedang menghasungkan pasukan (untuk berperang) (HR. Muslim dan Ibnu Majah). 
7.) Disunnahkan bagi khatib untuk bersandar/berpegangan pada tongkat atau busur panah. Ini sesuai riwayat Al Hakam bin Hazan RA yang mengatakan bahwa dia melihat Rasulullah SAW berkhotbah seraya bersandar pada busur panah atau tongkat (HR. Ahmad dan Abu Dawud). 
8.) Disunnahkan bagi khatib untuk memendekkan khotbahnya (tidak berpanjang-panjang atau bertele-tele). Diriwayatkan dari Amar bin Yasir RA, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya lamanya shalat dan pendeknya khotbah seseorang, adalah pertanda kepahamannya (dalam urusan agama). Maka panjangkanlah salat dan pendekkanlah khotbah!” (HR. Ahmad dan Muslim) 
9.) Dibolehkan bagi khatib untuk memberi isyarat dengan telunjuknya pada saat berdoa mengingat Rasulullah pernah mengerjakannya. Demikian menurut Imam Asy Syaukani. 10.) Kedua khotbah wajib memperbincangkan salah satu urusan kaum muslimin yakni peristiwa atau kejadian yang sedang terjadi di kalangan kaum muslim dalam berbagai aspeknya. Hal ini mengingat Rasulullah SAW dan para khalifahnya dahulu–yang senantiasa menjadi khatib–sesungguhnya berkedudukan sebagai pemimpin politik (Al Qaid As Siyasi) bagi kaum muslimin. 
C. Muhammadiyah dan Gerakan Dakwah Pencerahan
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Latar belakang KH Ahmad Dahlan memilih nama Muhammadiyah yang pada masa itu sangat asing bagi telinga masyarakat umum adalah untuk memancing rasa ingin tahu dari masyarakat, sehingga ada celah untuk memberikan penjelasan dan keterangan seluas-luasnya tentang agama Islam sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW.
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam yang melaksanakan dakwah amar ma‟ruf nahi munkar dengan maksud dan tujuan, menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu‟amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan Agama Islam menjadi rahmatan lil-‟alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.
Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah disebutkan bahwa jatidiri Muhammadiyah aalah persyariakatan yang merupakan gerakan Islam, mauskdu gerakan ialah dakwah amar ma‟ruf nahi munkar yang ditujukan kepada dua bidang: perseorang dan masyarakat. Dakwah dan amar ma‟ruf nahi munkar pada bidang pertama terbagi menjadi dua golongan: kepada yang telah Islam bersifat pembaruan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran-ajaran Islam yang asli murni; kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk agama Islam.
Adapun dakwah Islam dan amar ma‟ruf nahi munkar bidang kedua adalah kepada masyarakat, bersifat perbaikan, bimbingan dan peringatan. Kesemuanya iu dilaksanakan dengan bermusyawarah atas dasar taqwa dan mengharap keridhaan Allah semata. Dengan melaksanakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah menggerakan masyarakat menuju tujuan ialah mewujudkan masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT. 
Menurut Asep Purnama Bakhtiar, dakwah telah menjadi bagian dari identitas Muhammadiyah sejak awal berdirinya sampai sekarang dan demikian selanjutnya. Dalam usianya yang sudah memasuki abad kedua, Muhammadiyah harus terus berupaya untuk selalu melakukan aktualisasi dan kontekstualisasi dakwah dalam kehidupan umat dan bangsa untuk membangun peradaban utama. Sikap ini diambil karena dorongan kesadaran bahwa selama ini selain banyak keberhasilan dan kisah sukses yang telah diukir oleh Muhammadiyah, juga masih ada kekurangan dan kelemahan yang harus segera dibenahi dalam gerakan dakwahnya.
Salah satu metode dakwah yang biasa digunakan oleh Muhammadiyah adalah dakwah bil qalam (literasi dakwah). Aplikasinya adalah dengan penerbitan buku dengan berbagai gagasan serta pemikiran-pemikiran yang mencerahkan. Literasi dakwah Muhammadiyah selama ini banyak dijalankan oleh media-media resmi milik Muhammadiyah, seperti majalah Suara Muhammadiyah beserta media-media cetak lain yang digunakan sebagai ujung tombak Muhammadiyah dalam berdakwah. 
Suara Muhammadiyah yang mulai terbit tahun 1915 dan dirancang agar berfungsi menyampaikan kebijakan, panduan dan berita kegiatan Muhammadiyah berskala nasional. Sedang PWM Jawa Timur misalnya menerbitkan Matan, PDM Brebes, Media, PDM KotaYogyakarta menerbitkan Mentari, PCM Kotagede mendorong AMM setempat setiap tahun menerbitkan Brosur Lebaran dan sebagai contoh lain PRM Nitikan Umbulharjo secara rutin menerbitkan buletin khusus jamaah masjid. Untuk amal usaha pendidikan misalnya, Universitas Muhammadiyah Malang menerbitkan Bestari, Universitas Muhammadiyah Surakarta PabeIan Pos, Univeritas Muhammadiyah Yogyakarta dikenal menerbitkan Inovasi. Univeritas Dr HAMKA atau Uhamka menerbitkan Ta’dib. Untuk ortom, PP ‘Aisyiyah sejak tahun 1923 telah menerbitkan Suara ‘Aisyiyah yang sampai hari ini masih terus terbit. PP IPM/IRM tahun 1980an menerbitkan majalah pelajar Kuntum. 
Dalam setiap edisi, Majalah Suara Muhammadiyah biasanya terdapat rubrik Khotbah Jumat. Rubrik Khotbah Jum’at, memuat dua teks khotbah Jum’at secara lengkap yang memungkinkan bagi para khatib untuk langsung dibaca saat khutnah hari Jum’at.8 Pada tahun 2009, redaksi Suara Muhammadiyah membuat sayembara penulisan khotbah Jumat sehingga terpilih 45 naskah terbaik kemudian diterbitkan pada buku 15 Kumpulan Khotbah pilihan 1, 2, dan 3. Namun, khotbah tersebut cenderung berisi kumpulan ayat Alquran dan hadis apa adanya, tanpa melalui penelaahan mendalam serta miskin data dan lemah analisis. Akibatnya, dalil, kisah, riwayat yang dipakai para khatib adalah data klasik yang tidak pernah ada pengembangan dari waktu ke waktu.
