Muhammadiyah Kembali Tegaskan Penolakan pada UU Ormas

Pemberlakuan Undang Undang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) dinilai membelenggu kebebasan masyarakat untuk berserikat dan berkumpul. UU Ormas sarat akan kepentingan politik pemerintah guna mengawasi dan mengendalikan organisasi kemasyarakatan.


Demikian hal tersebut mengemuka dalam diskusi publik Pengurus Pusat Muhammadiyah bertema Dari Undang – Undang Ormas Ke Rancangan Undang – Undang Perkumpulan di Kantor PP Muhammadiyah di Jalan Menteng Raya, Jakarta, Rabu (17/12/2014).


“Muhammadiyah sejak awal sangat gusar dengan adanya RUU Ormas yang disahkanpemerintah,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.


Menurut Din, pemberlakuan UU itu seolah mengembalikan masyarakat ke era rezim otoriter di masa lalu. Pasalnya, lembaga masyarakat hanya dijadikan objek pengaturan pemerintah bukan sebagai rekan dalam membangun bangsa.


“Oleh karena itu, sikap Muhammadiyah menolak UU Ormas dan mendukung diterbitkan UU perkumpulan,” kata Din. Pilihan terakhir yang diambil Muhammadiyah, tuturnya, adalah dengan menggugat UU itu ke Mahkamah Konstitusi. “Alhamdulillah pemeriksaan selesai, tinggal menunggu sidang keputusan MK,” ucapnya.


Hal senada disampaikan Eryanto Nugroho dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PHSK). Eryanto mengatakan, proses pembentukan UU Ormas tidak memenuhi asa pembentukan peraturan perundangan – undangan yang baik. Soalnya, pemerintah dan DPR tetap mengesahkannya kendati organisasi masyarat seperti Muhammdiyah menolak dan Nahdatul Ulama meminta ditunda. “Jadi yang mau diatur ini siapa,” ujar Eryanto. Tak hanya itu, dia mengatakan, UU Ormas mengedepankan pendekatan politik.


“Kelihatan sekali organisasi masyarakat madani ini dipukul rata kemudian didekati dengan politik,” ucapnya. Hal itu terlihat dari dominannya Kesbangpol sebagai bagian dari Kementerian Dalam Negeri dalam mengatur legalitas dan pengawasan ormas.