
*) Oleh Anwar Hadja
Bulan Maulid atau bulan Rabiulawal, bagi umat Islam merupakan bulan yang istimewa, sebab pada bulan inilah Nabi Muhammad saw dilahirkan. Tepatnya Nabi saw lahir pada hari Senin,12 Rabiulaal, di kota Makkah.
Untuk mengenang kelahiran Nabi akhir jaman itu, umat Islam sering menyelenggarakan acara-acar peringatan dan perayaan Maulid Nabi. Bahkan Pemerintah NKRI menetapkan tanggal 12 Rabiulawal sebagai hari libur nasional.
Namun demikian dalam sejarah perjalanannya yang panjang sesudah melewati bentangan jaman dan lingkungan budaya tempat Islam tumbuh dan berkembang, telah terjadi akulturasi budaya bahkan sinkretisme yang bersifat dilematis. Disatu pihak akulturasi dan sinkretisme memperkaya corak dan model Perayaan Maulud yang diselenggarakan umat Islam.
Tetapi dilain pihak, sinkretisme yang berupa pengambilan unsur-unsur kepercayaan diluar Islam ke dalam Perayaan Maulid Nabi, telah menimbulkan persoalan yang serius.Yakni Perayaan Maulid Nabi telah diselenggarakan dengan menyalahi ketentuan syariat yang dihukumi para Ulama sebagai bid’ah. Dengan demikian Perayaan Maulid Nabi oleh umat Islam telah berkembang menjadi dua model, dua corak dan dua jalur. Pertama adalah corak perayaan maulid yang bebas dari unsur sinkretisme. Kedua adalah corak prayaan maulid yang kaya dengan ritual sinkretik yang dihukumi bid’ah oleh sejumlah ulama.
Memang sudah seharusnya umat Islam bisa membedakan dengan tajam pengertian peringatan, perayaan dan ritual Maulid Nabi. Peringatan Maulid Nabi, mengandung arti mengingat atau mengenang kelahiran Nabi saw. Biasanya dilaksanakan secara sederhana, berupa renungan yang akan memperkaya iman, takwa, kecintaan kepada Nabi saw, dan merupakan manifestasi ungkapan syukur kepada kelahiran Nabi saw.
Nabi saw sendiri, melaksanakan peringatan hari kelahirannya dengan shaum pada hari Senin, sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepada hambaNya. Sedang perayaan, adalah peringatan dalam skala yang lebih luas melibatkan banyak komunitas, biasanya disertai aneka macam atraksi dan makan-makan .
Pada hakekatnya peringatan dengan perayaan tidak banyak bedanya. Hanya skalanya saja yang membedakan. Kata perayaan memang berasal dari kata dasar raya, yang berarti besar. Jadi perayaan bisa bermakna peringatan dalam skala besar. Biasanya perayaan itu diselenggarakan oleh suatu insitusi atau lembaga keagamaan maupun pemerintah.
Peringatan dan perayaan, lebih merupakan urusan duniawi sebenarnya, karena itu sifatnya boleh, sepanjang tidak ada larangan, dan memang memiliki nilai sosial yang bisa juga mendatangkan pahala apabila diniatkan oleh umat Islam untuk kebaikan dan kemaslahatan ummat seperti syiar keagamaan. Oleh karena perayaan dan peringatan dari seorang tokoh diluar dirinya merupakan urusan duniawi, sebenarnya tak ada unsur bidengah keagamaan dari penyelenggarakaan peringatan atau perayaan.
Berbeda dengan peringatan dan perayaan adalah ritual yang berkaitan dengan ritual kelahiran. Ritual kelahiran bisa bernuansa bidengah dan tidak. Bernuansa bidengah,bila tidak sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulnya dan tidak pula dicontohkan oleh Nabi saw. Di dalam Islam penciptaan ritual keagamaan merupakan hak prerogatif yang mutlak dari Allah SWT. Umat manusia sebagai mahluk ciptaan Allah SWT, tidak boleh menciptakan sebuah ritual keagaman. Kegiatan menciptakan ritual keagamaan yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT dan tidak ada contohnya dari Nabi saw, termasuk kategori bidengah yang jelas-jelas terlarang dalam syariat Islam atau Islamic Law.
