Benarkah Muhammadiyah Pelihara Kebencian dan Permusuhan? Tanggapan untuk Ali Shodiqin

Ada status fb yang ditulis Ali Shodiqin penulis buku “Muhammadiyah itu NU!” yang kami perlu tanggapi dan luruskan. Berikut statusnya:
Ingat adegan pembongkaran surau Kiai Dahlan dalam film Sang Pencerah? Kisah penistaan kiai yang saat itu berusia 30 tahun itu dijadikan rujukan sebuah buku saku yang dibagikan di acara bedah buku saya. Hebat bukan? Orang lagi bicara diganggu dengan terang-terangan seolah-olah kata-kata saya sangat mengkhawatirkan. Hebat ya? Heroik betul sambutannya kepada narasumber yang sudah 2 hari 2 malam tidak tidur mendengar nasihat dari sekian banyak kiai. Intinya buku saku itu mempersalahkan NU. Astaghfirullah. Jangankan NU yang didirikan tahun 1926, saat pembongkaran surau itu Muhammadiyah (didirikan 1912) usianya minus 14 tahun, alias belum lahir. (Artinya Muhammadiyah baru didirikan 14-an tahun SETELAH pembongkaran itu terjadi. Jadi belum ada Muhammadiyah dan NU). Kisah itu dijadikan semangat untuk menolak buku Muhammadiyah itu NU! Katanya orang NU selalu berusaha menyakiti sejak dulu kala. (Mereka menuduh yang membongkar itu orang NU) Saya sangat terkejut membacanya dan sangat menyayangkan dramatisasi kisah pembongkaran langgar kidul. Kisah itu mengoyak rasa persatuan umat Islam, dan tidak patut dibesar-besarkan. Kisah derita seperti itu juga banyak dialami kiai lain yang ditolak masyarakatnya, tapi mereka akhirnya bisa diterima dengan mengedepankan ketulusan dan keikhlasan dalam berdakwah. Itu bukan cuma milik Muhammadiyah. Tapi kisah derita itu jangan dijadikan dendam sejarah. Dan semoga tidak dimuat di kurikulum. Sebab itu hanya melahirkan keputusasaan dan permusuhan. Itu mirip cara-cara Nasrani dan Syi’ah. Kisah penyaliban Yesus Kristus menghidupkan permusuhan panjang hingga kini. Demikian pula kisah penderitaan sahabat Ali dan keturunannya membuat kaum Syiah begini. Hentikanlah bibit-bibit kebencian yang ditanamkan turun-temurun itu. Kita satu bangsa, satu negara. Mari kita membangun dengan menghilangkan kebencian di antara kita. Kita pilih kata2 yang sejuk.
Saya akan coba ulas satu persatu hal-hal yang kurang difahami oleh Ali Shodiqin, mudah-mudahan tulisan ini bisa mengklarifikasi kegagalfahaman saudara Ali Shodiqin.
Ingat adegan pembongkaran surau Kiai Dahlan dalam film Sang Pencerah? Kisah penistaan kiai yang saat itu berusia 30 tahun itu dijadikan rujukan sebuah buku saku yang dibagikan di acara bedah buku saya. Hebat bukan? Orang lagi bicara diganggu dengan terang-terangan seolah-olah kata-kata saya sangat mengkhawatirkan. Hebat ya? Heroik betul sambutannya kepada narasumber yang sudah 2 hari 2 malam tidak tidur mendengar nasihat dari sekian banyak kiai. Intinya buku saku itu mempersalahkan NU.