Dalam penelusuran penulis, sejauh ini sangat jarang ditemukan buku yang ditulis oleh tokoh Muhammadiyah yang khusus membahas tentang khotbah Jumat, sehingga sulit untuk menghindarkan kesan bahwa aktivis atau tokoh Muhammadiyah sedikit meremehkan literasi khotbah Jumat. Selama ini, Muhammadiyah memang terkenal dengan dakwah sosial-kemasyarakatan yang langsung terjun ke lapangan dakwah, tidak hanya berwacana di mimbar jumat.
Adapun, ketiga buku yang disebutkan di atas jarang sekali terdapat di masjid-masjid yang notabene berbasis Muhammadiyah. Padahal, khotbah dapat menjadi momentum tepat penyadaraan kepada umat terkait hal-hal penting bagi pemberdayaan, terutama dalam paradigma berfikir yang sudah terhegemoni oleh media massa.
Para takmir di sekitar AUM atau lembaga lain berbasis Muhammadiyah jarang sekali menyediakan teks-teks khotbah Jumat. Padahal, berdasar data terakhir dari PP Muhammadiyah kini tercatat telah memiliki jaringan organisasi berupa 33 Pimpinan Wilayah (setingkat Propinsi), 387 Pimpinan Daerah (setingkat Kabupaten/Kota), 3.016 Pimpinan Cabang (setingkat Kecamatan), 8.560 Pimpinan Ranting (setingkat Desa/Kelurahan), dilengkapi lebih banyak lagi jamaah pengajian di 6.180 masjid, 5.080 musholla dan 656 balai pertemuan.
Dengan penyebaran yang seluas itu Muhammadiyah selama hampir satu abad ini terus bergerak dan berdenyut ikut berdakwah mencerahkan kehidupan masyarakat dan bangsa. Kemudian, dengan didukung jaringan pendidikan berupa 3.370 YK, 1134SD, 1.181 SLTR 512 SMU, 250SMK, 1.768 Madrasah fotidaiyah/ Diniyah (setingkat SD), 535 Madrasah Tsanawiyah (setingkat SLTP), 172 Madrasah Aliyah (setingkat SMU), 57 Pondok Pesantren, 36 Universitas, 66 Sekolah Tinggi, 61 Akademi, dan 3 Politeknik.
Berdasarkan penelurusan penulis di beberapa lembaga Muhammadiyah Soloraya yang biasa menyelenggarakan salat Jumat, seperti Masjid Fadhlurrahman Kampus 1 dan 2 Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tidak melakukan tradisi literasi khotbah. Takmir memberikan keleluasaan penuh teks khotbah kepada para khatib. Hal yang sama terjadi di beberapa lembaga Muhammadiyah.
Akibatnya, materi khotbah menjadi tidak fokus dan tidak konsisten. Bahkan, terkadang beberapa materi tidaklah sesuai dengan ideologi Muhammadiyah, mengingat latar belakang khatib yang tidak kuat dalam memegang teguh ideologi Muhammadiyah, bahkan cenderung mempromosikan ideologi lain, seperti tarbiyah maupun salafiyah.
Ada pula tipe khatib menyampaikan materi yang tidak sesuai dengan tradisi Muhammadiyah, seperti mengkafir-kafirkan serta berisi kecaman-kecaman terhadap sesama Muslim. Padahal, Muhammadiyah adalah organisasi yang moderat serta toleran, sehingga tidak mungkin warga Muhammadiyah mudah melakukan hal tersebut.
Maka dari itu, jika literasi khotbah Jumat ini dibudayakan, kita akan memiliki kekayaan wacana yang akan membentuk interpretasi menuju aksi. Bayangkan, berapa warisan sejarah yang akan kita hadirkan jika tradisi literasi jumat berkembang di lembaga Muhammadiyah. Aktivitas literasi menuntut kita membaca kembali kemudian merumuskan gagasan baru dalam bentuk tulisan, sehingga menghindarkan dari kebosanan para jamaah atas tema yang cenderung berulang-ulang, terutama pada peringatan hari besar Islam maupun nasional. Adapun, tantangan dakwah abad ini tentu tak kalah rumit jika dibandingkan abad pertama. Pasalnya, Muhammadiyah tidak lagi berdiri sebagai ormas modern berbasis sosial kemasyarakatan di Indonesia, tetapi kini berhadapan dengan berbagai persoalan serius internasional. Kesempatan inilah harus dioptimalkan oleh Muhammadiyah agar mampu berkiprah dalam persoalan internasional. Salah satu upaya diplomatik Indonesia dengan negara lain adalah penerjemahan karya-karya Indonesia, baik fiksi maupun non-fiksi. Hal tersebut dilakukan agar terjadi dialog serta menghindarkan streotype serta rasa saling curiga antara negara, akibat wacana yang tidak disemai dengan baik. Melihat kenyataan ini, Muhammadiyah dapat dikatakan terlambat menyambut, mengingat organisasi transnasional lain, seperti Hizbuttahrir serta Ikhwanul Muslimin (tarbiyah) sudah melakukan invasi ke beberapa negara dengan teks-teks dari para pemikir/ideolog mereka. Maka dari itu, tradisi literasi khotbah Jumat dapat pula menjadi modal bagi Muhammadiyah untuk ikut berdiplomasi/berdakwah dalam rangka “Internasionalisasi dakwah dan pemikiran Muhammadiyah”. Mengingat umat Muslim di seluruh dunia pasti melakukan salat Jumat sehingga memerlukan materi khotbah yang bisa dimanfaatkan oleh Muhammadiyah untuk melancarkan strategi dakwah.
