Hikmah Teladan Istri Firaun

Oleh: M Rizal Fadillah
Seorang
teman pejabat pemda mendapat informasi akan dipromosikan untuk memimpin
dinas yang dikenal “basah”. Ketika disampaikan kepada keluarganya,
ternyata istrinya berkeberatan. Dengan baik-baik katanya sang istri
mengemukakan kekhawatiran dirinya kalau-kalau sang suami tidak tahan
menghadapi godaan jabatan.
Awalnya teman ini bersikukuh
untuk menerima jabatan yang diperkirakan dapat meningkatkan
kesejahteraan diri dan keluarganya. Namun, kegigihan sang istri juga
luar biasa. Dengan berat hati, ia pun mengikuti saran istrinya yang
memang menjadi aktivis pengajian majelis taklim ibu-ibu.
Apa
yang dikhawatirkan ternyata terbukti. Menurut penuturannya, setahun
kemudian rekannya yang menjabat di dinas tersebut mengahadapi persoalan
serius. Dugaan penyimpangan hukum tindak pidana korupsi.
Teman
ini kini membenarkan apa yang pernah dicegah oleh istrinya.
Berandai-andai tentang kemungkinan hal sama yang akan menimpa dirinya
jika ia pun menjabat di sana. Ia sangat bersyukur.
Suami
merupakan kepala keluarga yang memimpin rumah tangga menuju keselamatan
dan kesejahteraan hidup. Kekuasaan suami menurut agama juga cukup
besar, keridhaan Allah ada pada izin suami, taat dan patuh pada suami
termasuk kemuliaan istri.
Tentu saja kekuasaan itu
dijalankan untuk hal-hal yang baik dan maslahat. Akan tetapi, dalam hal
sebaliknya, yakni perilaku suami kurang bagus, berbuat dosa, serta
mencari rezeki yang tidak halal dan membahayakan keberkahan anak dan
istrinya, sang istri bisa menjadi kekuatan pencegah dan penangkal.
Di
samping doa yang dipanjatkan, upaya dalam bentuk kata dan perbuatan
bisa mencegah kemungkaran. Sebenarnya, suami dan istri itu mitra yang
“saling memimpin” dan “saling menolong” sebagaimana Firman Allah dalam
QS at-Taubah [9]: 71, “ Dan orang-orang beriman lelaki dan perempuan,
sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian lainnya. Mereka
(sama-sama) menyuruh yang makruf dan mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan
rasul-Nya. Mereka (sama-sama) mendapat kasih sayang dari Allah.
Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”.
Sama
dengan status suami, istri berfungsi juga sebagai pemimpin dan penolong
suami, bermitra dalam beramar makruf nahi munkar, berkewajiban sama
untuk beribadah kepada Allah. Lalu jaminan Allah, baik istri maupun
suami yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya keduanya berhak atas rahmat
dan kasih sayang Allah SWT.
Ini merupakan hakikat asas
kesetaraan gender dalam makna agama. Hal itu termasuk ketetapan dari
Allah yang Mahabijaksana. Sebaliknya, jika suami tetap dalam posisi yang
memaksa, menggunakan kedudukannya untuk berbuat durhaka, serta
mengabaikan ajaran agama, istri berkewajiban untuk mengingatkan dan
meluruskan.
Di samping kekuatan autoritatif yang
dimiliki suami, nyatanya ada titik-titik lemah yang hanya diketahui oleh
sang istri. Istri yang cerdas dan kuat beragama akan mampu mengarahkan
langkah ke arah keselamatan bersama.
Masalahnya jika
upaya mencegah tidak mendapatkan hasil dan keberhalaan menguasai prinsip
hidup suami, istri tak perlu kecil hati. Ada contoh ketidakberdayaan
yang berakibat pada kemuliaan, yakni teladan dari Asiah binti Muzahim,
istri Fir’aun.
Doa Asiah cukup mewakili kehebatan
dirinya itu, “Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi
orang-orang yang beriman, ketika ia berkata, ‘Ya Rabbku, bangunkanlah
untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari
Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim”
(QS at-Tahrim [66]:11).
Asiah adalah permaisuri, istri
raja yang memilih hidup yang jelas dan terang di tengah gelapnya jalan
hidup suami. Pantaslah jika Rasulullah SAW memuji Asiah di samping
Khadijah, Fatimah, Maryam sebagai orang yang paling berbahagia di dunia
dan akhirat. Maka, berbahagialah istri yang mencegah suami ke jalan
kemungkaran.(rol/sp)