Gubernur dengan Kendaraan Keledai

KEHIDUPAN para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam banyak dipenuhi berbagai macam pribadi yang menawan yang menjadi suri teladan bagi generasi yang datang kemudian. Pangkal pribadi menawan karena semata-mata karena dorongan keikhlasan dan ajaran Islam, bukan karena pencitraan dan ingin publikasi. Begitu pula para pemimpin-pemimpin Islam di era khalifah Abu Bakar dan Umar Bin Khatab. Mereka adalah orang-orang yang berjuang untuk meninggikan agama Allah dan kemuliaan Islam.
Salah satu diantaranya ialah Salman Al Farisi. Ia adalah salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam yang sangat sederhana dan salah seorang sahabat yang gagah berani lagi cerdas otaknya. Ia mampu menciptakan teori penggalian parit sekitar Madinah, tatkala pasukan musuh mau menggempurnya. Ia juga dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam yang memiliki akhlakul karimah, sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam memasukkannya ke dalam golongan keturunan Nabi (Ahlul Bait).
Di era Khalifah Umar, Salman ditugas sebagai gubernur wilayah Mada’in. Namun Salman menolak .
“Jabatan itu manis waktu memegangnya, tapi pahit waktu melepaskannya“. Tapi karena ini amanah, ia menerimanya sebagai pengabdian kepada Allah.
Umar mengangkatnya bukan tanpa alasan. Seperti diketahui, Salman adalah muallaf muda kelahiran negeri Persia. Ia dijuluki al Farisi sesuai tanah tumpah darahnya, Persia. Dialah pemuda Islam yang berjasa dengan ide penggalian parit panjang dalam melingkari kota Madinah saat Perang Khandaq.
Di zaman pemerintahan Umar, Salman mendaftarkan diri untuk ikut dalam ekspedisi militer ke Persia. Ia ingin membebaskan bangsanya dari genggaman kelaliman Kisra Imperium Persia yang mencekik rakyatnya dengan penindasan dan kekejaman.
Dipilihnya Salman al Farisi sebagai Gubernur di Negeri Madain di Kufah, karena Umar menginginkan seorang amir yang berasal dari suku dan daerah setempat.
Alkisah, berangkatlah Gubernur Salam ke Kuffah memulai tugas barunya menjadi pemimpin penduduk Mada’in. Mendengar gubernur baru akan datang, para penduduk Kufah memadati jalan raya menyambut gegap gempita.
Mereka menyangka Sang Gubernur akan diiringi oleh rombongan besar pasukan. Hingga lelah rakyat menunggu, tiba-tiba datang seseorang dengan menunggang seekor keledai berjalan lambat-lambat.
Melihat ada orang asing yang datang, para penduduk pun bertanya. “Apakah di jalan kau melihat Salman al Farisi yang diutus oleh Khalifah Umar bin Khattab?”
“Akulah Salman al Farisi,” jawabnya singkat
“Jangan mengejek dan mencibir kami, seperti Bani Israil ketika berkata kepada Musa, ‘Apakah engkau mengejek kami?’ Musa menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah sekiranya menjadi seorang dari orang-orang yang jahil.” Kata penduduk Kufah mengutip surah al Baqarah ayat 67.
“Aku berlindung kepada Allah sekiranya aku menjadi satu dari orang-orang yang jahil. Ini bukan waktunya lagi untuk bercanda,” kata Salman.
Penduduk Kufah tentu tak percaya. Maklum, kala itu, penduduk Iraq hidup berdampingan dengan negara Persia yang memiliki istana megah yang dipenuhi emas, perah, sutra dan permadani yang indah. Karena itu, kala itu penduduk Kufah mengira agama Islam adalah agama yang megah dan mewah. Tapi ternyata mereka salah.
“Kami datang secara bersahaja. Kami hidup untuk jiwa, dan kami datang untuk mengangkat derajat iman di dalam hati.”
