Andai Matahari di Tangan Kananku

Waktu itu di Makkah, Nabi Muhammad kian gencar menyebarkan risalah Islam pasca perintah Allah untuk berdakwah secara terang-terangan. Kaum Quraisy benar-benar merasa terancam dengan misi dakwah itu. Karena satu persatu pengikut Muhammad kian bertambah. Muhammad pun secara terbuka berani mencerca berhala-berhala yang disembah kaum jahiliyyah itu.
Bersepakatlah para elit Quraisy menemui Abu Thalib agar dia menghentikan keponakannya itu atau menyerahkannya kepada mereka. Lalu, dibawah pimpinan Abu Sofyan ibn Harb, mereka berkata, “Wahai Abu Thalib kemenakanmu itu sudah memaki berhala-berhala kita, mencela agama kita, tidak menghargai harapan-harapan kita, dan menganggap sesat nenek moyang kita. Soalnya sekarang, harus kau hentikan dia. Kalau tidak, biarlah kami sendiri yang akan menghadapinya. Karena anda juga sejalan dengan kami, maka cukup Andalah dari pihak kami untuk menghadapi dia.”
Usai didatangi utusan Quraisy itu, Abu Thalib masih tetap diam dan tidak menuruti kehendak mereka. Lalu, kalangan Quraisy datang kembali sampai tiga kali. Mereka makin kalap, sampai menyatakan kalau Muhammad tidak berhenti berdakwah, kaum Quraisy akan menghadapinya sampai salah satu binasa. Intinya, akan membunuh Nabi. Ancaman fisik terhadap Muhammad itu menggetarkan hati Abu Thalib. Karena demikian sayang kepada Muhammad, maka pamannya itu menceritakan apa yang dikehendaki kaum Quraisy, yang secara tersirat meminta Muhammad berhenti dakwah kepada kaum Quraisy.
Muhammad termenung sejenak mendengar apa yang disampaikan Abu Thalib. Dalam pikiran Nabi, pamannya sudah tak kuasa mendapat tekanan Quraisy seraya meminta agar dirinya berhenti berdakwah. Atau sebaliknya, menghadapi ancaman jiwa tanpa pembelaan dari pamannya. Namun, dengan tegar Muhammad menjawab, yang artinya : “Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan misi ini, sungguh tidak akan aku lakukan. Biarlah nanti, Allah yang akan membuktikan kemenanganku atau aku binasa karenanya.”
Abu Thalib sungguh takjub dengan jawaban kemenakan yang disayanginya. Meski semula sempat bimbang, dia akhirnya mendukungnya kembali. Abu Thalib seraya berkata kepada Muhammad, “Wahai anakku, katakanlah apa yang engkau kehendaki. Bagaimanapun aku tak akan menyerahkan engkau atas apa yang tidak engkau sukai.” Abu Thalib kemudian meminta seluruh anggota Banu Hasyim dan Banu Muthalib untuk melindungi Muhammad. Mereka bersetuju memberikan perlindungan, kecuali Abu Lahab.
Kisah tersebut menunjukkan, betapa berat dan penuh pergumulan Nabi bersama para sahabat berjuang menegakkan risalah Islam di tengah segala ancaman kaum Quraisy. Bahkan dengan ancaman nyawa. Perjuangan keras lahir dan batin dilaksanakan dengan gigih. Itulah jihad fii sabilillah, berjuang di jalan Allah secara sungguh-sungguh di segala lapangan kehidupan untuk tegaknya Islam dan kehidupan yang dicita-citakan Islam.
Dalam berjuang, termasuk melalui pergerakan Islam saat ini, tidak dikenal kata menyerah dan memerlukan komitmen lillahi-ta’ala, ikhlas semata-mata karena Allah. Berjuang jangan yang ringan-ringan, justru ujiannya di kala menghadapi masalah, tantangan, ancaman dan apa pun yang terasa berat. Allah berfirman, yang artinya : “Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. at-Taubah [9] : 41). [islamaktual/sm/a.nuha]