Kehidupan Ummat Islam Indonesia di Jepang [ Toleransi Minoritas ]

Oleh Gilig Pradhana
Hal yang paling saya syukuri adalah saya diijinkan Allah menjadi Muslim. Dan melalui Islam Allah mengajari saya bersyukur akan banyak hal.
Seketika menginjakkan kaki di negeri Sakura saya benar-benar bersyukur bahwa saya dilahirkan di Indonesia. Tidak pernah saya merasa sesemangat ini memperkenalkan Indonesia pada setiap kunjungan ke sekolah-sekolah di Jepang, bajunya, makanannya, penduduknya, bahkan saat seorang teman diminta sensei menyanyikan lagu nasional, sayalah yang lari ke depan kelas lalu menarik teman saya yang malu-malu itu untuk menyanyi bersama, jadilah kami satu-satunya mahasiswa yang koor berempat menyanyi “Indonesia Raya”.
Saya bersyukur, sebab teringat sewaktu sekolah dulu menyanyikan lagu itu tidak sekhidmat sekarang, tatkala berada di seberang. Di SMP, ketika jam pertama dimulai, ketua kelas memimpin doa, yang tak lain hanyalah “Berdoa menurut agama dan keyakinannya masing-masing, berdoa mulai!” Sebagai lulusan SD Muhammadiyah, saya bisa mengingat doa sederhana “Robbi zidni ‘ilma war zuqni fahma” yang dulu biasa dibacakan keras secara serentak. Di SMP negeri doa berbahasa Arab itu tidak dilafadzkan bersama, namun saya tidak mengeluh, karena saya sudah bisa berdoa sendiri. Syukurlah orang tua saya mengirim saya mengaji, bahkan mampu mendatangkan guru ngaji, sehingga saat di STM saya bisa mengaji sendiri meski tinggal berpisah jauh dari mereka. 
Suasana sangat jauh berbeda ketika saya harus mengajak istri dan ketiga anak saya tinggal di puncak pegunungan di kota Kato, provinsi Hyogo, Jepang. Jumlah Muslim hanya bisa dihitung sebelah tangan, seorang dari Brunei, seorang lagi dari Uzbekistan. Kato sangat kecil sehingga perbedaan cara berpakaian bisa menarik perhatian. Seorang mahasiswi Muslimah yang berbelanja di supermarket mengaku pernah mendapatkan tatapan “aneh” dari orang Jepang, tak lain karena jilbabnya. Dan yang saya syukuri adalah, pertanyaan “Apakah tidak panas memakai penutup kepala?” tidak lagi dianggap diskriminasi, malah kesempatan untuk memperkenalkan agama. 
Jepang adalah negara sekuler yang melarang pengajaran agama di sekolah-sekolah, namun mayoritas penduduknya berakidah sinkretis Sinto-Budha terkadang Kristen. Maksudnya, kalau berdoa mereka pergi ke kuil, kalau menikah ke gereja. Sedikit banyak filosofi keagamaan mereka masuk dalam pelajaran. Misalnya saat piket kebersihan, mengepel merupakan ritual penting dalam salah satu ajaran agama Jepang. Oleh karena itu murid harus melakukannya dengan tangan dan tanpa berbicara sepatah kata.
Bayangkan jika anak-anak kami sekolahkan di sana, entah berapa banyak pelajaran akidah dan paham-paham asing yang didoktrinkan setiap hari? Tentu bagi mereka materi tersebut dianggap pendidikan yang diperlukan untuk perkembangan anak didiknya, bukan dimaksudkan untuk mendiskreditkan atau membully kaum minoritas seperti anak-anak saya. Syukurlah Allah menguatkan saya dalam prasangka baik tersebut. 
Begitu pula makanan yang dijatah dari sekolah, yang kami tidak tahu mengandung makanan haram. Kami hanya meminta pengertian sekolah untuk menghindarkan anak-anak dari babi dan alkohol, namun akhirnya kami berinisiatif untuk membekali anak-anak dengan bento (bekal makanan dari rumah) yang dimasak sendiri. Mungkin ini juga patut disyukuri, sebab jadinya sebagai orang tua kami menjadi lebih rajin di pagi hari untuk menyiapkan makan pagi sekaligus siang. Berulang kali kami berkomunikasi dengan guru untuk meminta ijin tidak ikut serta dalam kegiatan yang berbau keagamaan. Kadang kami terkejut ketika anak pulang dengan membawa tradisi baru, seperti mengatupkan telapak tangan saat duduk di meja makan, membungkukkan badan, dan berdoa, “itadakimasu” Lalu anak-anak kami ajari untuk mendahulukan bismillah, meskipun kepada gurunya sekolah kami tidak meminta untuk menghapuskan tradisi tersebut. 
Ya, kami Cuma meminta dikecualikan, kami tidak meminta sekolah memberikan persamaan hak, dengan menyediakan makanan halal khusus untuk anak-anak kami, menghias kelas saat idul fitri sebagaimana mereka saat natal, tidak. Kami membiasakan dengan budaya bangsa negeri matahari terbit ini, selama tidak dilarang dalam agama Islam.
Tidak ada musholla atau masjid yang bisa kami datangi, seringkali kami menebar sajadah di trotoar, gang kecil, atau sudut ruangan. Kompas untuk menunjukkan arah kiblat senantiasa kami siapkan dalam tas kemanapun pergi. Kami syukuri itu semua sebagai bagian dari perjuangan. 
Keberadaan masjid Kobe sebagai yang tertua di Jepang adalah anugerah luar biasa. Mahasiswa dan pekerja Muslim bahkan puluhan kilometer jauhnya datang untuk meramaikannya, termasuk saya yang harus menempuh dua jam perjalanan menggunakan bus yang tidak murah, 2.500an yen pulang pergi untuk seorang. Namun berkesempatan bertemu dengan Allah lagi-lagi adalah kesyukuran luar biasa. Masjid di Jepang dilarang mengumandangkan adzan hingga ke luar bangunan. Di luar masjid Kobe terdapat dua intel yang rajin datang di hari Jumat untuk mengawasi, terkadang saya sapa mereka, “Konnichiwa!” dan mereka pun tersenyum. Kami maklum tidak bisa seperti kuil-kuil yang meriah membludak saat hari besar mereka. Seperti kaum minoritas di tanah air, kami berusaha untuk tidak meminta pengkhususan, kami harus tahu diri. Mungkin ini yang disebut toleransi? ataukah sikap realistis? Jikalau demikian toleransi adalah sikap realistis yang sangat indah.(sp)