Pertama, apa isi tulisan buku saku yang dipermasalahkan oleh Ali Shodiqin tersebut?  Isi buku saku tersebut dapat dibaca disini disini dan disini. Penulis tulisan pertama adalah seorang mahasiswa PUTM bernama Niki Alma Fauzi menanggapi buku “The Untold Story of KH. Ahmad Dahlan”. Tulisan kedua dan ketiga dalam buku saku tersebut adalah saya, dalam tulisan tersebut saya menanggapi buku “Muhammadiyah itu NU!”.
Sekarang mari kita ulas, kenapa saya menceritakan kembali soal pembongkaran surau kyai Dahlan? Apa latar belakangnya? Apakah karena saya benci dengan NU? Saya mengutip kisah itu bukan ingin membuka luka lama, namun ada sebabnya. Tidak ada asap kalau tidak ada api. Kita ketahui bahwa memang secara pemahaman, NU dan Muhammadiyah memiliki landasan epistemologis yang berbeda dalam memahami nash-nash keagamaan. Karena landasan epistemologisnya berbeda, maka produk pemahamannya berupa fatwa-fatwa keagamaannya pun berbeda. Dalam lingkup grassroot selalu ada ketegangan dikarenakan dinamika wacana keagamaan yang berbeda. Namun secara umum, ketegangan tersebut tidak sampai menimbulkan konflik yang hebat seperti halnya protestan dan katolik beberapa abad yang lalu. Jadi secara umum hubungan NU dan Muhammadiyah ya baik-baik saja. Masing-masing sudah memahami persamaan dan perbedaan antar keduanya.
Nah, di saat hubungan NU dan Muhammadiyah baik-baik saja, tiba-tiba ada beberapa pihak yang kemudian mengklaim bahwa majelis tarjih yang ada sekarang itu tidak sesuai dengan ajaran kyai Dahlan. Hal tersebut didasarkan pada kitab fiqh awal Muhammadiyah. Lebih parahnya pihak-pihak ini seolah-olah ingin mengatakan bahwa ajaran Muhammadiyah sekarang ini tidak asli lagi melainkan sudah terpengaruh dengan ajaran wahabiyah. Dan puncaknya mereka mengatakan bahwa Kyai Dahlan itu sebenarnya NU! dan Muhammadiyah itu NU!
Nah tentu saya perlu merespon klaim semacam ini, dikarenakan saya tidak terima. Tentu saya punya argumentasi mengapa klaim di atas perlu diluruskan, arugmen tersebut sudah saya paparkan dalam tulisan di buku saku tersebut. Lantas kenapa saya mengangkat lagi kisah pembongkaran langgar Kyai Dahlan? Hal itu bukan karena saya benci dengan NU! Tapi saya benci dengan orang-orang yang dengan kurang ajar mengklaim Kyai Dahlan itu seolah2 NU! Harap dibedakan. Coba bayangkan sahabat dan murid kyai Dahlan yang semenjak awal ikut susah-susah bersama kyai Dahlan membangun Muhammadiyah dituduh pengkhianat kyai Dahlan, sementara orang yang dalam sejarah pernah menyakiti kyai Dahlan malah dengan mudah mengklaim mengikuti ajaran kyai Dahlan yang otentik? Itu saja alasannya. Jadi buku saku tersebut tidak mempersalahkan NU, hanya mempersalahkan oknum yang mengklaim Kyai Dahlan bagian dari mereka.

