Diaspora Membawa Berkah, Catatan Pengalaman Prof Dien Syamsuddin Hidup Sebentar di Amerika (Bag.2)

Prof. Dien Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah)
 sebelumnya : Catatan Pengalaman Prof. Dien Syamsuddin ( bag 1 )

“Diterima di UCLA, salah satu dari universitas terkemuka di Amerika Serikat, sungguh merupakan kesyukuran dan kebahagiaan bagi saya. Di universitas ini studi Islam mengambil bentuk Interdepartmental Program in Islamic Studies. Setiap mahasiswa program magister harus belajar empat bidang di empat jurusan berbeda, yaitu: Bahasa Arab, bahasa Muslim kedua (tersedia Persia, Urdu, Turki, dan Indonesia), sejarah peradaban Islam, dan satu dari ilmu-ilmu sosial. Dua yang pertama dimaksudkan sebagai sarana menyelami samudera literatur tentang Islam dan umat Islam, sedangkan sejarah dimaksudkan untuk dapat memahami perkembangan kebudayaan atau peradaban Islam dalam konteks historis, dan ilmu sosial untuk bisa menganalisis perkembangan itu dalam konteks socialkebudayaan. Selain itu, program pascasarjana di UCLA mengharuskan mahasiswa belajar dan lulus ujian satu bahasa Eropa selain Bahasa Inggeris, seperti Perancis, Jerman, atau Italia. Untuk program doktor harus lulus juga, baik bahasa Muslim lain maupun bahasa Eropa lain, selain yang sudah diambil pada program magister.


Saya memulai program magister dengan mengambil mata-mata kuliah dalam keempat bidang tersebut. Tentu berat, terutama harus belajar dua bahasa asing baru (selain Inggeris dan Arab yang sudah dikuasai secara memadai), yaitu Bahasa Persia dan Bahasa Perancis. Tiada hari tanpa belajar. Itulah ungkapan yang pas dengan kegiatan baru. Berangkat ke kampus, setiap pagi dan pulang sore, bahkan bisa terlambat jika harus ke perpustakaan. Menjelang ujian tengah atau akhir kuartal terpaksa harus sering berada di perpustakaan. Suatu kelebihan di universitas-universitas Amerika Serikat dan Dunia Barat pada umumnya adalah tersedianya literatur yang banyak, bahkan dapat diperoleh dari peminjaman antar universitas (inter library loan). Tentu sekarang di mana pun lebih mudah karena banyak buku sudah dapat diakses lewat internet. Dalam bidang studi Islam, perpustakaan UCLA memiliki koleksi literatur tentang Islam, baik klasik maupun modern, dalam berbagai bahasa dunia, Sebagai contoh, dari 104 karya asli Imam al-Ghazali dalam Bahasa Arab dan Bahasa Persia, 98 terpajang di rak-rak perpustakaan UCLA. Begitu pula kitab-kitab tafsir, baik klasik maupun moderen, dalam berbagai bahasa dapat dengan mudah dibaca. Untuk bidang sejarah dan ilmu sosial perkuliahan lebih banyak mengambil bentuk seminar atau diskusi yang mengandalkan analisa dan keakraban dengan sumbersumber baik primer maupun sekunder.

Itulah “dunia baru” ketika mulai berada di Amerika Serikat, di kampus UCLA tercinta. Sistem perkuliahan kuartalan juga memaksa seseorang berpacu dengan waktu. Begitu pula sistem penilaian dosen yang kompetitif memacu mahasiswa untuk memiliki daya saing dan berprinsip “why not the best”. Memang dalam hal bahasa, mahasiswa Indonesia tentu kalah dari mahasiswa Amerika Serikat, yang dari kecil fasih berbahasa Inggreris. Namun, dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan cara berpikir, mahasiswa Indonesia tidak kalah dan tidak boleh kalah.

Setelah setahun “berdiaspora” di negeri impian Amerika Serikat, akhirnya masa yang ditunggu-tunggu dengan penuh kesabaran datang jua. Isteri tercinta tiba di Los Angeles. Rupanya, segera setelah selesai Ebtanas SMA Juni 1987, sorenya dia dengan diantar dua tantenya datang menyusul ke Amerika Serikat. Tak terbayangkan seorang suami yang meninggalkan isteri setelah seminggu menikah dan belum sempat apa-apa, kini menikmati kebersamaan. Apalagi segera setelah itu saya bersama isteri pindah ke Cambridge, Massachusett. Apartemen Harvard University, Peabody Terrace, di pinggir Charles River yang indah itu dan Harvard Square yang ramai itu menjadi saksi sejarah bagi kemesraan sepasang suami-isteri yang mengalami kerinduan tak terlarang namun tertunda. Hidup terasa bergairah, dan gairah belajar pun bertambah.

