Masa Depan Kader Intelektual Ikatan (IMM)

Prolog[1]
Tulisan ini akan difokuskan pada pembangunan basis intelektualitas kader IMM yang didasarkan pada kegelisahan pribadi dan beberapa kritik dari mereka yang mengamati Muhammadiyah dan IMM dari luar. 
Ada kritik yang sangat menarik yang dikemukakan Adzyumadri Azra, bahwa menurutnya setelah sekian lama Muhammadiyah berkiprah dalam pembaharuan ke-Islaman di Indonesia, secara tidak disadari telah memanjakannya dalam kemapanan wacana keagamaan. Ulama Muhammadiyah hanya dialokasikan di tempat pariferal dan marjinal yaitu Majlis Tarjih. Dengan demikian Muhammadiyah telah mengalami kebekuan dalam mengkonstruksi wacana-wacana ke-Islaman. Seperti yang juga dikatakan Cak Nur bahwa pada akhirnya pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah berhenti membeku, tidak bisamenangkap semangat dari ide-ide pembaharuan itu sendiri (Madjid, 1987). Oleh karenanya, kebekuan pemikiran tersebut berimbas pada IMM secara langsung, dimana kader-kadernya kebanyakan sangat minim akan wacana dan progresifitas untuk membangun epistemology pemikiran (Cahyono, 2003). 
Di sisi lain, kebanyakan kader Ikatan pun tidak senang untuk membaca, hobi berpolitik dan memperebutkan kekuasaan. Tak ada waktu untuk mengambil kursus B. Inggris dan B. Arab tambahan. Jarang pergi ke perpustakaan, lebih senang menghabiskan waktu di kantin dan café. Pimpinan komisariat sebagai garda terdepan perkaderan lebih banyak mengurusi rapat dan kepanitiaan, Pimpinan Cabang sudah sangat sulit memfasilitasi kajian dengan segudang kesibukan untuk membuka atau menutup acara. Ditambah system perkaderan Pendukung yang tidak terlembagakan, karena SPI hanya memfokuskan pada Perkaderan Utama dan Perkaderan khusus saja.   
  
Berangkat dari kegelisahan tersebut perlu kiranya dilakukan pembaharuan terhadap perkaderan intelektualitas Ikatan supaya kader IMM yang terlahirkan di kemudian hari bisa memiliki semangat intelektualitas untuk melakukan pembaharuan pemikiran ke-Islaman yang telah mandeg tidak dilakukan oleh orang-orang tua Muhammadiyah.  Pertanyaannya adalah seberapa pentingkah pembaharuan pemikiran itu dilakukan oleh kader ikatan? Dan bagaimanakah tahapan-tahapan kaderisasi untuk melahirkan kader mujtahid dan mujadid tersebut? Maka tulisan ini akan menjawabnya.  
Generasi Mujaddid dan Mujtahid
Dilihat dari genealoginya, bisa dikatakan bahwa keterlahiran Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid dilatar belakangi oleh empat pemikir, Ibnu Taimiyah, Muham Ibn Abdul Wahab, Muhammad Abduh, dan Kyai Ahmad Dahlan sendiri—sekalipun kata Dawam Raharjo tiga pemikir yang melatar belakangi, Abdul Wahab, Rasyid Ridho, dan Kyai Dahlan[2]—tetapi Ibnu Taimiyah pun sangat berpengaruh dalam kalakteristik piqhiyah Muhammadiyah. Keempat pemikir ini, merupakan para pembaharu di masanya, gagasan mereka sangat modern pada saat itu. Misalnya gagasan Muhammad Abduh dalam memandang pentingnya umat islam menoreh wilayah-wilayah politik yang saat itu sangat dijauhi oleh kalangan fuqaha dan kalangan sufi, karena kontek sosio-historinya bangsa-bangsa arab dan islam pada saat itu sedang berada pada cengkraman penjajahan barat. 
