Kisah Iblis Menyamar Kakek Tua Yang Menguji Ke-Ikhlasan

Imam Al-Ghazali dalam
Mukhtashar Ihya’ Ulum al-din pernah bercerita tentang seorang dari kaum Bani
Israil yang rajin beribadah kepada Allah dalam masa yang cukup lama. Hingga
suatu hari, datanglah orang-orang kepadanya melaporkan, “Di sini ada kaum yang
menyembah pohon, bukan menyembah Allah.”

la marah mendengamya.
Tanpa pikir panjang, ia mengambil kapak dan menyandangnya di atas pundak menuju
pohon itu untuk menebangnya. lblis menyambutnya dalam rupa seorang tua,
“Hendak ke mana engkau?” kata Iblis. “Aku mau menebang pohon ini,”
kata si Alim.
Iblis merayunya, “Apa
perlunya engkau dengan pohon itu? Engkau tinggalkan ibadah dengan Tuhanmu, dan
meluangkan diri hanya untuk sebatang pohon.” Si Alim itu dengan tegas
menjawab, “Sungguh ini juga termasuk dalam ibadahku.”
Terjadilah percekcokan
sengit dan perkelahian antara keduanya. Si Alim membantingnya dan menduduki
dadanya. Setelah dilepaskan si Iblis berkata, “Wahai saudaraku,
sesungguhnya Allah telah menggugurkan kewajiban ini darimu dan tidak mewajibkan
atasmu. Engkau bukan seorang Nabi dan tak pula
menyembahnya.” “Tidak, aku harus menebangnya.” Dibanting dan
didudukinya lagi si Iblis, tapi Iblis itu berkata, “Lepaskan aku dulu, biar aku
menjelaskannya.”
Setelah dilepas, Iblis
dalam rupa orang tua itu berkata, “Engkau ini orang miskin yang tidak
punya apa-apa. Mau makan saja engkau harus meminta-minta kepada orang lain.
Tidakkah lebih baik jika engkau bisa bersedekah kepada saudara saudaramu,
membantu tetanggamu, serta menjadi kenyang dan tidak bergantung kepada orang
lain. Maka, tinggalkan urusan ini dan aku akan menaruh dekat tempat ibadahmu
dua dinar setiap malam. Setiap pagi engkau bisa mengambilnya lalu bisa nafkahi
diri dan keluargamu, serta bersedekah kepada saudaramu. Insya Allah, itu lebih
berguna bagimu dan orang-orang Islam sekelilingmu daripada menebang pohon yang
tidak merugikan ataupun bermanfaat buat mereka bila ditebang.”
Si Alim setuju dan
memintanya berjanji dan bersumpah. Lalu kembalilah si Alim itu ke tempat
ibadahnya. Keesokan harinya si Alim mendapati dua dinar di dekat tempat
sujudnya. la pun mengambilnya. Demikian pula esok paginya. Namun, pada hari
ketiga dan berikutnya ia tidak menemukan apa-apa. la pun marah, mengambil kapak
dan menaruh di pundaknya. Orang tua yang sesungguhnya Iblis itu pun
menyambutnya, “Hendak kemanakah engkau?”
“Aku akan menebang
pohon itu,” kata si Alim. Iblis pun menimpali, “Engkau bohong. Demi
Allah engkau tidak akan mampu melakukannya dan tidak ada jalan bagimu
menujunya.” Si alim mencoba melawannya, membanting dan menindih dadanya.
Sayang, kali ini, si Alim tidak berdaya dan justru dibanting dan ditindih oleh
si Iblis. Bahkan, si orang tua Iblis itu justru mengancam membunuhnya. Si Alim
kaget dan bertanya kepada si Iblis mengapa ia bisa kalah?
“Sebelumnya
engkau marah karena Allah dan niatmu adalah akhirat, maka Allah menundukkanku
di hadapanmu. Kali ini engkau marah karena dirimu sendiri dan karena dunia yang
tidak engkau dapati di pagi hari, maka aku berhasil menghajarmu,” jawab iblis bangga.
Kisah ini semakna
dengan firman Allah dalam Qs. Al-Hijr: 40, “Kecuali hamba-hamba-Mu yang
ikhlas (mukhlas) di antara mereka.” Ikhlas menjadi salah satu tanda
kecerdasan jiwa. Seorang yang ikhlas melakukan kebaikan bukan karena diperintah
orang atau ingin bereaksi atas suatu situasi, melainkan karena niat tulus yang
melimpah dalam hati. Di antara tanda bahwa ia memiliki niat yang baik adalah
tidak malas, tidak panik atau tak putus asa tatkala menemui kesulitan. Orang
yang baik niatnya, tidak gampang menyerah dan hanya kepada Allah senantiasa
berserah. Keikhlasan dan kesungguhan adalah wujud iman dan Islam. Dan ikhlas
merupakan inti ajaran Islam.
Kendati demikian,
ikhlas tetaplah rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Malaikat pencatat amal
tidak tahu sedikitpun mengenalnya untuk dapat dia tulis. Setan dan iblis tidak
mengetahuinya hingga tak dapat merusaknya. Nafsu pun tidak menyadarinya
sehingga tak mampu dipengaruhi. Jika boleh
digambarkan, kata
Syekh Abdurrahman al-Lajaiy (w. 599H) dalam Syams al-Qulub, amal adalah tubuh,
sementara ikhlas adalah ruhnya. Setiap jasad tanpa ruh di dalamnya adalah
bangkai, dan tentu akan dibuang. Barang siapa mengerjakan suatu amal kebaikan
untuk Allah tanpa disertai ikhlas, ia laksana menghadiahkan mayat budak kepada
seorang penguasa demi mendapat ridlanya. Jadilah hadiah itu sebagai penghinaan
bagi sang penguasa.
Kisah Imam Al-Ghazali
seakan hendak menggambarkan seseorang yang aktif di Muhammadiyah. Awalnya, ia
begitu tulus-ikhlas tanpa pamrih berkiprah di dalamnya. Namun, ketika sudah dan
pernah diuji dengan jabatan tertentu di sebuah amal usaha, ia (kadangkala)
goyah. Tandanya beragam: ia mulai enggan mengikuti kegiatan di Persyaiikatan;
menghitung untung-rugi setiap kegiatan yang diikutinya; menonaktifkan diri dari
Muhammadiyah karena tidak diberi jabatan dan penghidupan. Semoga kita semua
dikaruniai keikhlasan dalam ber-Muhammadiyah:
Bahrus Surur-lyunk, 

Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah I Sumenep