Menjalin Hubungan Emas Muhammadiyah dan NU

Jum’at 10 Oktober 2014

Ketika seusai kuliah hari ini hati saya mempunyai sebuah kebijakan untuk berjalan-jalan ke perpustakaan Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) yang letaknya di lantai dua. Mata, hati dan retina saya tertuju pada tumpukan majalah yang terbit tahun 80an s/d 90an. Namun, yang paling menarik perhatian saya adalah majalah Suara Muhammadiyah No. 1/78/1993.

majalah itu berisi tentang hubungan Muhammadiyah dengan NU untuk kemajuan Indonesia. Menurut saya ini pembahasan yang menarik dan penting untuk diungkit, dimana akhir-akhir ini semua orang baik anggota Muhammadiyah atau NU seperti  tidak ingin saling berta’aruf, saling memahami dan saling melengkapi satu sama lain.

Mengapa ini menarik dan penting ? karena agar terciptanya masyarakat Islam Indonesia yang menjadi pelopor, pelangsung bahkan penyempurna dari peradaban Islam yang sudah sekian lama tertidur pulas diatas ranjangnya. Selain itu, Sekarang di Indonesia banyak Ormas Islam yang diimpor dari timur tengah dan Barat yang telah mengubah sebagian paradigma cara berpikir masyarakat Islam Indonesia,mulai dari fundamentalis sampai liberalis yang bisa merusak pondasi keagamaan kita sebagai Muslim.

So, Mengapa harus Muhammadiyah dan NU ? Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa Muhammadiyah dan NU itu adalah Ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Selain itu, diantara pergerakan Islam yang lahir dari rahim abad ke-20, Muhammadiyah dan NU patut dicatat sebagai gerakan yang tetap tegar dan tahan bantingan dalam sejarah.

Menurut Prof. Dr. Ahmad Syafi’I Maarif “Di seluruh dunia Islam, tidak banyak gerakan social kemanusiaan dengan nafas keislaman yang kental yang bertahan mengatasi rintangan: politik, social dan budaya, seperti yang telah ditunjukan oleh Muhammadiyah dan NU.”

Bagi saya, ini merupakan modal yang berharga bagi Indonesia. Bagaimana tidak, tentunya ini merupakan potensi besar yang kita miliki sebagai modal dalam ikut menentukan model peradaban Indonesia masa depan, mengingat Muhammadiyah dan NU ini cukup berpengalaman dalam mengahadapi berbagai rintangan hingga terwujudnya kemerdekaan.

Oleh karena itu, jika meneliti bagaimana sejarah Islam di Indonesia ? apa saja yang ada dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia ? mengapa Islam di Indonesia seperti ini ? siapa tokoh Islam di Indonesia dalam sejarah ? Maka, jawabannya tidak akan jauh dari sejarah berdirinya Muhammadiyah dan NU. Karena, kedua Ormas Islam ini telah memberikan sumbangsih yang begitu besar bukan hanya kepada Agama tapi juga kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini.

Agar terciptanya peradaban Islam di Indonesia dengan gemiling, maka Muhammadiyah dan NU harus saling belajar. Artinya, saling mengisi dalam beberapa hal diantaranya:

Pertama, Dunia Pendidikan

Sejak dulu, Dunia pendidikan Islam di Indonesia diwarnai dua pola besar yaitu pendidikan yang dikelola Muhammadiyah dan NU, yang satu sama lainnya memiliki kelebihan tetapi juga kekurangan. Meski kedua organisasi ini telah berusaha untuk mendidik bangsa dan mencerdasakannya dengan dasar-dasar agama Islam, akan tetapi dalam usia yang panjang masih timbul persoalan jika dihubungkan dengan masa sekarang.
Pertanyaan yang timbul “Apakah system pendidikan yang dikelola oleh Muhammadiyah dan NU ini sudah dipandang memadai untuk membawa bangsa Indonesia delam abad era digital, menjadi bangsa yang maju dan berwibawa secara moral dan intelektual ? sejauh mana kedua ormas ini siap dalam mengahadapi tantangan era golbalisasi ?

