Kalender Islam Internasional dan Problem Mendasar Perbedaan Jatuhnya Puasa Arafah

Kalender Islam Internasional dan Problem Mendasar Perbedaan Jatuhnya Puasa Arafah
Oleh: Niki
Alma Febriana Fauzi
(Alumni
Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah (MWI) Kebarongan dan
Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta

Pada
bulan Dzulhijah tahun ini (1435 H/2014 M) kemungkinan besar akan
terjadi perbedaan di tengah-tengah umat Islam dalam menjatuhkan
tanggal untuk perayaaan hari raya Idul Adha. Hal ini otomatis juga
akan membawa kita pada konsekuensi perbedaan dalam melaksanakan puasa
Arafah, ibadah puasa sunah yang dalam keterangan hadis dijelaskan
balasan bagi orang yang mengerjakan akan dihapuskan oleh Allah dosa
setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.
Muhammadiyah
yang sejak jauh-jauh hari mengeluarkan maklumat terkait jatuhnya awal
bulan-bulan baru khususnya bulan ibadah telah menetapkan bahwa hari
raya Idul Adha 1435 H akan jatuh pada hari Sabtu, 4 Oktober 2014
(puasa Arafah: 3 Oktober) dengan menggunakan metode Hisab. Sementara
pemerintah dan ormas-ormas Islam yang lain masih harus menunggu
keputusan sidang isbat pada tanggal 24 September 2014. Meski masih
belum ditetapkan oleh pemerintah, tapi secara astronomis ketetapan
pemerintah itu dapat diprediksi melalui data astronomis yang ada.
Pada saat ijtimak Dzulhijah 1435 yang terjadi pada hari Rabu, 24
September 2014 pukul 13:15:45 WIB tinggi bulan pada saat matahari
terbenam di Yogyakarta adalah (φ
= -07⁰ 48’ dan λ = 110⁰ 21’ BT) = +0⁰ 30’ 04’’.
Artinya, menurut kriteria Muhammadiyah meskipun tinggil hilal masih
sangat rendah tapi sejatinya hilal sudah wujud dan berarti pada sore
hari itu ketika terbenam matahari dan keesokan harinya bulan baru
sudah masuk. Berbeda dengan kriteria Imkanur Rukyat yang dipegangi
pemerintah, di mana harus ada syarat tinggi bulan minimal 2 derajat.
Jika pemerintah konsisten dengan kriteria yang dipeganginya, maka
secara kaidah astronomis pada sore hari tanggal 24 September 2014 dan
keesokan harinya bulan baru belum akan dimulai, walaupun ada orang
yang mengklaim telah melihat hilal pada saat terbenam matahari sore
itu. Bulan Dzulhijah menurut kriteria pemerintah baru akan dimulai
tanggal 26 Septermber 2014 dan oleh karenanya hari raya Idul Adha
akan jatuh pada tanggal 5 Oktober 2014 (puasa Arafah: 4 Oktober).
Di
Arab Saudi, menurut data yang penulis dapatkan, pada tanggal 24
September 2014 tinggi hilal juga masih sangat rendah, yaitu kira-kira
di bawah satu derajat. Jikapun di Arab Saudi rukyat akan dilakukan
dengan menggunakan bantuan teleskop, maka kemungkinan hilal akan
terlihat masih sangat sulit. Apalagi bila rukyat dilakukan hanya
menggunakan mata telanjang. Inilah yang menjadikan penulis cukup
yakin bahwa di Arab Saudi nanti bulan Dzulhijah baru akan dimulai
tanggal 26 September 2014, dan Idul Adha akan jatuh pada tanggal 5
Oktober 2014 (puasa Arafah: 4 Oktober).
Dari
penjelasan di atas kita dapat memprediksi bahwa perayaan hari raya
Idul Adha 1435 H kemungkinan besar akan terjadi perbedaan. Masalah
yang muncul di tengah masyarakat kemudian adalah tentang kapan waktu
pelaksanaan puasa Arafah? Apakah pada tanggal 9 Dzulhijah di setiap
negara, meskipun itu berbeda dengan Arab Saudi? atau pada saat jamaah
haji sedang wukuf di Arafah, tanpa perlu memusingkan di negara lain
tanggal berapa? Pertanyaan itu mulai banyak muncul di tengah
masyarakat hari ini. Mereka resah bila nanti harus melaksanakan puasa
Arafah berbeda dengan Arab Saudi. Di kampung Nitikan Baru, di mana
penulis sekarang tinggal, sudah banyak jamaah yang bertanya-tanya
terkait masalah ini.