Ritual maulud yang dicontohkan oleh Nabi saw atas kelahiran dirinya hanyalah shaum. Maka ritual maulud selain shaum, seperti ritual tumpengan, ritual sekatenan dan ritual sokrolan, jelas merupakan aktivitas sinkretik. Ritual sokrolan diambil dari tradisi kaum Nasrani dalam Natalan.
Sedangkan ritual tumpengan dan sekatenan, merupakan ritual yang diadopsi dari ritual keagamaan pada masa pra Islam khususnya di pulau Jawa.
Ritual Sokrolan dan Sekatenan menjadi sangat terkenal karena dilaksanakan oleh sebuah institusi yang besar yakni Negara. Ritual Sokrolan masuk kedalam Perayaan Maulid Nabi yang pertama kali dilaksanakan oleh Dinasti Fatimiyah yang bermashab Syiah yang pernah menjadi penguasa Mesir. Sedangkan ritual Sekatenan menjadi terkenal karena diselenggarakan oleh Kerajaan Islam Demak, yang kemudian dilanjutkan oleh pecahan Kerajaan Islam Demak, yakni Kerajaan Islam Banten, Cirebon, dan Mataram yang kemudian pecah menjadi Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran, Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
Nabi saw sendiri telah melarang dalam salah satu hadisnya suatu perayaan maupun peringatan yang memuji Nabi saw secara berlebihan dalam hadistnya yang terkenal:
: “Diriwayatkan dari Umar ra., ia berkata: Aku mendengar Nabi saw bersabda: Janganlah kamu memberi penghormatan (memuji/memuliakan) kepada saya secara berlebihan sebagaimana orang Nasrani yang telah memberi penghormatan (memuji/memuliakan) kepada Isa putra Maryam. Saya hanya seorang hamba Allah, maka katakan saja hamba Allah dan Rasul-Nya.”[HR.alBukharidanMuslim]
Jika memuji Nabi saw secara berlebihan saja dilarang. Tentu lebih dilarang lagi peringatan dan perayaan yang mengandung ritual yang bersifat sinkretik.
Ada baiknya jika kita lacak sejarah dari Perayaan Maulid Nabi saw yang sudah sangat membudaya itu. Banyak yang berpendapat bahwa, perintis Perayaan Maulid Nabi adalah Sultan Dinasti Ayubi dari Mesir, Salahuddin Al Ayubi. Tetapi penelusuran terbaru dari sejarah maulid Nabi saw, ternyata menunjukkan bahwa tradisi Perayaan Maulid Nabi berasal dari suatu jaman yang yang mendahului Dinasti Ayyubi. Tepatnya, perintis tradisi Perayaan Maulid Nabi berasal dari perayaan-perayaan keagamaan Dinasti Fatimiyyah di Mesir.
1.Dinasti Fatimiyyah
Perayaan Maulid Nabi sebenarnya memiliki sejarah yang kelam, kabur atau obscure dalam pengertian siapa sebenarnya pencetus perayaan Maulid Nabi itu. Dapat dipastikan sampai jaman Dinasti Umayyah (680-750 M), belum dikenal adanya perayaan Maulud Nabi. Demikian juga pada jaman dinasti Abbasiyah( 750- 1258 M). Dengan demikian pada dua Dinasti yang berpaham Suni itu, yakni Umayyah dan Abbasiyah, perayaan maulud sama sekali belum dikenalnya.
Berdasarkan sejumlah penyelidikan sejarah, perayaan mauludan dengan unsur ritual sokrolan baru muncul pada Dinasti Fatimiyah yang beraliran Syiah yang pernah berkuasa di Mesir. Orang yang pertama kali mengadakan bid’ah ini adalah Ubaid al Qadah anggota kelompok Fathimiyah yang menistbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abu Thalib. Padahal sebenarnya dia adalah pendiri suatu aliran kebatinan. Nenek moyangnya adalah al- Qadah. Dulunya dia adalah budak Ja’far bin Muhammad As- Shadiq, berasal dari Ahwas dan salah seorang pendiri aliran Batiniah di Irak, kemudian pindah ke Maghrib dan menisbatkan diri dalam hal ini kepada Aqil bin Abu Thalib, serta mengaku berasal dari keturunannya.