D. Urgensi Literasi Khotbah Jumat
Setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan mimbar Jumat dikatakan memiliki posisi strategis. Pertama, saat itu seluruh kaum muslimin, khususnya laki-laki yang tidak sakit, tidak gila, tidak dalam keadaan bepergian dan di masing-masing teritorial, dipastikan berkumpul di tempat-tempat untuk mengerjakan salat Jumat.
Kedua, forum salat Jumat adalah forum tetap dan rutin yang senantiasa akan terjadi selama masih ada komunitas muslim. Ketiga, forum tersebut dihadiri jemaah yang secara psikologis siap menerima nasihat karena mereka datang dengan niat beribadah. Keempat, forum tersebut berdurasi singkat, 10 menit atau paling panjang 20 menit, tidak ada tanya jawab dan haram diinterupsi.
Maka, sangat rugi kiranya jika kita tidak memanfaatkan forum khotbah secara maksimal. Ingatan kita tentang khotbah Jumat sering berujung pada aktivitas ganjil: tidur, bosan, bermalas-malasan, dongkol. Sebagian di antaranya ngobrol, nongkrong di luar masjid atau menunggu di warung-warung sampai waktu salat akan ditunaikan. Sebagian yang lain masih berada di rumah atau yang masih di perjalan justru berlomba-lomba untuk hadir paling akhir saat Jumatan.
Khotbah akhirnya sekadar memenuhi rukun agar sah dalam menjalan ”ritual” salat Jumat. Ibadah yang seharusnya membawa seseorang semakin merasakan cinta atas kebesaran-Nya justru semakin menjauhkan pelakunya dari dimensi spiritual, imanen dan transenden. Materi khotbah Jumat pun cenderung berulang dari minggu ke minggu. Bahkan, beberapa khatib memiliki buku sakti yang ia gunakan untuk menghisi khotbah Jumat hingga bertahun-tahun. Dugaan terkuat adalah, selama ini khotbah dianggap bukan wilayah akademis. Tindakan membaca, riset dan melacak buku-buku justru akan dianggap ganjil. Apalagi, menampilkan terlalu banyak literatur akademis (bukan ayat atau hadis) tentu akan terdengar aneh di telinga jemaah. Apalagi dalam bulan-bulan tertentu (hari besar Islam dan hari besar nasional), ada semacam pakem tentang isi khotbah yang harus terus disampaikan dari masa ke masa. Tanpa ada pembaharuan dan pembahasan yang lebih menarik. Kita sebagai pendengar bisa menebak apa yang akan disampikan khatib prasampai pasca-Idul Adha (ibadah kurban), atau memasuki Ramadan, hari kemerdekaan, Isra‟ Mi‟raj, Maulid Nabi, dan hari-hari penting lain. Khotbah kehilangan ruh untuk mencipta gagasan-gagasan baru. Pendengar jarang mendapat keterkejutan atas materi yang disampikan. Khatib pasrah pada buku khotbah Jumat yang ada. Buku khotbah tersebut cenderung berisi kumpulan ayat Alquran dan hadis apa adanya, tanpa melalui penelaahan mendalaman serta miskin data dan lemah analisis. Akibatnya, dalil, kisah, riwayat yang dipakai para khatib adalah data klasik yang tidak pernah ada pengembangan dari waktu ke waktu. Khatib begitu takut menyampaikan khotbah menggunakan referensi dari buku-buku populer layaknya di dunia akademis.
Khatib enggan membuat konsep matang dalam setiap ceramahnya. Keberadaan materi khotbah yang berlimpah di dunia maya, buku praktis atau koleksinya sendiri membuat penceramah semakin enggan melakukan penelusuran lebih lanjut.
Padahal, kemauan para khatib untuk menelusuri buku-buku terkait materi yang disampaikan, kemudian menyuguhkannya kembali ke pendengar, akan membuat pendengar bergairah. Membawa pendengar pada nalar berpikir kritis, sehingga mampu merefleksi kehidupan di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Tentu tindakan ini membawa konsekuensi pada sang khatib untuk mengembangkan tradisi penulisan teks khotbah secara pribadi. Ia harus bertaruh uang, berburu buku, melacak, dan mendiskusikannya. Waktu, biaya, dan tenaga yang dikorbankan memang lebih banyak, namun inilah yang juga dilakukan para ulama di masa lampau. Tradisi menulis sendiri materi yang akan disampaikan menjadi sesuatu yang wajib.
Muhammad bin Jarir ath-Thabari yang wafat tahun 310 Hijriah misalnya. Ia setiap hari menulis empat puluh lembar tentang tafsir Alquran. Masih ditambah lagi ia menulis sendiri polemik dunia sejak dari Nabi Adam hingga hingga masanya. Abu Ishak Ibrahim bin Isa al-Muradi, Ia juga telah menulis buku karya sendiri tentang ilmu hadis sebanyak sembilan puluh jilid.
Selanjutnya, Imam Abul, seorang ulama yang wafat pada tahun 513 Hijriah. Ulama ampuh yang mendapat pengakuan dari imam Ibnu Taimiyah sebagai ulama jenius. Menghasilkan sebuah karya besar yang menjadi rujukan banyak ulama setelahnya yakni kitab Al-Funun (delapan ratus jilid).
Tradisi menulis seperti inilah yang harus kembali dihadirkan para khatib. Sehingga, pada saatnya nanti isi khotbah yang disampaikan mampu menjadi rujukan yang mumpuni. Hal ini akan menuntut para khatib untuk mampu mengangkat realita kehidupan, apa yang sebenarnya dirasa dan dijalani oleh masyarakat. Kemudian membuka kembali pintu ijtihad. Membuka gagasan intelektual mutakhir untuk mengurai polemik kehidupan dari berbagai dimensi historis, sosiologis, dan ajaran berdasarkan Alquran dan hadis.
Kemauan untuk melakukan ijtihad inilah yang akan menjadikan agama tidak terlihat klasik, kolot, dan kaku. Namun mampu menjawab tantangan zaman. Pemikir muslim yang hidup pada tiga abad pertama Hijriah senantiasa menjaga gairah ijtihad sebagai upaya memajukan peradaban.
