Politik Luar Negeri AS Pasca Revolusi Arab

 

Ust. Fahmi Salim,Lc, MA.
Anggota MUI Pusat 
Anggota MTT PP Muhammadiyah
Peneliti Pusat Kajian Timur Tengah FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
 
Seperti sudah diprediksi, perkembangan realitas politik di Arab dan perubahan konstelasi status quo pascarevolusi memaksa Pemerintah AS untuk mengubah strategi politik luar negerinya, setidaknya dalam jangka pendek. AS biasanya haus darah dan naik pitam soal isu-isu keamanan strategis di Timur Tengah. Namun, dalam isu nuklir Iran, misalnya, AS kini tidak mau mengambil opsi serangan militer seperti yang diinginkan oleh ‘watch dog’ AS di kawasan yang bernama Israel.Pengaruh revolusi Arab terhadap perubahan strategi politik AS di Timur Tengah cukup kentara dalam kasus Iran dimana AS menghadapi posisi dilematis yang sangat besar.

Ujian Berat Politik AS

Pernyataan Menteri Pertahanan AS Leon Panetta, seperti dilansir media-media internasional pada Jumat (11/11), bahwa AS memilih sanksi ekonomi ketimbang serangan militer kepada Iran tak hanya menampik spekulasi tentang seranganmiliter terhadap Iran, tetapi juga menyingkap perbedaan prioritas agenda Pemerintah AS dan Israel.

Hal itu terjadi lantaran perbedaan kepentingan AS dan Israel di kawasan itu akhir-akhir ini. Prioritas Israel adalah fokus untuk menggagalkan ambisi Iran memiliki senjata nuklir. Ambisi Iran ini tentu saja bakal menciptakan perimbangan kekuatan nuklir utama di Timur Tengah; dimana Israel adalah satu-satunya Negara nuklir di kawasan. Selain juga dipandang sebagai ancaman serius terhadap keamanan nasional Negara Zionis. Adapun AS kini lebih utamakan mempertahankan kepentingannya atau bahkan kalau bisa meningkatkan pengaruhnya di dunia Arab pascarevolusi.

Karena itu kebijakan atau manuver politik AS kini lebih diarahkan pada upaya menggandeng pemain-pemain baru Negara Arab dan membangun kemitraan (partnership) dengan mereka yang baru berhasil menumbangkan rezim lama melalui revolusi rakyat, seperti di Tunisia, Mesir, dan Libya. Selain itu, AS juga tampak sedang sibuk mengamankan peralihan kekuasaan di Negara Arab yang dilanda revolusi rakyat seperti Suriah dan Yaman.

Dengan kata lain, fokus kebijakan AS di Timur Tengah adalah bagaimana Negara-negara Arab yang dilanda revolusi rakyat itu tidak menjelma menjadi Iran kedua atau jatuh ke pangkuan ekstrimis seperti Tanzim Al Qaeda. Kedua kemungkinan itu amat sangat menakutkan bagi AS dan semakin menambah beban ongkos militer dan mengancam keselamatan pasukan AS yang selama ini beroperasi di Irak dan Afganistan.

AS menyadari jika ada agenda lain seperti aksi militer terhadap Iran dalam waktu dekat, bisa mengganggu atau bahkan menggagalkan proyeknya di dunia Arab saat ini, setidaknya hingga Maret 2012 nanti dimana konfigurasi politik Arab sudah terpetakan lebih jelas. Para pejabat keamanaan dan intelejen AS pasti terus memantau kondisi Arab pascarevolusi. Pemilu terbaru Tunisia telah mengantarkan partai Ennahda yang berbasis Islam sebagai pemenang, dan Mesir pada 28/11 akan menggelar pemilu parlemen yang diprediksi kubu Islamis juga akan menang.