Gaji Salman sebagai Gubernur Kufah dari Umar sekitar 6.000 Dinar dalam setahun (Kurs Dinar saat ini Rp. 1.800 ribu). Namun gajinya diberika pada fakir miskin. Ia membagi gajinya 3 bagian, sepertiga untuk dirinya, sepertiga untuk hadiah dan sepertiga sisanya untuk sedekah.
Satu hari misalnya, ketika ia melihat seorang Suriah (Syam) kerepotan membawa barang dagangannya, spontan Salman membantu mengangkat. Di tengah jalan, di antara anggota masyarakat ada yang mengenalnya dan mengucapkan salam “Assalamu’alaikum ya Amir“.
Mendengar nama Amir disebut, orang Suriah itu kaget bukan kepalang. Ia tidak mengira, jika “kuli“ yang membawa barangnya adalah Gubernur Negeri Mada’in. Dengan penuh rasa Homsat, orang itu meminta barangnya untuk dibawanya sendiri. Tapi Salman tidak membolehkannya. Ia terus membawanya sampai ke tempat tujuan.
Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash datang ke rumah Salman, ia melihat Salman sedang sedih. “Demi Allah,“ kilah Salman kepada tamunya, “Saya bukan karena takut mati atau mengharap kemewahan hidup di dunia, tapi ingat pesan Rasulullah “Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengelana“. Padahal barang yang saya miliki cukup banyak, “ kata Salman mengakhiri tangisnya.
“Bangunan rumah Salman, hanya sekedar dapat digunakan bernaung di waktu panas dan berteduh di kala hujan. Jika penghuninya berdiri, kepalanya terantuk sampai langit-langit, dan jika berbaring kakinya sampai ke dinding. Sedang di dalamnya tak ada perabotan kecuali sebuah piring untuk makan dan baskom nuntuk persediaan air. Meski demikian, ia tetap risau, menganggap barang-barang yang dimilikinya masih berlebihan.“ (Buku Bunga Rampai Ajaran Islam no 14 , Badruzzaman Busyairi)
Di rumahnya, Salman tanpa ragu mengerjakan sendiri pekerjaan yang semestinya digarap pelayannya. Sedang rumahnya sangat sederhana, tidak mengesankan sebagai rumah seorang Gubernur.
Ia memiliki baju jubah yang juga ia kenakan sebagai alas untuk tidur. Rumahnya lebih menyerupai rumah rakyat kecil yang miskin.
Menjelang wafat, dalam keadaan masih menjadi gubernur, para penduduk melihat harta warisan Salman yang akan ditinggalkan. Tidak lebih, sebuah sorban besar yang ia gunakan untuk alas duduk ketika ada tamu yang datang serta ia gunakan untuk duduk di pengadilan yang ia adakan.Ia memiliki tongkat yang ia gunakan untuk bertopang, berkhutbah dan menjaga diri; serta sebuah wadah untuk makan, mandi dan berwudhu.

Saat sakaratul maut, Salman menangis. Penduduk Kufah pun bertanya, “Kenapa engkau menangis?”
“Aku menangis karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam pernah bersabda kepada kami, “Hendaklah bekal kalian di dunia seperti bekal orang yang bepergian. Sementara kita semua lebih suka menumpuk harta dunia,” demikian Salman mengutip hadits yang diriwayatkan Ahmad.
Penduduk lantas menjawab, “Semoga Allah mengampunimu. Lantas sebanyak apa harta yang kau miliki Salman?”
“Apa kalian meremehkan ini? Aku takut pada hari kiamat akan ditanya tentang sorban, tongkat dan wadah ini,” ujarnya.
Inilah kisah mulia tentang kezuhudan seorang Gubernur Salman al Farisi di saat para pemimpin berebutan kekuasaan, harta dan kekayaan sertah pamrih.*/AU Shalahuddin Z,dari berbagai sumber
Sumber: http://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2014/10/24/31909/gubernur-dengan-kendaraan-keledai.html#.VEnrYiLF8f2