Adapun semangat ijtihad merupakan spirit utama yang digelorakan oleh KH. Ahmad Dahlan. Dengan tradisi ijtihad ini pula kita berharap khatib mampu menampilkan suatu dinamika wilayah intelektual, kebudayaan, tatanan kognitif yang melandasi tatanan politik-sosial, hukum, dan akhirnya khotbah menjadi jawaban atas apa yang terjadi.
Penulis memprediksi jika khatib berani mengambil “risiko” untuk melakukan tradisi ijtihad ini, masyarakat akan semakin cerdas setiap menghadiri salat Jumat. Hadirnya khotbah Jumat senantiasa dinanti dan menggembirakan. Lebih lanjut, khotbah Jumat menjadi media penyebar gagasan-gagasan baru yang layak didokumentasikan menjadi sebuah buku bermutu.
Adapun, melalui ribuan lembaga Muhammadiyah yang menggelar salat Jumat, naskah-naskah yang dihasilkan dari tradisi literasi khotbah Jumat tentu akan sangat kaya. Setiap minggu bisa menghasilkan ribuan tulisan, sehingga jika dikalkulasikan dalam jangka satu tahun Muhammadiyah sudah punya warisan sejarah yang bisa membuat umat Islam ke depan menjadi lebih maju, karena kaya akan pemikiran dan wacana. Terutama jika program ini berlanjut hingga selama satu abad yang kedua, Muhammadiyah sudah mempunyai modal utama untuk berkiprah di ranah internasional. Bahkan, jika tradisi khotbah Jumat ini terus digalakkan sampai usia abad ke-3 nanti, Muhammadiyah tidak akan tertandingi kekayaan sejarahnya oleh organisasi atau pusat studi di berbagai belahan dunia.
E. Struktur Penulisan Naskah Khotbah Jumat
Berdasarkan hasil penelitian Korps Muballigh Mahasiswa Muhammadiyah (KM3) Soloraya12, ada beberapa masjid di Kota Solo yang menampilkan khatib dengan isi khotbah sering mengundang rasa permusuhan karena menjelekkan sesama umat Islam yang berbeda paham mengenai hal-hal yang tidak prinsipil dan memang dimungkinkan berbeda.
Masalah tata cara ibadah (ubudiyah) yang menjadi khilafiyah di antara kelompok keagamaan masih rutin dimunculkan sebagai materi khotbah. Padahal, masalah seperti itu sangat sensitif. Mustahil semua hadirin sidang Jumat berprinsip sama karena mereka berasal dari kelompok dan pemahaman atau berlatar belakang berbeda-beda.
Ada pula isi khotbah yang provokatif dan ajek mengajak ”perang”. Mungkin, bagi khatib demikian, perang adalah satu-satunya bentuk jihad. Aksi mulia seperti menuntut ilmu, mengajar, riset yang bermanfaat dan berkarya (sengaja) ditiadakan dari makna jihad.
Khatib ”model” demikian juga selalu menekankan siapa yang bersahabat dengan umat Yahudi adalah musuh Islam dan harus diperangi. Amerika Serikat (AS) adalah pendukung setia Israel, negara bangsa Yahudi, maka menurut khatib ”model” ini siapa pun yang bersahabat dengan AS dan belajar ke sana adalah musuh umat Islam dan harus dimusnahkan.
Dahulu, memang ada masa ketika khotbah dijadikan forum politik untuk saling menghujat dan melaknat lawan-lawan politik. Ketika khatibnya orang Bani Umayah, khotbahnya di akhiri dengan kutukan kepada para pengikut Ali yang disebut Syiah (partai Ali). Sebaliknya, ketika khatibnya dari kalangan pendukung Ali, yang dikutuk pasti orang Bani Umayah. Setelah kejadian itu, Umar bin Abdul Aziz memberi nasihat agar hal seperti itu jangan diteruskan. Umar meminta para khatib untuk mengakhiri khotbah-khotbah mereka dengan QS An-Nahl ayat 90.
Mayoritas isi khotbah Jumat era sekarang (kecuali yang ”model” penulis sebut di atas) adalah warisan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang selalu mengakhiri khotbah dengan kutipan QS An-Nahl ayat 90:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Adapun, tampilnya para khatib di mimbar Jumat “model” isi khotbahnya yang tidak membuat jamaah tenang, melainkan malah meresahkan dengan menyalahgunakan posisi strategis mimbar Jumat. Para khatib demikian tak menyadari bagaimana dampaknya nanti khususnya kepada hadirin sidang salat Jumat.
Selain itu, jika isi (materi) khotbah hanya seputar menjelekkan kelompok lain dan provokatif tanpa data-data akurat dan faktual, jelas tak akan mampu menyelesaikan berbagai menjadi persoalan bangsa ini yang kini tak ubahnya hama yang sulit dibasmi. Padahal, betapa banyak dan menjamurnya berbagai penyakit bangsa yang tak kunjung hilang. Bahkan, berbagai penyakit bangsa ini malah kian merajalela. Penyakit-penyakit itu antara lain korupsi, premanisme, seks bebas, kekerasan serta persoalan bangsa lainnya juga seharusnya ”disambut” oleh para khatib dan takmir masjid sebagai materi di mimbar Jumat untuk pencerahan umat. Di sisi lain, khotbah pun kehilangan ruh untuk mencipta gagasan-gagasan baru. Pendengar jarang mendapat keterkejutan atas materi yang disampaikan. Beberapa khatib pasrah pada buku khotbah Jumat yang ada. Padahal, buku khotbah tersebut cenderung berisi kumpulan ayat Alquran dan hadis apa adanya, tanpa melalui penelaahan mendalam serta miskin data dan lemah analisis. Akibatnya, dalil, kisah, riwayat yang dipakai para khatib adalah data klasik yang tidak pernah ada pengembangan dari waktu ke waktu. Kecenderungan di atas terjadi pula pada tradisi literasi khotbah dalam Muhammadiyah. Khotbah yang dimuat di majalah Suara Muhammadiyah lebih sekedar penyajian dalil-dalil secara umum, tentunya mengingat terkendala dalam keterbatasan rubrik tersebut dalam menampung ribuan karakter, sehingga tidak memungkinkan memuat Khotbah yang memuat analisis serta data-data mutakhir.