Apa yang digagas dan dilakukan oleh para pembaharu di masa lalu itu tentu tidak bisa tidak sangat terikat oleh ruang dan waktu. Apa yang pada saat itu dikatakan sebagai pembaharuan pemikiran belum tentu bisa dikatakan baru lagi untuk konteks saat ini. Dunia sudah berubah dengan begitu cepat, teknologi berkembang, dan masyarakat masuk pada pase posmoderen. Apa yang dikatakan baru oleh pemikir-pemikir itu, justru bisa menjadi sebagai sesuatu yang usang untuk saat ini. Sekalipun tentunya dalam beberapa hal masih bisa dianggap baru, karena masih sesuai dengan kontek kekinian. Lanjutan pembaharuan pemikiran Islam itu telah dan sedang dilakukan dalam rentan waktu dekat-dekat ini oleh pemikir-pemikir Islam yang kebanyakan dari mereka justru dikalangan Muhammadiyah sendiri terkadangdianggap sebagai penghancur tradisi Islam.
Mereka para pembaharu itu adalah semisal Hasan Hanafi, Muhammad Syahrur, Muhammad Arkoun, Muhammad Abeed Aljabiri, Naser Hamid Abu Zaid, Fazlurrahman, dan Asghar Ali Engginer. Para pemikir ini merupakan mereka yang mengembangkan gagasan pembaharuan, dengan melakukan krtik atas Nalar Arab yang selama ini berkembang, mereka pun melakukan pegkajian intensif untuk merumuskan metodologi baru dalam memahami Al-Qur’an dan dalam pengambilan Istimbath Hukum. Apa yang mereka lakukan, merupakan bentuk pengejawantahan atas kesepakatan tidak akan pernah tertutupnya pintu ijtihad. 
Belum tertutupnya pintu ijtihad, tidak bisa hanya dipahami sebagai tindakan bolehnya untuk terus menerus melakukan pengambilan Istimbat hukum  dalam agama dengan hanya tetap berpegang pada metodologi ulama terdahulu, semisalUshul Fiqih dan Tafsir. Tetapi sesungguhnya yang sejati adalah, belum tertutupnya pintu ijtihad pun merupakan tindakan bolehnya melakukan pengambilan istimbat hukum dalam agama dengan tidak tetap berpegang teguh pada metodologi ulama terdahulu. Pembaharuan tidak hanya kesimpulan hukumnya saja, melainkan metodologi bisa diperbaharui. Maka sebagai penerus risalah pembaharuan Islam, gerakan arruju ila Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Arkoun, Ashgar,  dan FazluRahman, harus digalakan di kalangan kader ikatan ke depan. Memang amaliyah merupakan hal yang terpenting untuk membebaskan umat Islam dari kemiskinan dan keterbelakangan, tetapi pemetaan pemahaman pun perlu harus diletakkan. Sehingga kelak, tindakan yang dilakukan benar-benar mengarah pada apa yang dicita-citakan.Pemahaman, sangat erat kaitannya dengan tindakan dalam beramal. 
Namun sebelum memasuki alam pikiran itu terlebih kader harus diperkanalkan bagaimana sebetulnya ulama-ulama terdahulu berepistemologi. Karena epistemologiulama-ulama terdahulu itulah yang digunakan oleh Muhammadiyah melalui majlis tarjihnya sampai saat ini. Terdiri dari Ulmul Qur’an, Nahu Saraf, Ushul Fiqih,Tafsir dan Metodologi Tafsir, Mantiq dan Mustolahul Hadits. Untuk lebih jelasnya lihatlah tabel silabus berikut ini:
Tahapan Pengkaderan Mujtahid dan Mujadid IMM
No
Jenjang
Madrasah Intelektual
Materi
1
Komisariat
Muhammadiyah 1
1.     Membaca Alqur’an Secara Tartil
2.    Aqidah dan Adab
3.  Tirakat dan Ibadah Mahdoh (Manhaj Tarjih)
2
Komisariat
Muhammadiyah 2
1.     Nahu
2.    Syaraf
3.    B. Inggris
3
Komisariat
Muhammadiyah 3
1.     Ulumul Qur’an
2.    Mustolahul Hadis
3.    Ushul Fiqih
4.    Sejarah Kebud. Islam
5.    Qiroatul Kutub
4
Cabang
Muhammadiyah 4
1.     Filsafat Islam
2.    Kritik Nalar Arab
(Asghar Ali Engginer, An-Naim, Fazalurrahman, Al-Jabiri, Hasan Hanafi)
3.    Islam Ke-Indonesiaan
(Kyai Dahlan, Nurcholis Madjid, Syafii Maarif, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, dan Amien Rais)
5
DPD
Muhammadiyah 5
1.     Teori-Teori Sosial Moderen
2.    Penguatan Jurnalistik
3.    Pelatihan Penulisan Jurnal
Catatan: Semua jenjang dilaksanakan selama 1 tahun.
