4 Program Islam Liberal yang Menyasar Liberalisasi Pemikiran Islam

Depok – Pesantren Al Hikam, Depok, Jawa Barat, yang didirikan dan diasuh KH Hasyim Muzadi, pada Sabtu-Senin (6-8/12) lalu menggelar Silaturahim Nasional “Penguatan Aswaja dan Penanggulangan Terorisme dalam Ketahanan Nasonal”. Acara yang digelar bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) itu dihadiri sekitar 300 Ketua PCNU dan Rois Syuriah se-Jawa dan Sumatera. 

Selain pembahasan soal perkembangan Ahlussunah wal jamaah (Aswaja), radikalisme dan terorisme, selama tiga hari itu peserta juga mendapatkan beragam materi seputar gerakan-gerakan yang dinilai membahayakan Nahdlatul Ulama NU), seperti Salafi/Wahabi, Syiah dan Ikhwanul Muslimin. 

Pembicara yang menyampaikan materi mayoritas kyai dan cendekiawan dari kalangan NU sendiri, seperti KH Afifuddin Muhajir, KH Malik Madani, Gus Aab, Abdi Kurnia Johan dan Solahuddin. Selain mereka ada beberapa pejabat tinggi negeri, termasuk Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Mensos Khofifah Indar Parawansa, Wamenlu AM Fachir dan Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris. 

Dari sederetan nama pembicara itu, ada yang menarik. Ada ustadz muda aktivis Muhammadiyah yang juga diminta untuk menyampaikan materi. Dia adalah Ustaz Fahmi Salim, seorang master tafsir dan ilmu Alquran dari Universitas Al Azhar, Kairo. Fahmi menyampaikan materi “Gerakan Liberalisasi Pemikiran Islam.” Tesis Fahmi yang telah diterbitkan menjadi buku “Kritik terhadap Studi Alquran Kaum Liberal”, oleh panitia juga dibagikan kepada setiap peserta. 

Bicara soal liberalisasi Islam, Fahmi menyampaikan bila Greg Barton, dalam disertasinya di Monash University Australia telah memaparkan empat program Islam Liberal di Indonesia. 

Keempat program itu adalah pentingnya kontekstualisasi ijtihad; komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan; penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama; dan pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara. 

“Jadi negara tidak boleh mencampuri atau menghakimi, memvonis satu agama ini sesat, salah atau benar. Tidak ada aliran sesat dalam pandangan negara. Semua harus netral,” kata Fahmi ketika menjelaskan poin terakhir dari empat program Islam Liberal itu. 

Terkait dengan itu, lalu Fahmi menyinggung dan mengaku kaget dengan adanya pernyataan Dirjen Bimas Islam Kemenag Machasin yang menyatakan bila aliran sesat Ahmadiyah tidak menodai Islam. “Ini blunder sekali menurut saya,” katanya. 

Terkait dengan jaringan liberalisme di Indonesia, Fahmi mengutip buku berjudul “Reorientasi Pembaruan Islam” yang ditulis aktivis liberal Budhy Munawar Rachman. Dalam buku tersebut, Budi membagi dua basis liberalisme Islam di Indonesia. Kedua basis itu adalah kaum tradisional dan modern Islam. 

Proses liberalisasi di basis tradisional Islam dilakukan oleh organisasi dan LSM seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), The Wahid Institute, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), LKiS dan PP Lakspendam NU. 

Sementara proses liberalisasi di basis modern Islam dijalankan oleh sejumlah organisasi dan LSM seperti Yayasan Wakaf Paramadina, UIN Syarif Hidayatullah, Maarif Institute, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), dan International Centre for Islam and Pluralism (ICIP). Bila di NU ada JIL, kata Fahmi, di Muhammadiyah juga ada kelompok model tersebut.

“Jadi dua ormas ini menjadi incaran. Karena penting dan strategis dua ormas ini. Ormas yang banyak menaungi umat Islam Indonesia ini ingin dilemahkan melalui perang pemikiran, meracuni pemikiran-pemikirannya,” jelasnya. 

Selain itu, secara global Fahmi menyampaikan ada tiga jalan liberalisasi Islam. Ketiganya adalah melalui dekonstruksi syariat Islam, yang dilakukan dengan merombak syariat Islam untuk melegitimasi kerusakan akhlak, nilai dan hukum dari Barat. 

Jalan kedua adalah melalui desakralisasi Alquran dan dekonstruksi akidah Islam. Perusakan terhadap akidah Islam dilakukan dengan kampanye gagasan pluralisme agama yang kemudia mendekonstruksi Islam sebagai agama yang final dan benar.  Dalam konteks ilmu tafsir, lanjut Fahmi, ketiga dekonstruksi itu menggunakan hermeneutika.(sp/si)