Berangkat dari fakta tersebut, diperlukan inisiatif dari takmir masjid di lembaga-lembaga Muhammadiyah untuk mempersiapkan naskah khotbah. Kewajiban ini pula dapat dibebankan kepada para da‟i dan khatib Muhammadiyah agar senantiasa memperlakukan mimbar Jumat sebagai ajang intelektual, serta orasi pembebasan dan pencerahan. Hal tersebut dapat dicapai dengan membangun tradisi literasi khotbah Jumat.
Tradisi menulis seperti inilah yang harus kembali dihadirkan para khatib sehingga pada saatnya nanti isi khotbah yang disampaikan mampu menjadi rujukan yang mumpuni. Hal ini akan menuntut para khatib untuk mampu mengangkat realita kehidupan, apa yang sebenarnya dirasa dan dijalani oleh masyarakat. Kemudian membuka kembali pintu ijtihad. Membuka gagasan intelektual mutakhir untuk mengurai polemik kehidupan dari berbagai dimensi historis, sosiologis, dan ajaran berdasarkan Alquran dan hadis.
Meskipun begitu, tidak dipungkiri bahwa peran persuasif khatib dapat berpengaruh pula pada penyampaian materi terhadap jamaah. Jika si khatib berpidato dengan suara pelan dan lembut tentu akan membuat jamaah mengantuk sehingga tidak memperhatikan materi yang disampaikan. Maka dari itu, takmir hendaknya menyeleksi khatib yang kiranya berkompeten untuk menyampaikan pesan-pesan dalam naskah yang telah dibuatnya. Takmir bisa memberikan semacam arahan atau training bagi para khatib pemula. Dukungan naskah yang menarik tentu akan berpengaruh terhadap gaya penyampaian khatib.
Adapun strukur penulisan khotbah yang dapat memberikan pencerahan adalah dengan menggunakan paradigma kontekstual serta rekonstruktif, kemudian disertai dengan nilai-nilai sastra. Namun patut menjadi catatan, untuk mengaplikasikan gagasan ini, tentu harus memperhatikan materi-materi yang wajib hadir dalam naskah khotbah diantaranya: (1) Membaca hamdalah pada kedua khotbah, (2) Membaca shalawat Nabi pada kedua khotbah, (3) Wasiat taqwa pada kedua khotbah (meski tidak harus dengan kata “taqwa”, misalnya dengan kata Athiullah/taatilah kepada Allah), (4) Membaca ayat Al-Qur‟an pada salah satu khotbah (pada khotbah pertama lebih utama), (5) Membaca do‟a untuk kaum muslimin khusus pada khotbah kedua.
1. Kontekstual
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel da-pat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya.
CTL merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung lebih alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Pembelajaran kontekstual dengan pendekatan konstruktivisme dipandang sebagai salah satu strategi yang memenuhi prinsip-prinsip pembelajaran berbasis kompetensi. Dengan lima strategi pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning), yaitu relating, experiencing, applying, cooperating, dan transferring diharapkan peserta didik mampu mencapai kompetensi secara maksimal.
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidu-pan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).
Model ini dapat diaplikasikan dengan memposisikan guru sebagai khatib serta murid sebagai jamaah Jumat. Meskipun begitu, komponen utama yang terdapat dalam pembelajaran kontekstual harus diadaptasikan karena mimbar Jumat tidak memungkinkan untuk berkomunikasi dua arah. Jika terjadi komunikasi maka, salat Jumat menjadi sia-sia.
Komponen seperti questioning (bertanya) bisa digantikan dengan penyampaian pernyataan-pernyataan yang reflektif, sehingga jamaah mampu berpikir serta berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Kontekstualisasi ini berguna bagi materi-materi aktual yang berkembang di masyarakat, agar mendapatkan perhatian atau solusi dari perspektif Islam.
2. Rekonstruktif
Rekonstruksi adalah pengembalian sesuatu ketempatnya yang semula; Penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula. Reconstruction merupakan penafsiran data psikoanalitis sedemikian rupa, untuk menjelaskan perkembangan pribadi yang telah terjadi, beserta makna materinya yang sekarang ada bagi individu yang bersangkutan . Rekonstruksi yang berarti membangun atau pengembalian kembali sesuatu berdasarkan kejadian semula, dimana dalam rekonstruksi tersebut terkandung nilai–nilai primer yang harus tetap ada dalam aktifitas membangun kembali sesuatu sesuai dengan kondisi semula.
Untuk kepentingan pembangunan kembali sesuatu, apakah itu peristiwa, fenomena-fenomena sejarah masa lalu, hingga pada konsepsi pemikiran yang telah dikeluarkan oleh pemikira-pemikir terdahulu, kewajiban para rekonstruktor adalah melihat pada segala sisi, agar kemudian sesuatu yang coba dibangun kembali sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan terhindar pada subjektifitas yang berlebihan, dimana nantinya dapat mengaburkan susbstansi dari sesuatu yang ingin kita bangun tersebut.
Rekonstruksi bermaksud mempertahankan pemahaman yang diajukan oleh tiga tradisi tersebut, sekaligus menemukan cara mengatasi berbagai kekurangannya serta menjembatani ketidaksesuaian antara ketiganya. Rancangan tersebut mencakup rekonseptualisasi atas konsep-konsep tindakan, struktur dan sistem dengan tujuan mengintegrasikannya menjadi pendekatan teoretis baru. Rekonseptualisasi atas konsep tindakan, struktur dan sistem diawali dengan memandang praktek-praktek sosial yang terus berlangsung sebagai segi analitis terpenting.
