Dialog Imajiner Dengan KH Ahmad Dahlan

 Ahmad AC
Wakil Ketua Majelis Pelayanan Sosial PWM Sulsel

Kurang lebih setahun yang lalu, usai menyaksikan tayangan perdana Televisi Muhammadiyah (TVmu) yang bertepatan Milad 101 Muhammadiyah, aku tertidur pulas diselimuti kebanggaan akan pencapaian prestasi Muhammadiyah sebagai organisasi gerakan Islam terbesar di jagad ini. Dalam lelapku, terlihat seorang lelaki bersorban putih yang sibuk menerima “paket amal jariah” dalam ukuran besar dan kecil, yang diantar “para kurir” malaikat Jibril, silih berganti tiada henti. Tiba-tiba lelaki itu berpaling padaku, menatap tajam lalu tersenyum lembut. Ternyatalah dialah K.H. Ahmad Dahlan yang selama ini kukenal lewat fotonya.

“Mengapa engkau yang muda tertidur saja ketika teman-temanmu bekerja keras dan berbagi rezeki di Muhammadiyah?” Tanya beliau padaku.

“Aku justru bangga dan senang melihat teman-teman seperjuanganku – junior dan senior — di Muhammadiyah dan Ortom, menikmati amal usaha yang engkau wariskan Kyai !” Jawabku tersenyum.

“Bukan itu maksudku”, Kyai menimpali. “Aku prihatin karena banyak di antara pengelola AUM bukan kader Muhammadiyah dan Ortom, baru urus NBM ketika mau diangkat, bicaranya kasar dan suka gontok-gontokan, bahkan banyak yang malas sholat berjama’ah di masjid!” Lanjut Kyai meninggi.

Nafasku tercekat, wajahku tertunduk malu. “Aku memang alumni pengkaderan di tiap tingkatan, bahkan anggota Pendekar Silat di Tapak Suci, tapi aku enggan mengelolah dan bekerja di AUM karena gajinya kecil Pak Kyai !” Kataku memberanikan diri.

“Haaah…? Sombong sekali kamu anak muda! Begitukah seorang kader bersikap? Ketika masalah organisasi menumpuk, engkau justru lari tinggalkan gelanggang karena takut lapar ? Apa artinya Universitas, Sekolah Tinggi dan Akademi yang jumlahnya ratusan. TK, SD, SMP, SMA, Madrasah dan Pesantren yang jumlahnya ribuan. Panti Asuhan, Rumah Sakit Umum dan Bersalin yang jumlahnya ratusan. Koperasi, BTM, Toko dan Kantor yang banyak. Tanah bersertifikat dan belum sertifikat yang ribuan hektar, jika kalian sebagai kader Muhammadiyah dan Ortom yang kuharapkan mengelolah, justru menyerahkan kepada orang-orang yang tidak paham visi dan misi Muhammadiyah yang kudirikan !” Seru Kyai dengan suara mengguntur.

Aku tertunduk malu dan hampir menangis. Ghirah dan militansiku sebagai kader dan Instruktur Nasional perkaderan seakan tercabik-cabik. Terngiang lagu-lagu heroik yang kuajarkan setiap kali training,

“ Lalu apa yang harus kulakukan saat kondisi semangat Muhammadiyahku labil dan hampir tersesat ini Kyai?” Tanyaku tegar dan menatap wajahnya yang teduh berkharisma

“Lakukan Revitalisasi diri dan kepemimpinan agar semangatmu tetap kuat dan terjaga di zaman yang serba canggih dan pragmatis ini !” Ujar Kyai tegas.

Aku tampak blo’on dan Kyai melanjutkan. “Pertama, jaga komitmenmu bermuhammadiyah untuk selalu ichlas dan aktif mendakwahkan Islam yang murni. Kedua, tingkatkan dan perluas wawasan intelektualmu, agar kalian mampu menjawab persoalan ummat yang makin kompleks. Ketiga, jaga kualitas ahlak dan moralmu, murah senyum, saling menggembirakan dan jangan saling caci dan fitnah, agar kalian menjadi tim yang kokoh dan saling menguatkan. Keempat, perbaiki kualitas program kerjamu untuk ummat dan jama’ah serta rajin silaturrahim. Karena jika kalian menjauh dari dari ummat, maka sesungguhnya kalian telah kehilangan jati diri sebagai aktifis gerakan Muhammadiyah !” Nada Kyai berapi-api.

Aku hendak lanjutkan pertanyaan namun dibangunkan dering telepon mahasiswa untuk segera mangajar di Menara Iqra Unismuh. Akupun bergegas dan tersipu-sipu. (*)