MUI, Muhammadiyah dan NU Tolak Perubahan Batas Usia Nikah

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
KH Amidan menilai bahwa batas minimum usia perkawinan di Indonesia
sudah terakomodir dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Batasnya adalah 18 tahun untuk laki-laki, dan 16
tahun untuk Perempuan.
Sebab berdasarkan kajian para ahli hukum, maupun hukum Islam, rumusan
pasal tersebut juga tak bertentangan dengan HAM. Justru, MUI menyebut
dalil para pemohon yang menyoal batas minimum kawin perempuan, sangat
tidak masuk akal. Begitu juga dengan data yang dipakai para pemohon.
Apalagi, sebelum berlakunya UU tersebut, perempuan di tanah air banyak
yang menikah di usia dini.
“Karena itu, penetapan usia sebagaimana Pasal 7 ayat 1 sudah
dirumuskan agar tidak terjadi kesenjangan yang jauh menurut agama
Islam,” kata Amidan dalam ketika memberikan keterangan dalam sidang uji
materi di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (2/12/2014). Karena itu dia
meminta hakim menolak permohonan para pemohon.
Sementara Pengurus Besar Nadhatul Ulama (NU) dan Pengurus Pusat Muhammadiyah
meminta keberlakuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat  (2) UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan tetap dipertahankan. Sebab, rumusan batas usia
perkawinan bagi wanita dan laki-laki itu sudah merupakan kesepakatan
ulama dan disetujui pembuat undang-undang.

Pernyataan itu disampaikan Rais Syuriah PBNU Ahmad Ishomuddin saat
memberi keterangan sebagai pihak terkait dalam sidang lanjutan pengujian
Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Ishomudin meminta MK agar Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU
Perkawinan tidak perlu diubah. Sebab, para ulama NU, Muhammadiyah, MUI
sudah menyepakati dan menetapkan batas usia nikah bagi perempuan 16
tahun saat pembahasan RUU Perkawinan di DPR. Tokoh agama lain juga berbeda sikap atas pembatasan usia nikah tersebut.

Ishomuddin menuturkan penetapan batas usia perkawinan bagi laki dan
perempuan itu mengacu pada pendapat mazhab Imam Syafi’i yang menentukan
batas usia kedewasaan seseorang yakni 15 tahun bagi perempuan dan 19
tahun bagi laki-laki. “Penetapan batas usia itu diambil dari pandangan
Imam Syafi’i karena mazhab beliau sangat terkenal di Asia Tenggara.
Wajar kalau para ulama menetapkan 16 tahun,” tegasnya.

Salah satu pertimbangan penetapan batas usia nikah bagi perempuan itu
disebabkan maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja yang
mengakibatkan kehamilan di kalangan remaja saat proses pembentukan UU
Perkawinan, bahkan hingga saat ini. Menurut Ishomuddin, menaikkan batas
usia pernikahan menjadi 18 bagi wanita mirip atau dapat diartikan menunda-nunda pernikahan.

“Padahal, pernikahan merupakan solusi atau jalan keluar untuk
menghindari pergaulan bebas dan perzinahan di kalangan anak remaja saat
ini,” lanjutnya.

Ishomuddin menjelaskan di negara-negara lain mayoritas berpenduduk
Muslim memang ada yang menetapkan batas usia pernikahan 18 tahun bagi
wanita. Ulama di negara itu memiliki pertimbangan sendiri. Di Indonesia,
batas usia 16 tahun juga sudah didasarkan pada pertimbangan ulama, yang
kemudian diterima pembentuk Undang-Undang.

Perwakilan Muhammadiyah mengakui mazhab dalam Islam berbeda-beda
menentukan batas usia kedewasaan (baligh). Ini disebabkan perbedaan
lingkungan, geografis, dan sebagainya yang bisa mempengaruhi kedewasaan
seseorang. Namun, batas awal mulainya baligh bagi laki-laki telah
berumur 12 tahun dan wanita sudah berusia 9 tahun. Tetapi, batas akhir
usia dewasa para ulama berbeda pendapat.

“Imam Abu Hanifah menetapkan kedewasaan bagi laki-laki ketika sudah
mencapai 18 tahun dan usia 17 tahun bagi perempuan. Sedangkan Imam
Maliki, Syafi’i, dan Hambali menentukan batas usia baligh bagi
laki-laki dan perempuan 15 tahun,” ujar Sekretaris Majelis Hukum dan HAM
PP Muhammadiyah, Ibnu Sina Chandranegara dalam paparannya.

Menurutnya, ketentuan pernikahan termasuk batas usia tetap sangat
penting diatur dalam peraturan perundanga-undangan. Tujuannya, agar
pihak yang akan menikah sudah memiliki kematangan berpikir dan
menghindari terjadianya keretakan kehidupan rumah tangga. “Pasangan
tersebut diharapkan memiliki kesadaran dan pengertian lebih matang
mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir
dan batin,” terangnya.

Karena itu, baik PBNU maupun Muhammadiyah menganggap Pasal 7 ayat (1),
(2) UU Perkawinan sama sekali tidak bertentangan UUD 1945. Karenanya,
mereka meminta MK menolak permohonan uji materi ini. “Atas dasar itu,
kami minta majelis MK untuk menolak permohonan pengujian UU Perkawinan
itu,” ujar Ibnu Sina.

Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, Zumrotin dan Koalisi
Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak mempersoalkan batas usia
perkawinan bagi wanita, yakni 16 tahun melalui pengujian Pasal 7 ayat
(1), (2) UU Perkawinan. Mereka berpandangan norma Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan bertentangan dengan konstitusi karena menjadi landasan dan
dasar hukum pembenaran perkawinan anak yang belum mencapai 18 tahun.

Padahal, usia kedewasaan jika seseorang sudah mencapai usia 18 tahun
sesuai Pasal 26 UU Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat
(1) khususnya frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang tidak dimaknai atau dibaca “18 tahun (delapan belas) tahun”.
Namun, pemohon Koalisi Indonesia meminta MK membatalkan Pasal 7 ayat (2)
karena bertentangan UUD 1945. (sp/hukumonline/tribbun)