Rekonstruksi berguna untuk materi-materi yang cenderung berulang tiap tahunnya, seperti peringatan hari raya besar Islam maupun nasional. Rekontruksi memungkinkan Jamaah untuk menelaah kembali hikmah terbaru dalam peristiwa-peristiwa besar, sehingga terhindar dari rasa bosan dan jemu.
3. Sastra
Khotbah terdiri dari beberapa unsur penting yang harus ada dalam sebuah khotbah yaitu, al-muqaddimah (pembukaan), al-‘ardu (tampilan), ad-tadlīlu (keterangan) dan al-khatimah (penutup)
Khotbah terdiri dari beberapa alinea. Khotbah yang menarik menggunakan kalimat secara pendek-pendek, kata-katanya jelas dan mempunyai arti yang dalam. Setiap dua kalimat atau lebih kadang-kadang diakhiri dengan huruf yang sama, ringkas dan di dalamnya terdapat kata-kata hikmah, peribahasa dan bait-bait puisi.
Khotbah (pidato) merupakan serangkaian perkataan yang jelas dan lugas yang disampaikan kepada halayak ramai dalam rangka menjelaskan suatu perkara penting. Sejarah mencatat bagaimana khotbah Thariq bin Ziyad ketika beliau dan pasukannya yang ditugaskan untuk menaklukkan Andalusia, tepatnya pada bulan Rajab tahun 97 H (Juli 711 M), di selat Giblaltar, di atas perbukitan karang setinggi 425 m di pantai tenggara spanyol, dan nama Andalusia pada masa kini telah berganti nama dengan Spanyol.
Namun saat ini, dalam khotbahnya para khatib (juru pidato) tidak jarang mengisi semua pidatonya dengan ayat-ayat Al-Qur`an saja. Tak mengherankan jika banyak jamaah yang justru bosan, mengantuk, bahkan tidur, akibat materi yang tidak membawa kesan baru atau keterkejutan.
Maka, diantara metode yang harus digunakan agar khotbah terdengar menarik adalah, khotbah yang dibungkus dengan sastra. Penjelasan ini akan dilanjutkan dengan identifikasi majas yang bisa digunakan pada saat khotbah Jumat. Majas yang juga disebut figurative language adalah bahasa kias yang digunakan untuk menciptakan efek tertentu yang dapat menimbulkan kesan imajinatif bagi pendengar atau pembacanya.
Majas merupakan hal penting yang harus dikuasai oleh seorang khatib karena dengan majas itulah dia dapat memberikan efek keindahan berbahasa, memperjelas maksud yang hendak disampaikan, memberikan daya dorong yang pada akhirnya dapat meyakinkan para jamaah agar terpengaruh untuk mengikuti dan melaksanakan anjuran atau nasihatnya. Beberapa jenis majas yang dapat dipergunakan dalam khotbah Jumat, antara lain majas pertentangan, majas personifikasi, majas litotes, majas sinisme, majas klimaks, dan majas antiklimask, majas retoris, dan majas tautologi.
Majas pertentangan adalah majas yang mempertentangkan dua pernyataan. Pernyataan kedua merupakan kebalikan dari pernyataan yang pertama. Pengkontrasan ini biasa digunakan untuk memperkuat atau mempertegas suatu situasai tertentu guna mendapatkan perhatian para jamaah, yang kemudian prhatian mereka akan dibawa pada suatu situasi tertentu agar mereka terpengaruh dengan ujaran-ujaran yang disampaikan khatib. Di bawah ini disajikan salah satu majas pertentangan yang digunakan pada khotbah Jumat.
“Begitu banyak kejadian-kejadian yang bisa kita lihat orang yang seharusnya kita jadikan suri tauladan tetapi justru sangat buruh tingkah lakunya. Orang seharunys kita jadikan panutan hancur budi pekertinya.”
Kalimat ini bisa digunakan misalnya, pemimpin yang seharunya berprilaku baik, seperti sabar, adil, bijaksana, dan dapat dipercaya, tetapi perilakunya justu lebih buruk daripada perilaku orang yang dipimpinnya, seperti berbuat semena-mena, mengingkari janji, korupsi, dan perbuatan tercela lainnya.
Personifikasi adalah majas yang mempersamakan benda dengan sifat manusia, sehinga benda-benda tersebut seolah-olah memiliki sifat seperti manusia. Penggunaan beberapa teknis majas personifikasi antara lain.
“Marilah kita kejar terus kekurangan kita.” atau “Sehingga dari hari ke hari, dosanya malah bertambah banyak dan berkarat yang akibatnya akan menggerogoti imannya.”
Litotes adalah bahasa kias yang mengecilkan kenyataan yang sebenarnya dan bertujuan untuk merendahkan diri penutur. Dalam berdoa misalnya, seorang muslim selalu merendahkan dirinya serendah ungkin dan meninggikan Allah SWT, setinggi mungkin, sebagai tempat kita menyembah dan memohon pertolongan. Logikanya adalah yang meminta pertolongan adalah pihak yang lemah dan yang memberi pertolongan adalah pihak yang lebih kuat.
“Dari sekian banyak perintah-Nya, tentu masih ada perintah yang belum kita penuhi, apalagi larangan-larangan-Nya tentu masih banyak yang kita terjang atau lakukan.”
Sinisme adalah bentuk sindiran secara langsung. Majas sinisme dapat digunakan untuk mengkritik, menyindir, atau mengecam perilaku atau sifat-sifat orang yang merugikan banyak orang yang tidak patut atau tidak layak untuk ditiru. Sindiran itu dapat ditujukan kepada orang per orang, sekelompok orang (golongan), penguasa, masyarakat umum, siapa saja.
“… ia beranggapan bahwa dosanya masih relatif sedikit, lalu ia berusaha untuk memperbanyak dosa bahkan ia merasa bahwa dirinya tak mempunyai dosa hingga ia enggan untuk taubat.”
“Kita sering dengar ada kecongkakan ilmiah di perguruan tinggi. Banyak orang yang merasa sombong karena ilmunya.”
