Sumpah Pemuda dan Fatwa MUI tentang Finalitas NKRI

Jika kita ditanya kapankah hari kebangkitan nasional? Tentu serempak kita akan menjawab tanggal 20 Mei. Hal ini karena pada tanggal 20 Mei 1908 dibentuklah organisasi Budi Utomo yang merupakan cikal bakal pergerakan nasional. Namun ada pendapat yang berbeda yang diajukan Prof. Ahmad Syafii Maarif, dalam salah satu resonansinya di harian Republika beliau berpendapat bahwa Hari Sumpah Pemuda lebih layak dijadikan hari Kebangkitan Nasional. Hal ini cukup beralasan mengingat pada masa berdirinya Budi Utomo, pergerakan nasional masihlah terpecah-pecah. Pergerakan masih terkelompok-kelompok berdasarkan suku dan agama.
Sumpah Pemuda merupakan deklarasi yang dibacakan pada Kongres Pemuda II yang beranggotakan pelajar dari seluruh Indonesia. Kongres ini diprakarsai oleh PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) dan diikuti oleh berbagai organisasi kepemudaan yakni Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie. Kongres ini menghasilkan sebuah deklarasi yang menyatakan bahwa pemuda Indonesia bertumpah darah satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia dan berbahasa satu, bahasa Indonesia.
Kalimatun Sawaa’ Bainanaa wa Bainakum
Sudah takdir Tuhan bahwa Indonesia ini dijadikan negara yang sangat plural dari berbagai segi. Bangsa kita terdiri dari berbagai ras, suku bangsa dan agama yang berbeda-beda. Karena itu pada hakikatnya sejak awal kita sudah biasa dengan pluralitas. Namun terkadang perbedaan juga bisa menjadi hambatan karena adanya sekat-sekat emosional. Oleh karena itu diperlukan kalimatun sawaa’ bainanaa wa bainakum (common platform/titik temu) yang dapat menyatukan (bukan menyeragamkan) perbedaan ini. Poin-poin dalam sumpah pemuda ini adalah common platform tersebut.
Ada 3 aspek yang menjadi titik temu berbagai macam keragaman yang ada di Indonesia. Yang pertama adalah tanah air, jadi mau apapun agamamu, apapun sukumu, kita satu tanah air, yaitu Indonesia. Yang kedua adalah bangsa, mau apapun warna kulitmu, mau apapun sesembahanmu, mau apapun pakaian adatmu, kita satu bangsa, bangsa Indonesia. Yang ketiga adalah bahasa, walaupun masing-masing dari kita punya bahasa Ibu yang berasal dari daerah kelahiran masing-masing, namun kita punya bahasa pemersatu, yaitu bahasa Indonesia. 
Hablun Minallah wa Hablun Minannaas
Dalam surat Ali Imran ayat 112, Allah swt. berfirman, “Mereka (Ahlul Kitab) akan diliputi oleh kehinaan dimana saja mereka berada kecuali mereka berpegang kepada habl minallah dan habl minannaas”. Apakah itu habl minallah dan habl minannaas? Selama ini yang kita tahu hablun minallah itu hubungan dengan Allah, dan habl minannas hubungan dengan manusia. Coba lihat surat Ali Imran ayat 103, disana kita diperintahkan untuk berpegang teguh kepada hablullah. Habl disana artinya agama, yang berarti aturan. Berarti makna dari ayat di atas adalah kita mesti menaati aturan yang turun langsung dari Allah dan aturan hasil kesepakatan sesama manusia.
Hal ini telah dipraktekan nabi semasa hidupnya, hablun minallah jelas berupa wahyu yang turun kepadanya, sementara hablun minannaas yang beliau alami adalah piagam madinah. Nabi Muhammad saw. diminta hijrah ke madinah untuk mendamaikan suku aus dan khajraj yang terus saja berperang. Nabi Muhammad saw. diharapkan bisa jadi pihak netral dan juru damai dari pertikaian tersebut. Oleh karena itu nabi langsung diangkat menjadi pemimpin pada saat itu. Kondisi di Madinah itu pun plural seperti halnya Indonesia sekarang. Maka dibuatlah kesepakatan piagam madinah yang menjadi kalimatun sawaa’ antara seluruh komponen penduduk madinah. Banyak yang berpendapat bahwa piagam madinah merupakan konstitusi pertama di dunia. Penulis tidak tahu apakah piagam madinah merupakan konstitusi pertama atau bukan, yang jelas piagam madinah adalah konstitusi pertama yang menaungi seluruh golongan. Zaman nabi yang namanya pemerintahan biasanya tidak ada konstitusi dan suka-suka raja. Zaman nabi raja masih dianggap bayangan Tuhan di muka bumi, ya namanya dianggap Tuhan kan bebas saja yang mau melakukan apapun. Uniknya nabi yang jelas-jelas utusan Allah beliau tidak memanfaatkan otoritas tersebut untuk melakukan pemerintahan semaunya, namun beliau membuat hukum konstitusi.
Kalau kita baca ayat Al Quran, maka akan kita dapati beberapa peperangan nabi baik dengan kaum musyrik atau ahlul kitab. Peperangan tersebut memang didasari sentimen keyakinan atau agama, namun sebab utama kenapa nabi memerangi mereka adalah karena mereka melanggar kesepakatan berupa konstitusi. Buktinya bagi non-muslim yang tidak melakukan pelanggaran kesepakatan maka mereka berada dalam posisi ahlu dzimmah, dan nabi dengan tegas mengatakan barang siapa yang mengganggu ahlu dzimmah maka dia telah menggangguku. Kata hablun minallah dan hablun minannaas dalam ayat tadi disandingkan, yang berarti keduanya mempunyai kedudukan yang sama dan saling melengkapi. Oleh karena itu agak aneh kalau ada yang mempertentangkan antara hukum agama dan konstitusi. Pemahamannya bukan hukum apa yang lebih tinggi, namun hukum Allah dan konstitusi itu mempunyai ranah masing-masing yang harus dihormati.
Fatwa MUI NKRI mengenai Finalitas NKRI
Sebenarnya para founding fathers kita baik yang berhaluan nasionalis, agama maupun komunis tidak pernah ada yang mempersoalkan seputar NKRI. Yang mereka perdebatkan adalah seputar dasar negara yang akan dipakai oleh NKRI ini. Pada awalnya perdebatan terjadi soal penghapusan 7 kata dalam piagam jakarta. Kubu Islam harus legowo menerima penghapusan 7 kata itu dikarenakan desakan dari rakyat Indonesia bagian timur. Hasil penghapusan itu adalah matan pancasila yang kita kenal sampai sekarang. Lalu pada tahun 1965 kubu komunis ingin melakukan revolusi mengganti dasar negara dengan komunis, walaupun gagal. Kita tidak akan membahas hal ini lebih jauh, namun poin yang kita ambil bahwa sejak awal tidak ada yang mempermasalahkan seputar NKRI.
Oleh karena itu tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa NKRI sudah final. Memang ada yang lebih tegas mengatakan bahwa NKRI harga mati. Statement ini sebenarnya lebih cocok bagi militer yang memang mereka harus benar-benar didoktrin untuk mempertahankan NKRI sampai mati. Bagi kita yang notabene masyarakat sipil, slogan yang tepat ya NKRI sudah final, itu saja sudah cukup. Ormas Islam terbesar yakni Muhammadiyah dan NU pun sudah mengakui ini yang tercantum dalam matan ideologi resmi mereka. Lantas bagaimana dengan MUI? Akhir-akhir ini MUI lah yang sering menjadi rujukan dalam soal fatwa, maka dalam permasalahan ini pun kita bisa lihat pendapat MUI.
Kita bisa baca fatwa MUI tentang hal ini dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tahun 2006 tentang Masaail Assasiyyah Wathaniyah. 