Menurut
pembacaan penulis terhadap beberapa sumber, setidaknya ada dua
pendapat terkait puasa Arafah itu kapan dilaksanakan. Pendapat
pertama mengatakan bahwa kita umat Islam yang tidak melaksanakan haji
disunahkan untuk melaksanakan puasa pada saat jamaah haji sedang
melaksanakan wukuf di Arafah. Dengan kata lain, pendapat pertama ini
mengidentikkan sekaligus mengaitkan puasa Arafah itu dengan pelaksaan
wukuf di Arafah. Bila jamaah haji di Arafah melaksanakan wukuf hari
ini, maka di hari yang sama pula kita umat Islam yang tidak berhaji
disunahkan melaksanakan puasa. Sementara pendapat kedua mengatakan
bahwa puasa Arafah adalah puasa sunah pada tanggal 9 Dzulhijah. Jadi,
mau sama atau tidak dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, puasa Arafah
menurut pendapat ini adalah dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijah
menurut penanggalan setempat atau negara masing-masing.
Puasa
Arafah sejatinya adalah puasa sunah yang dilaksanakan pada tanggal 9
Dzulhijah di saat jamaah haji sedang melaksanakan wukuf di Arafah.
Menurut hemat penulis, selain puasa Arafah itu identik dan terkait
dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, puasa ini juga harus dilakukan
pada tanggal 9 Dzulhijah. Jadi sesungguhnya kedua pendapat tersebut
tidak bisa dipahami secara terpisah. Di saat yang sama puasa Arafah
selain harus dilaksanakan tanggal 9 Dzulhijah, juga pelaksanaannya
harus berbarengan dengan wukuf di Arafah. Di sinilah kemudian muncul
problem pelaksanaan puasa Arafah ketika misalnya di satu sisi di
suatu belahan bumi sudah masuk tanggal 9 Dzulhijah, tetapi di Arafah
belum dilaksanakan wukuf karena memang di sana belum masuk tanggal 9
Dzulhijah.
Problem
Mendasar Perbedaan Jatuhnya Puasa Arafah
Kedua
pendapat tentang kapan dilaksanakannya puasa Arafah sebagaimana
disebutkan di atas sesungguhnya tidak memecahkan problem utama
terkait masalah perbedaan jatuhnya puasa Arafah. Pendapat-pendapat
itu hanya menenangkan sejenak perasaan umat Islam yang mengalami
perbedaan jatuhnya pelaksanaan puasa Arafah. Prof. Dr. Syamsul Anwar,
seorang guru besar UIN Sunan Kalijaga yang juga menjadi Ketua Majelis
Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengatakan bahwa problem utama
yang mengakibatkan perbedaan jatuhnya puasa Arafah sesungguhnya
ada pada tempat lain, yaitu 
tidak adanya kalender Islam internasional yang mampu menyatukan
seluruh agenda umat Islam yang ada di dunia, termasuk dalam hal ini
agenda pelaksanaan ritual ibadah. Ironis memang, ketika usia
peradaban Islam yang hampir menyentuh angka 1,5 milenium, masih saja
umat Islam ini belum memiliki kalender Islam pemersatu. Kalender
Islam pemersatu artinya satu hari satu tanggal di seluruh dunia.
Tidak adanya kalender Islam internasional ini mengakibatkan semacam
kekacauan pengorganisasian waktu umat Islam di seluruh dunia. Umat
Islam di suatu tempat di belahan bumi tertentu, misalnya, harus
melaksanakan momen keagamaan berbeda dengan umat Islam di belahan
bumi yang lain pada tahun-tahun tertentu. Ini tentu menjadikan
problem tersendiri di tengah umat. Belum lagi jika kita berbicara
citra Islam di tengah masyarakat dunia. Umat Islam bisa jadi dituding
sebagai umat yang selalu tidak bisa bersatu, hanya karena perbedaan
momen-momen keagamaan.