Majas klimaks dan antiklimaks menggunakan pemaparan pikiran atau hal secara berurutan dari hal yang sempit menuju kepada hal yang lebih luas, dari hal yang kurang penting menuju kepada hal yang lebih penting (klimaks), atau sebaliknya dari hal yang luas menuju hal yang lebih sempit (antiklimaks).
“Waktu bergulir dari saat ke saat, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, bahkan dari tahun ke tahun.”
“Siapapun setiap manusia adalah pemimpin, mereka adalah pemimpin yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang kita pimpin. Mulai dari pimpinan negara, pimpinan provinsi, pimpinan kabutan, pimpinan instansi, lembaga, sampai pimpinan rumah tangga, bahkan pimpinan terhaap diri sendiri inipun, jamaah yang dimuliakan Allah, kelak akan dimintai pertanggung jawaban.”
Majas retoris adalah majas yang menggunakan kalimat pertanyaan (modus intogratif) yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut, sehingga pertanyaan seperti ini tidak memerlukan jawaban. Dalam khotbah Jumat, pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh khatib bukan dimaksudkan untuk dijawab oleh jamaah karena jawabannya sudah diketahui oleh khatib.
Di samping itu, sebenarnya khatib secara pasti sudah mengerti bahwa jamaah tidak mungkin menjawabnya krena selama mengikuti ritual khotbah Jumat jammah tidak boleh berbicara. Sebenarnya, pertanyaan yang disampaikan khatib dimaksudkan untuk memberikan penegasan pada permasalahan yang sedang diuraikan. Penegasan tersebut diperlukan untuk meyakinkan atau untuk menyindir jamaah dengan tujuan agar pertanyaan tersebut direnungkan atau dihayati yang pada akhirnya jamaah mau menjalankan pesan yang terdapat di balik pertanyaan-pertanyaan tersebut.
“Siapa yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah?”
“Untuk apa Allah memberikan umur kepada kita?”
“Untuk apa ilmu yang anda miliki itu? apakah dimanfaatkan untuk kepentingan lain? atauka untuk sombong-sombongan?”
Tautologi adalah gaya bahasa yang menggunakan kata lain yang memiliki kemiripan makna yang bertujuan untuk penegasan. Dalam gaya bahasa tautologi, terjadi pengulangan kata yang berbeda tetapi memiliki makna yang hampir sama.
“Dan di dalam hal-hal apa harta itu dinafkahkan? Ditasarufkan? Dimanfaatkan untuk orang-orang yang membutuhkan?”
Dalam rangka memengaruhi jamaah, seorang khatib sering menggunakan ceritera, kisah, atau riwayat, baik kisah tentang nabi, sahabat dan Rasulullah, maupun kisah atau ceritera yang terjadi pada masa kini yang relevan dengan topik bahasan.
“Jamaah yang dimuliakan Allah, dikatakan dalam sebuah riwayat bahwa kabarnya hajar aswad pada saat itu pernah harus dipindahkan dari tempatnya karena terkena bencana alam atau banjir dan sebagainya. Ada seorang tokoh yang pada saat itu mengatakan orang yang berhak memindahkan hajar aswat ke tempatnya adalah mereka yang pertama kali ke tempat ini. Setelah diadakan penelitian dengan seksama, yang mungkin kalau sekarang sudah ilmiah maka diketahuilah bahwa nabi Muhammad yang berhak meletakkanya. Tetapi karena diketahui banyak kepala suku di sana, orang yang berkepentingan untuk melettakan batu (hajar aswat) demi prestise mereka dan kelompoknya, maka begitu ditunjuk oleh Umaiyah, “Hai Muhammad, engkau yang berhak meletakkan batu ini ke tempatnya.” Nabi Muhammad dengan senyum mengatakan, “Alhamdulillah, aku terima segala kepercayaan, tetapi biarkan aku yang mengaturnya.” Di luar dugaan, Nabi Muhammad mengambil selembar kain yang besar sudah barang tentu kemudian batu itu diletakkan di tengah-tengah, diminta semua kepala suku, kabilah yang ada untuk bersama-sama mengangkat batu hitam itu ke tempatnya.”
Kemudian, hal lain yang harus kita perhatikan adalah proses editing. Proses ini diperlukan agar materi khotbah tidak terlalu panjang sehingga memakan waktu lama. Padahal, nabi Muhammad SAW mengajurkan kita untuk memendekkan khotbah. Agar tidak terlalu panjang, naskah khotbah Jumat harus disusun secara sudut pandang (angel) yang fokus sehingga analisa yang disajikan menjadi jelas.
Tahap selanjutnya yang lebih penting adalah tahap dokumentasi. Tahap ini dilakukan pasca pelaksanaan khotbah Jumat. Ke depan, kumpulan khotbah Jumat tersebut dapat diterbitkan dalam bentuk buku sehingga dapat termanfaatkan dengan sangat baik. Selain itu, dokumentasi tersebut menjadi acuan agar tema atau pembahasan ke depan harus digunakan dalam perspektif yang beda sehingga tidak melulu materi yang dibulak-balik setiap tahun.
Harapannya, tradisi literasi khotbah ini dapat berkembang di ribuan lembaga Muhammadiyah sehingga bisa dibayangkan berapa banyak ilmu dan dokumen sejarah yang akan dihasilkan Muhammadiyah, terutama mengarungi abad ke-2 di era mondial yang sangat logosentris. Kemudian dokumen ini bisa dijadikan modal agar Muhammadiyah dapat bertarung dalam pemikiran invasi pemikiran internasional dengan diplomasi melalui karya-karya tulisan khotbah Jumat yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. 
F. Literasi Khotbah Jumat dan Upaya Internasionalisasi Dakwah
Sejauh ini peran Muhammadiyah dalam upaya internasionalisasi dakwah adalah melalui keterlibatan dalam berbagai dialog peradaban internasional, Muhammadiyah juga banyak terlibat dalam banyak forum perdamaian dan civil society, baik dengan dunia Islam maupun Barat. Sekadar menyebut, ada Syeikh Khumeini Foundation, Red Crescent Qatar, International Charitable Organization Kuwait, World Muslim Youth Assembly, British Red Cross, International Center for Religion and Diplomacy, International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, The Asian Foundation (TAF), dan lain-lain.