Berikut ketetapannya:

A. PENEGUHAN BENTUK DAN EKSISTENSI NEGARA 
KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
1. Kesepakatan bangsa Indonesia untuk membentuk Negara  Kesatuan Republik Indonesia sebagai ikhtiyar untuk  memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan  kehidupan bersama, adalah mengikat seluruh elemen  bangsa.
2. Pendirian NKRI adalah upaya final bangsa Indonesia untuk  mendirikan negara di wilayah ini
3. Wilayah NKRI dihuni oleh penduduk yang sebagian besar  beragama Islam, maka umat Islam wajib memelihara keutuhan  NKRI dan menjaga dari segala bentuk pengkhianatan terhadap  kesepakatan dan upaya pemisahan diri (separatisme) oleh  siapapun dengan alasan apapun. 
4. Dalam rangka menghindarkan adanya pengkhianatan dan/ atau pemisahan diri (separatisme) negara wajib melakukan  upaya-upaya nyata untuk menciptakan rasa adil, aman dan sejahtera secara merata dan serta penyadaran terhadap elemen-elemen yang cenderung melakukan pengkhianatan atau separatisme.
5. Upaya pengkhianatan terhadap kesepakatan bangsa  Indonesia dan pemisahan diri (separatisme) dari Negara  Kesatuan Republik Indonesia yang sah, dalam pandangan  Islam termasuk bughat. Sedangkan bughat adalah haram  hukumnya dan wajib diperangi oleh negara.
6. Setiap orang, kelompok masyarakat, lembaga-lembaga atau  organisasi-organisasi yang melibatkan diri, baik secara  terang-terangan maupun tersembunyi, dalam aktifitasnya  yang mengarah pada tindakan pemisahan diri (separatisme)  dari NKRI adalah termasuk bughat.
Matan lengkap dari fatwa ini bisa diunduh disini.
Oleh karena itu finalitas NKRI adalah sesuatu yang menjadi kepentingan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia khususnya umat Islam. Ancaman-ancaman separatisme baik yang didasari oleh tuntutan ekonomi maupun sentimen agama harus kita dari pemecahannya. McD.