Dua tahun masa studi normal program magister studi Islam di UCLA dapat saya tempuh dengan baik. Ujian komprehensif dalam empat bidang tadi, satu persatu dapat ditempuh dengan hasil yg cukup
menggembirakan. Saya dinyatakan telah lulus meraih gelar Master of Art (M.A) dalam bidang Islamic Studies. Artinya, saya sekarang dapat melanjutkan studi ke jenjang doktor. Sebenarnya, selain di UCLA, saya telah mendapat isyarat untuk bisa diterima di Harvard University, tempat dulu sempat mengambil summer course pada 1987. Kala itu saya manfaatkan waktu untuk menemui beberapa professor antara lain Prof. William Graham, ahli tafsir al- Qur’an, dan Prof. Hossein Ziyai, ahli filsafat Islam dan sastra Persia. Saya ingin melanjutkan minat pada Perbandingan Agama, jurusan sewaktu di UIN Jakarta dulu. Namun, Prof. Dr. Harun Nasution, Rektor UIN (waktu itu IAIN) Jakarta dalam surat balasannya mengingatkan agar saya berkonsentrasi pada studi Islam, yang lebih diperlukan oleh Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta. Maka saya memantapkan niat untuk tetap mnelanjutkan studi di UCLA.

Masalahnya sekarang, dari mana beasiswa? Beasiswa Fulbright hanya untuk program magister, dan harus pulang dulu ke Indonesia, baru beberapa tahun kemudian dapat melamar beasiswa lanjutan. Saya sudah bertekad. Dan, biasanya, seperti ungkapan “sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang”. Saya tidak mau pulang walau beasiswa sudah habis. Saya melayangkan surat kepada Menteri Agama Munawir Sjadzali, semoga Allah SWT menerima arwahnya, agar dapat mengusahakan bagi saya beasiswa untuk program doktor. Saya sertakan bukti transkrip nilai dengan GPA 3.81, dan surat rekomendasi dari dua professor bahwa saya dapat diterima di UCLA langsung untuk program doktor. Dampaknya segera ada. Saya dipanggil oleh Chancelor UCLA, menginformasikan bahwa ada surat dari Duta Besar AS di Jakarta untuk kemungkinan beasiswa dari UCLA baik sebagai Teaching Assistan ataupun Research Assistant. Namun karena waktu sudah lewat, UCLA tidak bisa memberi fellowship kecuali untuk tahun depan. Saya tidak berhenti. Saya kirimkan surat lagi kepada Bapak Menteri Munawir Sjadzali. Alhamdulillah, hasilnya menggembirakan, saya mendapat beasiswa program doktor. Saya tidak tahu persis dari mana, tapi saya dengar itu patungan Fulbright Foundation dan Ford Foundation.

Terima kasih tak terhingga kepada semua pihak yang berjasa.Program doktor saya mulai tanpa waktu jedah, Fall 1988. Kehidupan di LA dan UCLA menjadi sangat bergairah. Selain karena isteri sudah
mendampingi, juga karena kini saya menjadi mahasiswa program doktor. Kendati isteri juga sibuk dengan kuliahnya di Santa Monica College, jurusan Business Administration, tapi setiap celah waktu
yang ada selalu kami manfaatkan untuk menikmati masa diaspora di California. Berbagai kota lain kami kunjungi, baik San Fransisco, San Diego, Santa Barbara, hingga Las Vegas, dan kota kecil Solvang yang merupakan miniatur sebuah kota Eropa. Menikmati hidup bersama isteri di ranah diaspora, ikut bersosialisasi dengan masyarakat Indonesia di Los Angeles termasuk mengisi pengajian rutin di KJRI LA, dan kesibukan menjemput/membantu transit keluarga teman di LAX Airport silih berganti, tidak mengganggu studi. Menejemen dan disiplin waktu dapat dijaga.” Selesai! (saif/sp)

*Ditulis ulang dari website pribadi Prof Dien Syamsuddin, http://www.m-dinsyamsuddin.com/