Idris
ibn Sari, Presiden Asosiasi Astronomi Maroko, mengatakan bahwa salah
satu penyebab utama yang menjadi penghambat terbesar bagi terwujudnya
kalender Islam internasional adalah karena sebagian besar umat Islam
sampai hari ini masih saja berpegang teguh kepada rukyat. Mereka
tidak menyadari bahwa selama umat Islam masih menjadikan rukyat
sebagai metode dalam menentukan awal bulan, maka selama itu pula
peradaban Islam akan menjadi peradaban yang tak memiliki sistem waktu
yang baik dan reliabel. Hal ini karena rukyat tidak akan bisa
dijadikan acuan untuk membuat kelender. Selain pada setiap bulan mata
kita harus menengadah ke langit untuk melihat apakah bulan baru sudah
masuk atau belum, rukyat menurut Syamsul Anwar juga tidak bisa
meliputi seluruh muka bumi pada visibilitas pertamanya, sehingga hal
tersebut akan menjadikan bumi terbelah menjadi dua; antara yang dapat
merukyat dan yang tidak. Itulah beberapa kelemahan rukyat. Dulu
Rasulullah memang menggunakan rukyat dalam menentukan awal bulan,
tapi hari ini rukyat tidak dapat dijadikan lagi pegangan karena akan
banyak problem umat yang tidak dapat terpecahkan. Satu dari sekian
banyak problem yang tidak mungkin terpecahkan itu adalah tidak
mungkinnya umat Islam memiliki kalender Islam internasional selama
umat Islam masih berpegang teguh pada rukyat. Yang
berarti umat Islam akan selalu berbeda dalam melaksanakan momen-momen
keagaamaan pada tahun-tahun tertentu. Nampaknya
kita semua harus legowo
bahwa satu-satunya cara untuk mewujudkan kalender Islam internasional
adalah dengan menerima hisab sebagai metode penentuan awal bulan. Ini
bukan soal Muhammadiyah atau tidak, karena hisab jika hanya dilakukan
pada wilayah lokal saja juga tidak akan bisa menyatukan jatunya awal
bulan baru serentak di seluruh kawasan muka bumi. Tapi paling tidak,
sebagaimana dikatakan Syamsul Anwar, hisab tidak seperti rukyat. Ia
memberi peluang bagi kemungkinan penyatuan sistem penanggalan Islam
global, sehingga problem perbedaan jatuhnya puasa Arafah juga akan
hilang dengan sendirinya.
Kalender
Islam Internasional dan Hutang Peradaban

Pada
acara Halaqah Nasional Ahli Hisab dan Fikih Muhammadiyah yang
diadakan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah tanggal 9 dan 10
september 2014 lalu, seorang narasumber dari Malaysia, Prof. Dr. Tono
Saksono menyajikan sebuah makalah yang sangat menarik. Beliau
mangaitkan masalah astronomi tentang kalender Islam internasional
yang tidak dimiliki umat Islam saat ini dengan aspek ekonomi.
Menurutnya sikap umat Islam yang memilih untuk tidak memiliki
kalender Islam internasional mengakibatkan hutang peradabaan yang
semakin lama kian menumpuk. Selama ini umat Islam terkesan sudah puas
dengan menggunakan kalender Gregorian dalam masalah-masalah
muamalahnya (pendidikan, perdagangan, sosial-politik, dan lain-lain).
Sementara dalam masalah ibadah, umat Islam tak habis-habisnya selalu
bertikai terkait perbedaan jatuhnya momen-momen kegamaan mereka. Tono
Saksono dalam makalahnya membuktikan bahwa anggapan problem
penggunaan kalender Gregorian hanyalah problem muamalah sama sekali
tidak benar. Mengabaikan penggunaan kalender Islam dalam praktek
ekonomi sehari-hari ternyata memiliki konsekuensi syariah yang sangat
serius. Akibat penggunaan kalender Gregorian dalam praktek ekonomi
umat Islam sekarang ini telah menyebabkan akumulasi kekurangan
pembayaran zakat yang sangat besar. Karena kalender Islam sebetulnya
sekitar 11,5 hari lebih pendek, penggunaan kalender Gregorian pada
sistem akuntansi bank syariah dan bisnis umat Islam yang lain
mengalami potensi kekurangan pembayaran zakat sebesar 3 % per tahun.
Ini berarti, pada setiap tiga puluh tahun operasi bisnis umat Islam,
akan terdapat zakat yang tak terbayar sekitar satu tahun. Penelitian
Tono Saksono ini tentu mencengangkan kita semua. Ini menjadi PR besar
bagi kita umat Islam. Mendesaknya penyatuan kalender Islam bukan
sekadar kepentingan kelompok-kelompok tertentu saja, tapi ini demi
hutang peradaban Islam yang harus segera terbayarkan dan tentunya
demi kemaslahatan yang lebih besar. Wallahu
A’lam bi ash-Shawab.