Mengacu pada system pendidikan yang dikembangakn oleh Muhammadiyah dan NU ini terletak pada system kepesantrenan. Perbedaan yang paling mendasar adalah Muhammadiyah dalam mengembangkan kepesantrenan itu selalu disertai dengan sekolah (boarding school) sementara kepesantrenan dalam dunia NU masih banyak yang befokus pada ilmu keagamaan semata.

Sebenarnya kalo boleh jujur, dulu ketika era klasik, dunia Islam tidak mengenal dikotomi atau pemisahan antara pelajaran agama dan pelajaran umum. Tapi, pemisahan itu baru muncul setelah ditawarkan oleh Hujjatul Islam Imam al Ghazali.

Nah, kembali ke pertanyaan awal, masihkah relevan jika pendidikan hanya berfocus pada bidang keagamaan saja ? Menurut Drs. Malik Madani, masih belum optimal. Langkah kalangan NU masih jauh dari apa yang seharusnya mampu mereka lakukan. Terutama dalam bidang pendidikan formal, NU harus mengakui jauh tertinggal dari ormas keagamaan lainnya.

Jika kita membuka mata dan pikiran, sebenarnya pesantren-pesantren NU itu bukan usaha NU secara organisatoris, melainkan usaha milik pribadi warga NU yang menjadi Kiyai. Kiyailah yang mendirikan pesantren, bukan NU. Pesantren itu bisa berkembang karena charisma dari seorang Kiyai. Baru kemudian NU mengkoordinir pesantren-pesantren dalam sebuah wadah. Jadi, sejak semula pesantren itu memang milik pribadi Kiyai-kiyai. Maka jelas, jika dunia pendidikan NU hanya berfokus pada ilmu agama.

Jika NU hanya berfokus pada pendidikan agama semata, bagaimana dengan Muhammadiyah ? Muhammadiyah menurut saya lebih mentikberatkan pada ilmu umum tapi tidak menapikan ilmu agama. Namun, akan ada kelemahan dalam system ini.

Kelemahannya adalah adanya dikotomi yang secara tersurat. Artinya, menurut Nourouzzaman “Orang belajar ilmu agama, menganggap ilmu umum itu tidak perlu atau sebaliknya orang yang belajar umum akan menganggap ilmu agama itu tidak perlu.” Padahal, seharusnya ilmu umum itu untuk mencari kebenaran Agama (Islam). Semua dilaksanakan untuk memenuhi perintah agama.  Buku-buku yang ditulis oleh para pakar, baik dalam masalah kedokteran, fiqh, sejarah, astronomi dll adalah untuk melaksanakan perintah Allah dalam usaha mencari kebenaran.

Nah, Muhammadiyah dan NU mempunyai ciri dan karakteristik dalam mengembangkan pendidikan. NU berfokus pada keagamaan dan Muhammadiyah lebih berfokus pada ilmu umum. Siapa yang relevan dalam mengahadapi tantangan globalisasi ?

Menurut Nourouzaman, lagi. Sekiranya Muhammadiyah berhasil dengan metodenya, NU dapat mengambil manfaat darinya atau sebaliknya. Jadi, masing-masing harus belajar dari keberberhasilan yang lain. Nggak perlu mempertahankan yang tidak berhasil.

Dan, sekarang menginjak Tahun 2014, saya melihat Muhammadiyah dan NU mulai saling belajar satu sama lain. Muhammadiyah mulai lebih mendekatkan dirinya pada ilmu agama, dengan bukti fisik mendirikan Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah. Sedangkan NU mulai mempertimbangkan ilmu umum untuk kemajuannya. Yeaah keren! Saling mengisi untuk Indonesia!