Astaghfirullah. Jangankan NU yang didirikan tahun 1926, saat pembongkaran surau itu Muhammadiyah (didirikan 1912) usianya minus 14 tahun, alias belum lahir. (Artinya Muhammadiyah baru didirikan 14-an tahun SETELAH pembongkaran itu terjadi. Jadi belum ada Muhammadiyah dan NU). Kisah itu dijadikan semangat untuk menolak buku Muhammadiyah itu NU! Katanya orang NU selalu berusaha menyakiti sejak dulu kala. (Mereka menuduh yang membongkar itu orang NU) Saya sangat terkejut membacanya dan sangat menyayangkan dramatisasi kisah pembongkaran langgar kidul. Kisah itu mengoyak rasa persatuan umat Islam, dan tidak patut dibesar-besarkan.

Lagi-lagi terlihat Ali Shodiqin gagal memahami maksud saya. Padahal sebenarnya dalam buku saku tersebut sudah dijelaskan. Begini, saya beri ilustrasi, kalau ada tetangga kita yang tahlilan, dan yasinan, secara reflek kita sebut oh dia itu NU. Apa mesti tetangga kita itu aktif jadi pengurus organisasi NU? Tidak mesti. Setiap orang yang mengamalkan amalan-amalan yang biasa dilakukan oleh nahdliyin, walau dia tidak jadi pengurus organisasi NU, ya dia tetap NU.
Nah, Ali Shodiqin berusaha mengaburkan hal ini dengan fakta berdirinya organisasi NU pada tahun 1926. Organisasi NU memang baru didirikan tahun 1926, namun faham NU sudah dianut oleh mayoritas masyarakat muslim Indonesia semenjak wali songo datang. Jadi yang kami maksud NU di sana bukan organisasinya, namun pemahaman keagamaannya. Lantas kalau bukan orang yang berpemahaman NU yang membongkar langgar kyai Dahlan terus siapa? Kaum abangan atau Belanda? Jelas itu fakta sejarah.
Dalam tulisan di atas Ali Shodiqin menyayangkan kita yang mendramatisasi kisah tersebut. Sayangnya dalam statusnya tersebut malah dia yang mendramatisasi kondisi sebenarnya. Dalam buku saku tersebut sama sekali tidak ada pernyataan baik secara tersirat maupun tersurat bahwa orang NU berusaha menyakiti orang Muhammadiyah sejak dulu kala, sama sekali tidak. Pernyataan tersebut justru adalah dramatisasi Ali Shodiqin saja.
Lantas apa saya membesar-besarkannya? Kisah pembongkaran kyai Dahlan itu bisa kita saksikan di bioskop saat film Sang Pencerah diputar. Penontonnya lebih dari satu juta orang. Lantas apa setelah menonton itu warga Muhammadiyah jadi anti NU dan berkonflik dengan NU? Tentu tidak, biasa saja. Jadi tentu saja tuduhan bahwa saya membesar-besarkan kisah tersebut untuk mengobarkan kebencian tidak benar. Jangankan kisah pembongkaran langgar kidul, Saat asset Muhammadiyah di Jawa Timur dirusak oleh massa NU gara-gara Amien Rais dituduh biang kerok turunnya Gus Dur dari presiden kami gak pernah ungkit-ungkit kok. Kalau memang kami mau mengobarkan permusuhan dan kebencian ya tinggal ungkit saja kasus itu, tapi kami tidak begitu.

Kisah derita seperti itu juga banyak dialami kiai lain yang ditolak masyarakatnya, tapi mereka akhirnya bisa diterima dengan mengedepankan ketulusan dan keikhlasan dalam berdakwah. Itu bukan cuma milik Muhammadiyah. Tapi kisah derita itu jangan dijadikan dendam sejarah. Dan semoga tidak dimuat di kurikulum. Sebab itu hanya melahirkan keputusasaan dan permusuhan. Itu mirip cara-cara Nasrani dan Syi’ah. Kisah penyaliban Yesus Kristus menghidupkan permusuhan panjang hingga kini. Demikian pula kisah penderitaan sahabat Ali dan keturunannya membuat kaum Syiah begini.

Dalam tulisan di atas Ali Shodiqin menyamakan apa yang kyai Dahlan alami dengan apa yang dialami kyai-kyai lainnya. Menurut saya itu qiyas bathil atau qiyas ma’al fariiq. Apa bedanya, kyai-kyai lain ditolak oleh masyarakat abangan, sementara kyai Dahlan ditolak justru oleh para ulama dan masyarakat yang agamis. Kalau kyai biasa ditolak oleh masyarakat abangan karena mengajak masyarakat abangan meninggalkan kemaksiatan, kyai Dahlan ditolak para ulama dan santri karena mengajak meninggalkan faham keagamaan yang sudah mapan pada waktu itu. Kalau memakai istilah zaman sekarang pada zamannya kyai Dahlan itu dituduh liberal, nyeleneh, mbeling dll.
Apakah kita menjadikan kisah tersebut menjadi dendam sejarah bahkan masuk kurikulum? Tentu tidak, buat apa menyimpan dendam, toh dendam malah membuat jiwa dan raga kita sakit. Saya pun 9 tahun belajar kemuhammadiyahan (dari kelas 4 SD sampai kelas 3 SMA) tidak ada satupun dalam kurikulumnya mengajarkan kebencian kepada pihak lain. Silahkan di cek. Lalu lagi-lagi Ali Shodiqin melakukan dramatisasi dengan menyamakan kasus ini dengan apa yang dialami Nasrani dan Syiah. Ya gak segitunya lah..

Hentikanlah bibit-bibit kebencian yang ditanamkan turun-temurun itu. Kita satu bangsa, satu negara. Mari kita membangun dengan menghilangkan kebencian di antara kita. Kita pilih kata2 yang sejuk.

Sekali lagi saya tegaskan tidak ada sama sekali bibit-bibit permusuhan yang ditanamkan turun temurun. Itu hanya angan-angan Ali Shodiqin saja. Nurcholis Madjid pernah mengatakan bahwa Muhammadiyah dan NU itu bagai 2 sayap garuda Indonesia. Tentu soal loyalitas kepada NKRI Muhammadiyah dan NU tak perlu dipertanyakan lagi, sudah teruji!

(redaksi)