Adapun, saat ini program pemerintah untuk melaksanakan diplomasi adalah melalui bahasa. Artinya, akan dimulai program-program penerjemahan karya-karya Indonesia, baik fiksi maupun non-fiksi untuk dipamerkan di luar negeri, seperti yang sudah terjadi beberapa waktu ini. Hal tersebut dilakukan agar terjadi dialog serta menghindarkan streotype serta rasa saling curiga antara negara, akibat wacana yang tidak disemai dengan baik. Oleh karena itu, kesempatan baik ini selayaknya dimanfaatkan oleh Muhammadiyah untuk juga berkontribusi dalam pembuatan karya. Adapun, salah satu karya yang bisa dijadikan senjata untuk menginvasi pemikiran Muhammadiyah adalah karya tentang khotbah Jumat. Tradisi literasi khotbah Jumat dapat pula menjadi modal bagi Muhammadiyah untuk berdiplomasi/berdakwah dalam rangka “Internasionalisasi dakwah dan pemikiran Muhammadiyah”. Mengingat Muslim di seluruh dunia pasti melakukan salat Jumat sehingga memerlukan materi khotbah yang bisa dimanfaatkan oleh Muhammadiyah untuk melancarkan strategi dakwah. Adapun, jika kita perbandingkan dengan organisasi transnasional lainnya, seperti Hizbuttahrir dan Ikhwanul Muslimin (tarbiyah) sangat jelas bahwa, modal utama mereka dalam berinvasi ideologi adalah teks-teks atau naskah dari para pemikir/ideolognya. Khusus bagi Hizbuttahrir di Indonesia sering memanfaatkan forum khotbah Jumat sebagai metode invasi penyebaran pemikiran khilafah, dalam bentuk buletin-buletin dakwah. Dukungan dari pimpinan cabang istimewa Muhammadiyah (PCIM) tentu sangat diperlukan agar penyebaran pemikiran Muhammadiyah semakin sistematis serta fokus terhadap objek dakwah yang dituju.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Khotbah Jumat merupakan salah satu media yang strategis untuk dakwah Islam, karena ia bersifat rutin dan wajib dihadiri oleh kaum muslimin secara berjamaah. Sayangnya, media ini terkadang kurang dimanfaatkan secara optimal. Para khatib seringkali menyampaikan khotbah yang membosankan yang berputar-putar dan terkesan itu-itu saja. Akibatnya, banyak para hadirin yang terkantuk-kantuk dan bahkan tertidur.
Oleh karenanya, diperlukan terobosan agar khotbah Jumat diantaranya dengan melakukan tradisi literasi khotbah Jumat. Literasi pun harus ditunjang dengan riset-riset tentang teks-teks khotbah Jumat terdahulu, agar terjadi pembaharuan baik dari perspektif maupun pendekatan masalah.
Pada lembaga-lembaga Muhammadiyah sangat minim melakukan literasi khotbah Jumat. Hanya beberapa buku saja yang diterbitkan sebagai pedoman khotbah Jumat, namun tetap tidak dijadikan pedoman bagi para khatib di lembaga Muhammadiyah. Akhirnya, pengawalan terhadap materi khotbah tidak bisa dioptimalkan sebagai lahan potensial untuk pengembangan dakwah.
Adapun, jika tradisi literasi khotbah Jumat dapat berkembang di berbagai lembaga Muhammadiyah yang sudah mencapai jumlah ribuan, maka produktivitas Muhammadiyah dalam menghasilkan karya dapat menjadi modal dalam rangka internasionalisasi dakwah dan pemikiran Muhammadiyah.
Strategi pengembangan dakwah melalui literasi khotbah dapat dicapai dengan beberapa tahap: 
a. Persiapan pra naskah yakni berupa identifikasi masalah dan materi yang akan dibahas dalam khotbah Jumat. Proses analisa digunakan dengan metode kontekstualisasi dan rekonstruksi, dengan senantiasa mempertautkan dengan ideologi Muhammadiyah. 
b. Penulisan naskah, yakni dilakukan dengan cara mereduksi hasil riset, penulisan sistematis serta penyajian naskah dengan sastra. 
c. pasca khotbah, yakni dilakukan dokumentasi serta penerbitan berkala setiap tahun dalam bentuk buku serta diunggah ke internet. Kemudian, agar dapat diakses secara internasional dilakukan pula penerjemahan.
B. Saran
a. Bagi pimpinan pusat (PP) Muhammadiyah agar menerbitkan surat intruksi kepada seluruh lembaga Muhammadiyah yang rutin melaksanakan khotbah Jumat, agar melakukan kegiatan literasi khobah Jumat.
b. Bagi takmir dan khatib Muhammadiyah untuk senantiasa memaksimalkan mimbar jumat sebagai wadah pencerahan bagi masyarakat bagi umat, bukan sekedar rutinitas semata.
c. Bagi peneliti/pemakalah selanjutnya, agar bisa melanjutkan gagasan kepada pelatihan khatib dalam aspek retorikanya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim. W, Musthofa. 2012. Dakwah Bertingkat Majalah Suara Muhammadiyah. Yogyakarta: Jurnal Dakwah
Sukarno. 2013. Retorika Persuasi Sebagai Upaya Mempengaruhi Jamaah Pada Teks Jumat. Jember: Humaniora
Dwi Supriyadi. Joglosemar. 11 April 2014
Danang Mukhtar Syafi,i. Solopos. 12 Februari 2013
Asep Purnama Bakhtiar. Republika. 23 November 2012
Okezone.com. Diakses pada 28 Oktober 2014. Pukul 13.50 WIB
Oleh: Irfan Ansori
(Mahasiswa Semester 8 FAI UMS/ Ketua PC IMM Sukoharjo)