Praktis mulai bulan Oktober tahun ini hingga Maret 2012, suhu politik Arab tengah meninggi sehubungan rangkaian pemilu demokratis pertama setelah tumbangnya rejim-rejim Arab. Ini tentu saja menjadi perhatian serius AS, sehingga opsi serangan militer atas Iran -yang menurut laporan IAEA (Badan Pengawas Atom dan Nuklir PBB) terdapat indikasi program nuklir Iran mengarah pada pembuatan bom nuklir dan rudal balistik berhulu ledak nuklir-, diabaikan oleh AS.

Itulah yang bisa ditafsirkan dari bagian lain pernyataan Menhan Panetta, yangmantan Direktur CIA, bahwa serangan militer ke Iran akan memberi dampak serius untuk kawasan dan kekuatan AS di Timur Tengah.

Dalam konteks itu, pemerintah AS mengirim delegasi tingkat tinggi ke Israel pekan depan yang dipimpin Deputi Menteri Keuangan AS Urusan Intelejen Finansial dan Terorisme David S Cohen. Kunjungan Cohen ke Israel itu semakin jelas menunjukkan bahwa AS fokus menjatuhkan sanksi ekonomi yang melumpuhkan Iran, bukan opsi militer seperti kemauan Tel Aviv.

Namun, pilihan sanksi ekonomi atas Iran juga bukan pilihan yang mudah bagi AS. Pilihan itu pasti mendapat tantangan serius dari China dan Rusia. China misalnya, secara tersirat keberatan dengan rencana penerapan sanksi ekonomi baru terhadap Iran oleh pihak Barat, seperti disampaikan jubir Kemenlu China dalam jumpa pers rutin di Beijing, Jumat (11/11). China dan Rusia masih menjalin hubungan baik dengan Iran, terutama bidang politik dan ekonomi, meski kedua Negara itu masuk dalam inisiatif P5 plus 1, yakni enam Negara kekuatan utama dunia yang berunding dengan Iran untuk memastikan program nuklir Iran tidak bertujuan membuat senjata.

Buat China, Iran adalah sangat strategis bagi pembangunan ekonominya. Iran menjadi pemasok minyak mentah terbesar ketiga untuk China, dan telah mengirim tak kurang dari 20,3 juta ton minyak ke Negara Tirai Bambu itu sepanjang tahun hingga September ini. Apabila sanksi ekonomi DK PBB yang lebih luas terhadap Iran jadi dijatuhkan, maka seluruh Negara di dunia, termasuk China dan Rusia, wajib mematuhi resolusi tersebut. Dampaknya, hubungan bisnis antara China dan Iran pasti terganggu, terutama pasokan minyak yang sangat dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi China. Para pejabat dan diplomat China pasti akan menghadang upaya sanksi ekonomi yang lebih luas atas Iran.

Dalam konteks yang sama, justru di tengah tekanan Barat pasca laporan terbaru IAEA, Iran dan Rusia telah menyelesaikan perjanjian keamanan strategis yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan lebih lanjut antara kedua negara. Perjanjian ini baru saja ditandatangani pada Jumat (11/11) oleh Deputi Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran Ali Baqeri dan rekan Rusia-nya Yevgeny Lukyanov. “Dokumen ini menggabungkan berbagai aspek kerjasama antara dewan keamanan nasional Iran dan Rusia pada sektor keamanan yang berbeda, ekonomi, politik dan intelijen,” kata Baqeri kepada IRNA. Jelas sekali sinyal yang dikirim bahwa Rusia menentang sanksi baru atas Iran terkait laporan IAEA tersebut.

Sebelumnya AFP pada 8/11 mengutip Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, yang mengemukakan, setiap rencana serangan militer terhadap Iran akan menjadi sebuah kesalahan yang sangat serius dan memiliki konsekuensi yang tidak terduga.
Serangan militer atas Iran juga akan merugikan perekonomian dunia, sebab Iran mengancam akan membalas setiap serangan dengan memblokir Selat Hormuz, sehingga akan memotong jalur 40 persen dari pasokan minyak dunia yang melintasi perarian itu setiap harinya.

