
“Siapa lagi kalau bukan Pak AR?” Begitu umumnya peserta Muktamar ke-41 di Solo menyebut tokoh yang paling pantas duduk sebagai Ketua PP. Muhammadiyah. Dan pada akhirnya, memang bukan kejutan lagi ketika tokoh yang dikenal masyarakat luas itu mengumpulkan suara terbanyak (1059). Peringkat berikutnya tetap H. Djarnawi Hadikusumo (982 suara).
“Jangan berebut kekuasaan dan jangan saling tolak menolak kalau diserahi kekuasaan”, itulah prinsip Pak AR jauh sebelum pemilihan ketua Umum PP Muhammadiyah. Karenanya sewaktu muktamirin memlihnya sebagai ketua, dengan bijak ia terima. “Insya Allah kami akan laksanakan amanah ummat”, katanya.
Pak AR memang tidak hanya populer di kalangan warga Muhammadiyah. Tokoh-tokoh agama dan golongan lain sangat mengagumi gaya kepemimpinannya. Dialogis dan mudah bergaul dengan siapa saja. Bapak M. Wonohito (alm) misalnya, pernah terus terang menyatakan kecintaannya dengan gaya Pak AR. “Merakyat dan gampang diterima”, kata Pak Won pada suatu malam.
Pernah suatu ketika telepon di meja redaksi Kedaulatan Rakyat berdering. “PAk Ustadz Imam Anshori tolong direkam ceramah PAk AR di televisi, dan dimuat untuk KR besok,” perintah Pak Won yang waktu itu sebagai pemimpin umum KR dan MP.
Saya yang kebetulan mengikuti siaran televisi, langsung menyambar tape recorder merekam “Mimbar Agama Islam” dari Pak AR.
Begitu juga di kalangan masyarakat pedesaan. Suara Pak AR bagaikan obat. “Cespleng tur cetha,” tutur tetangga saya yang baru belajar sembahyang, mengikuti ceramah Pak AR lewat televisi.
Penggambaran Pak AR. yang lebih objektif barangkali bisa diwakilkan pada pengamat ahli asing Prof. Dr. Mitsuo Nakamura, penulis buku Bulan Sabit Muncul di Balik Pohon Beringin.
Pak AR. digambarkan sebagai contoh seorang alim reformis dengan latar belakang tradisional. “Wajahnya yang bulat besar, dengan badan yang agak gemuk, mengingatkan orang pada Semar, tokoh lucu dalam wayang jawa” tutur Nakamura yang kemarin mengikuti muktamar bersama istrinya.
Dalam setiap penampilan, ujar Nakamura, Pak AR benar-benar mempunyai bakat dagelan, percakapan dan improvisasi yang lucu yang dilakukan oleh tokoh punakawan (badut dalam ketoprak).
Pak AR mempunyai kecakapan sebagai pemain dagelan, terutama kecakapannya yang tinggi dalam memanfaatkan kompleksitas bahasa Jawa. Meloncat dari tingkat bicara yang tinggi beralih ke tingkat rendah, menirukan setiap mimik setiap tipe penutur Bahasa Jawa. Sementara pendengar tertawa terbahak-bahak, Pak AR tetap berwajah tenang dengan pengendalian diri sepenuhnya.
Misal di sutau ceramah, Pak AR. meminta umat Islam kalau menyumbang untuk pembangunan masjid atau amal yang lain diharapkan tidak dengan uang kecil. “Sekarang sorga yang harganya lima ratus rupiah sudah habis”, kata Pak AR yang tentu saja membuat gerr suasana, di samping dapat membawakan pesan dakwahnya.
(Tulisan ini ditulis oleh Imam Anshori Saleh, SH. dan dimuat dalam koran Minggu Pagi 15 Desember 1985)