Ketika orang-orang dari kelompok Rafidhah yang sesat menerima seruannya, dia mengaku bahwa dirinya adalah anak Muhammad bin Ismail bin Ja’far Ash- Shadiq sehingga mereka menerimanya. Padahal Muhammad bin Ismail bin Ja’far Ash- Shadiq wafat tanpa meninggalkan keturunan. Diantara yang mengikuti jejaknya adalah Hamdan Qaramith sehingga kepadanyalah aliran Qaramithah dinisbatkan. Setelah berjalan beberapa saat, muncullah Sa’id bin Husain bin Ahmad bin Abdillah bin Maimun bin Dishan Al-Qadah, lalu dia mengubah nama dan nasabnya dan berkata kepada pengikut- pengikutnya.
“Saya adalah Abdullah bin Hasan bin Muhammad bin Ismail bin Ja’far Ash- Shadiq
Al-Baghdadi.” .
Sebuah riwayat lain menjelaskan bahwa pemimpin Mesir, yaitu Manshur bin Nazzar yang diberi gelar dengan Al-Hakim bin Ma’ad bin Ismail bin Abdullah bin Sa’id, ketika sampai di negri Maghrib, dia menganti nama dengan Ubaidillah dan membuat gelar Al-Mahdi. Nenek Moyangnya adalah penganut aliran Khawarij dan tidak ada nasab dengan putra Ali bin Abu Thalib.
Pada awalnya paham mereka hanya menyebar di Maghrib, tetapi akhirnya menyebar dengan pesat, akhirnya menjadi Penguasa Mesir. Dia adalah keturunan orang Majusi atau Yahudi. Ini yang masyhur menurut kesaksian para ulama Thaif dan madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, ahli Kalam, ahli nasab, dan sebagainya. Bahkan orang yang tidak begitu kenal dengan dia pun, seperti Ibnu Al- Atsir Al-Mushili juga menulis dalam sejarahnya, seperti yang ditulis para ulama dan penulis Islam lainnya, yaitu mencatat nasabnya
Begitu juga Ibnu Al-Jauzi, Abu Syamah, dan ahlul ilmi lainnya. Bahkan, para ulama menulis dalam buku- buku khusus untuk menyingkap rahasianya. Misalnya, Al-Qadhi Abu Bakar Al- Baqillani dalam bukunya yang terkenal. Begitu juga Al- Qadhi Abu Ya’la dalam bukunya Al- Mu’tamad yang menjelaskan secara panjang lebar tentang kezindikan dan kekafirannya. Demikian juga Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Fadhail Al-Mustadzhiriyah wa Fadhaih Al-Bathiniyah. Beliau berkata, ” Secara lahir alirannya Rafidhah, tetapi batinya kafir mutlak.”
Kelompok Abidiyah masuk Mesir pada hari kamis bulan Ramadhan tahun 362H, dan di situlah awal kekuasaan mereka terhadap Mesir. Ada yang mengatakan hari selasa tanggal 7 Ramadhan 362H]. Bid’ah hari ulang tahun alias maulid terjadi pada masa kepemimpinan Al- Abidiyun. Sebelumnya tidak pernah ada tokoh mana pun yang pernah melakukannya ritual perayaan maulid Nabi saw yang mengandung bidengah semacam itu, baik pada masa Dinasti Umayyah maupun Abbasiyyah. Apa lagi pada masa-masa sebelumnya, yakni pada masa sahabat dan ulama salaf.
Dengan adanya peringatan- peringatan yang dijadikan oleh kelompok Fathimiyah sebagai hari raya dan pesta seperti itu, kepemimpinan mereka bertambah meluas dan mereka mendapat keuntungan yang banyak.Para pemimpin Fathimiyah memiliki banyak hari raya dan peringatan setiap tahunnya. Diantaranya adalah peringatan akhir tahun, awal tahun, Asyura, Maulid Nabi, Maulid Ali bin Abu Thalib, Maulid Hasan dan Husain, Maulid Fathima Az-Zahra, Maulid Khalifah, awal malam bulan Rajab, pertengahan bulan Rajab, malam bulan Sya’ban, malam Nishfu Sya’ban, awal malam Ramadhan, pertengahan Ramadhan, hari Idul Fitri, Idul Adha, Upacara kematian, menyambut musim hujan, musim kemarau, peringatan hari Rukubat dan sebagainya. Demikianlah orang yang pertama kali punya inisiatip mengadakan ritual peringatan Maulid Nabi adalah bani Ubaid Al- Qadah dari Kelompok Fathimiyah.
bersambung : Menengok Sejarah Perayaan Maulid Nabi part 2