Memanfaatkan Islamis Arab

Sebagaimana diketahui dari hasil pemilu Tunisia, akhir Oktober lalu, partai Islamismoderat Ennahda menang. Ini semakin membuat AS waspada jika melakukan spekulasi baru, seperti opsi militer ke Iran. Sama halnya dengan pemilu parlemen di Mesir yang akan digelar 28/11 , Partai Kebebasan dan Keadilan, sayap politik Ikhwanul Muslimin, yang diprediksi menang semakin menambah kehati-hatian AS. Spekulasi besar apa pun bentuknya bisa kontraproduktif jika tak mendapat simpati kubu Islamis yang mulai berkuasa di sejumlah Negara Arab.

Maka bisa dipahami sikap Kemenlu AS yang kian aktif mendekati kubu Islamis di dunia Arab. Menlu AS, Hillary Clinton, Rabu (9/11), menegaskan bahwa AS siap bekerja sama dengan kubu Islamis di Tunisia dan Negara Arab lain.

Pemerintah AS menyadari bahwa transisi demokrasi di Arab harus melibatkan kubu Islamis moderat. Dalam konteks kepentingan jangka panjang AS, partisipasi kubu Islamis ‘moderat’ itu strategis untuk bisa menjadi penyangga AS melawan pengaruh tanzim Al Qaeda dan Iran di kawasan. AS rupanya sudah berkalkulasi politik sendiri bahwa kepentingan AS di Timur Tengah yang terdesak oleh aksi-aksi militer Al Qaeda dan provokasi Iran, akan semakin sulit dipertahankan jika kubu Islamis yang berkuasa di Arab pascarevolusi juga ikut memusuhi AS.
Strategi AS itu terungkap dari pernyataan Deputi Menlu AS urusan Timur Tengah, Tamara Wittes, kepada harian Al Hayat berbahasa Arab yang berbasis di London, bahwa pemerintahan Presiden Barack Obama tengah melakukan kontak intensif dengan Ikhwanul di Mesir. Menurutnya, AS telah memulai kontak sejak tahun 2007 silam, dan semakin intensif sejak revolusi mesir.

Menurut Wittes, AS dan semua kekuatan politik di Tunisia dan Mesir, termasuk Ikhwanul, sesungguhnya memiliki banyak titik temu seperti pentingnya stabilitas, perdamaian, kawasan bebas nuklir dan pencegahan radikalisme. Wittes berharap partai-partai Islamis di Arab bisa mengikuti jejak Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki dalam membangun demokrasi di masing-masing Negara.

Kesimpulan

Dengan segala pertimbangan itu, AS menghadai situasi dilematis. Pilihan serangan militer ataupun sanksi ekonomi yang luas, sama-sama pil pahit yang harus ditelan oleh AS. Di tengah perubahan konfigurasi politik di Arab pascarevolusi dan situasi geopolitik pemain internasional seperti China dan Rusia, dalam kasus isu Iran, AS tak punya banyak pilihan untuk bermanuver.

Kekuatan baru kubu Islamis di Negara-negara Arab harus sadar dan tepat membaca dilema politik luar negeri AS saat ini. Jangan sampai mereka menjadi ‘kacung’ dan dimanfaatkan ‘gratisan’. Konfigurasi dan postur politik kubu Islamis di Arab yang kini naik pamor harus dimainkan oleh mereka dengan maksimal untuk menekan AS dan Israel agar segera menghentikan kezaliman atas Palestina dan negeri-negeri muslim lainnya. Dengan persatuan internal dan kemitraan strategis bersamakekuatan regional seperti Turki dan Iran, dan kekuatan global seperti China dan Rusia, diharapkan dapat menciptakan status quo baru di Timur Tengah; di mana Zionis Israel semakin terkucil dan fajar kebangkitan Islam hakiki bisa terbit dari Timur Tengah, agar perdamaian dunia bisa ditegakkan dengan wajar. Wallahu A’lam