Kedua, Segi Pemikiran
Dari segi pemikiran antara Muhammadiyah dengan NU itu seperti hadits dengan ilmu hadits, fiqh dengan ushul fiqh, tafsir dengan ilmu tafsir dan seperti kitab dengan katalog. Menurut Dr. Nucholish Madjid “NU itu gudang yang yang penuh dengan kitab, tetapi tidak punya katalog sedang Muhammadiyah punya katalog, tetapi tidak punya kitab. Kitabnya pinjem terus.”

Apa yang diungkapkan oleh Cak Nur itu mempunyai arti bahwa NU itu punya bahan tetapi tidak mempunyai metodologi, sedangkan Muhammadiyah punya metodologi tetapi tidak punya bahan. Dengan demikian, menurut Muhammad Muqaddas “kelebihan NU adalah memiliki subtansi namun tidak memiliki metodologi untuk mengaktualkan subtansinya. Ini berbeda dengan Muhammadiyah yang mampu mengaktualkan khazanah pemikiran Islam namun tidak mempunyai simpanan bahan yang cukup. Jadi, sewaktu-waktu bisa kehabisan bahan.”

Menurut Cak Nur, “metodologi itu merupakan aspek kemoderanan.” Yaa benar juga, kita lihat Orang-orang Barat maju karena mempunyai metodologi yang bisa mengalahkan kita. Jepang yang maju karena SDMnya bukan karena SDAnya. Meskipun SDA jepang tidak semelimpah Indonesia, namun karena mempunya “metodologi” maka Jepang pun menjadi Negara yang disegani di dunia.

Jadi, ukuran Muhammadiyah dan NU seperti Jepang dan Indonesia. Muhammadiyah tidak mempunyai bahan tetapi mempunyai metodologi untuk mengolah bahan, sebaliknya NU mempunyai bahan namun tidak mempunyai metodologi. Akan tetapi, jika Muhammadiyah hanya terus berfokus pada “mengolah” bahan lama-lama akan mengalami pemiskinan. “Ibarat jepang, karena tidak punya tambang besi, maka akhirnya terpaksa memakai besi bekas sehingga kualitasnya rendah.” Begitu kata Cak Nur.

Nah, disamping baik dan buruknya, benar dan salahnya serta bagus indahnya, seharusnya antara yang mempunyai metodologi dan kitab itu saling integrative dan kompromistis. Saya nggak mau nantinnya jika Muhammadiyah tanpa “bahan” akan seperti jepang yang mempunyai kualitas barang yang rendah. Dan sejujurnya saya pun nggak mau seperti Indonesia yang mempunyai bahan namun tidak diolah oleh orang-orang pribumi.

Ketiga, Dalam Ibadah

Jelas dalam hal ini tidak bisa disatukan karena masing-masing dari Muhammadiyah dan NU mempunyai dalil aqli dan naqlinya. Misal menyangkut qunut, tahlilan dll yang menurut saya ini tidak perlu dibahas. Mengapa ? karena yang ada adalah perpecahan bukan peradaban yang hadir. Jadi, saya berpendapat penyatuan dalam ibadah ini yaa seperti konsep toleransi Islam pada Agama lain. “Saya yaa saya dan kamu yaa kamu.”

Yaa terakhir, sebagai kesimpulan dari saya adalah saya mengharapan dari Muhammadiyah dan NU ini berjuang bersama-sama agar Indonesia semakin maju sebagai Negara yang bermayoritas muslim terbesar di dunia sekaligus merealisasikan mitos siklus tujuh abad.

Muhammadiyah dan NU ini seperti dua sayap pada Garuda. yang menjadi persoalan ialah bagaimana agar dua sayap ini dapat bekerja sama, saling melengkapi untuk bisa terbang seperti burung ?? kita semua tau, burung sulit terbang manakala kedua sayapnya tidak mau mengepak bersama, tidak mau saling melengkapi. Oleh karena itu, menjodohkan dan mendekatkan antara Muhammadiyah dan NU sangat penting agar burung Garuda bisa terbang melintasi cakrawala.
oleh Ilham Ibrahim ( Mahasiswa PUTM )