Pentingnya terlebih dahulu membedah kembali tradisi Nalar Arab klasik tersebut tidak terlepas dari banyaknya kader Ikaran yang sering dengan seenaknya membombardir produk-produk Ijtihad Muhammadiyah dengan tanpa basis argumentasi yang kuat, mereka tidak memahami Qiyas, Ijma, Maslahat-Mursalah dan apalagi epistemology Bayani, Burhani dan Irfani-nya Majelis Tarjih. Begitupun pemahaman tentang kualitas khabar/ hadits dan rijalul hadits. Sehingga kritik yang dilakukan terhadap produk hukum Muhamadiyah atau bahkan terhadap tradisi fiqih masa lalu tidak berdasar pada pemahaman yang objective, terkesan hanya ikut-ikutan terhadap apa yang disampaikan oleh Hasan Hanafi, Arkoun, Al-Jabiri dan An-Naim. Di sisi lain bahkan terkadang dengan seenaknya meminjam pemikir-pemikir Postmodern atau teori sosial kritis untuk membaca dan menafsirkan sumber-sumber hukum di alam Ajaran Islam.
Sebaliknya, terkadang juga banyak kader yang berasal dari sekolah-sekolah salaf, sekolah Muhammadiyah atau sedikit yang terpoles make up Timur Tengah yang dengan tanpa bisa diajak berdialog menolak dengan mentah-mentah pemikir-pemikir semisal Hasan Hanafi, Arkoun, Al-Jabiri dan An-Naim tersebut. Bahkan dengan tanpa ampun mengecam hermeneutika; teori sosial modern dan pendekatan-pendekatan yang berkembang di Barat lainnya. Tentunya hal itu pun tidak bisa dibenarkan; karena hikmah itu miliki kaum muslimin, dimana pun berada kita harus mengambilnya. Sifat mencurigai di dalam mencari ilmu harus dikesampingkan seharusnya yang dikedepankan adalah kepenasaran dan keheranan. Sehingga yang terbaik untuk dilakukan adalah semestinya kita menelaah kembali prangkat-prangkat epistemologi Nalar Arab masa lalu, kemudian membuka cakrawala terhadap tradisi ke-Ilmuan Barat, sambil menyimak upaya-upaya pembaharuan epistemologic yang sedang dilakukan oleh pembaharu-pembaharu muslim modernis semisal Hasan Hanafi, Arkoun dkk tersebut. Bahasa Inggris dan Bahasa Arab menjadi dua kata kunci yang tidak bisa diremehkan, keduanya menjadi niscaya untuk dikuasi oleh kader Ikatan.      
Epilog
Seperti itulah gagasan sederhana yang saya miliki berkaitan dengan masa depan pengkaderan intelektual IMM. Wallahu A’lam. Semoga bisa ditangkap dan semoga bisa dilaksanakan kelak di kemudian hari. Besar harapan dari Rahim Ikatan ini lahirlah Mujaddid – Mujadidd dan Mujtahid baru yang terus berupaya untuk menemukan turunan dari kunci-kunci hermenetuika yang telah ditemukan oleh Ahmad Dahlan dan ulama-ulama besar di masa lalu.
Referensi
Anggaran Dasar IMM.
Cahyono, Imam. 2003. Melacak Akar Gerakan Mahasiswa islam Indonesia. SOP DAD IMM Cabang Ar. Fakhrudin Kota Yogyakarta. 2001.
Koentowijoyo. 1991. Paradigma Islam. Bandung: Mizan.
Madjid, Nurcholis. 1987. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan
Sanit, Arbi. 1981. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo

[1] Oleh: Rijal Ramdani, ditulis saat menjadi Instuktur IMM Cabang Ar.Fakhrudin Kota Yogyakarta
[2] Dalam Diskusi yang bertempat di PP Muhammadiyah Cikdotiro beberapa hari menjelang Muktamar 1 Abad Muhammadiyah di Yogyakarta.