Prof Dien Syamsuddin : Negara Pancasila, Baituna Jannatuna (Bag.2)

Oleh: Prof. Dien Syamsuddin M.A (Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
sebelumnya : Negara Pancasila, Baituna Jannatuna ( bag 1 )

Secara teoritis Pancasila dapat membawa bangsa ke kemajuan dan keunggulan. Namun, permasalahan Indonesia selama ini terletak pada ketakmampuan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bangsa secara nyata, dan kegagalan Negara dalam menyenyawakan nilai- nilai-nilai Pancasila ke dalam sistem dan budaya bernegara (state culture). Masih terdapat paradoks pengamalan Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan bangsa, seperti kecenderungan akomodasi dan aplikasi nilai-nilai dalam praksis sosial, ekonomi, dan politik. Sebagai akibatnya, cita-cita Trisakti Bung karno “berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya” nyaris jauh panggang dari api.

Begitu pula, terdapat gejala anomali dalam aktualisasi Pancasila oleh negara dan pelaku non-negara, dan sering terjadi konfrontasi Pancasila dengan agama, baik oleh Negara maupun oleh umat beragama itu sendiri. Hal-hal demikian merupakan kontraproduktifitas dalam penegakan Negara Perjanjian, dan dapat mengendurkan derajat penghayatan rakyat warga negara terhadap janji mereka.
Adalah suatu ironi jika bangsa Indonesia mengabaikan Pancasila, sementara di luar negeri banyak tokoh memuji Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai sebuah model dan alternatif bagi dunia yang multikultural. Dapat disebutkan, dalam hal ini, dua contoh yaitu: Pertama, wakil Paus Benediktus XVI di Spanyol dalam sambutan resminya pada pembukaan konperensi Community of Sant’ Egidio di Barcelona 2010 menyebut tentang kedua pilar bangsa Indonesia itu sebagai ideologi relevan untuk masyarakat global dewasa ini, dan kedua, seorang tokoh Katholik Jerman dalam The
Second Catholic – Muslim Forum di Laut Mati, Jordania, mengemukakan hal serupa
Maka adalah saatnya bagi kita untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai etos dan etika bangsa. Adalah saatnya bagi bangsa untuk menjadi Negara Pancasila, selain sebagai Negara Perjanjian (Darul Ahdi), juga sebagai Negara Kesaksian (Darus Syahadah). Sebagai Negara Kesaksian atau Darus Syahadah, setiap kelompok harus siap berfastabiqul khairat, yaitu berlomba-lomba dalam meraih kemajuan dan keunggulan . Perlombaan berlangsung atas etika sportifitas, siap menerima kemenangan dan kekalahan. Perlombaan juga harus berlangsung dengan menjunjung tinggi nilai kejujuran, bukan menang dengan menghalalkan secara cara. Dalam konteks globalisasi yang meniscayakan kualitas, persaingan, dan daya saing, menjadikan Negara Pancasila sebagai Negara Kesaksian mengandung pesan agar bangsa Indonesia siap bersaing dan bertanding dalam berbagai aspek peradaban. Daya juang yang menjadi salah satu modal sosial (social capital) bangsa perlu ditransformasi menjadi daya saing. Saatnya bangsa untuk mulai berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, sebab globalisasi membawa adagium “no longer number counts, but quality counts”, tidak lagi angka yang berbilang, tetapi kualitaslah yang diperhitungkan.
Menghadapi persaingan peradaban tinggi dengan bangsa-bangsa lain dewasa ini diperlukan revitalisasi dan rekonstruksi mentalitas bangsa kea rah pembentuka manusia Indonesia yang berkarakter kuat. Manusia berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental seperti kejujuran, ketulusan, keberanian, kemandirian, ketegasan, ketegaran, kuat dalam memegang prinsip. Tantangan globalisasi yang meniscayakan orientasi kepada kualitas, persaingan, dan daya saing menuntut bangsa Indonesia memiliki karakter yang bersifat kompetitif, dinamis, berkemajuan, dan berkeunggulan. Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni setiap tahun jangan berhenti pada seremoni, tetapi harus berlanjut pada aksi; jangan bermuara pada kata-kata, tetapi harus berlabuh pada tindakan nyata. Tema peringatan tahun ini “Djiwa kita Djiwa Indonesia, Djiwa kita bernafas Pancasila” akan hanya menjadi rangkaian kata-kata indah, jika kita tidak mampu mengubah dan menggubahnya menjadi deretan prestasi bangsa. Selesai. (saif/sp)