Sejarah Masuknya Islam dan Peran Dakwah Muhammadiyah di Alor NTT

Kabupaten Alor sebagai salah satu dari 16 Kabupaten/Kota di Provinsi
Nusa Tenggara Timur adalah wilayah kepulauan dengan 15 pulau yaitu 9
pulau yang telah dihuni dan 6 pulau lainnya belum atau tidak
berpenghuni. Luas wilayah daratan 2.864,64 km², luas wilayah perairan
10.773,62 km² dan panjang garis pantai 287,1 km. Secara geografis daerah
ini terletak di bagian utara dan paling timur dari wilayah Provinsi
Nusa Tenggara Timur pada 8º6’LS – 8º36’ LS dan 123º48’ BT – 125º48’ BT.
Batas alam Kabupaten Alor di sebelah utara dengan Laut Flores, sebelah
selatan dengan Selat Ombay, sebelah timur dengan Selat Wetar dan
perairan Republik Demokratik Timor Leste dan sebelah barat dengan Selat
Alor (Kabupaten Lembata).
 
Pulau Alor merupakan bagian dari Kabupaten Alor, Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) sekitar 260 km dari Kupang (Ibu Kota Provinsi NTT),
360 km dari Ende (Flores), dan 1600 km sebelah Timur Ibu Kota Jakarta.
Lokasi ini bisa dicapai dengan menggunakan kapal boat dari Kupang selama
sekitar 8 jam atau 55 menit dengan menggunakan pesawat udara melalui
Bandara Mali.
Secara geografis kondisi daerah Alor merupakan daerah dengan
pegunungan yang tinggi, dibatasi oleh lembah juga jurang yang cukup
dalam dan sekitar 60 persen wilayahnya mempunyai tingkat kemiringan di
atas 40 persen. Iklim yang tidak menentu merupakan hambatan atau masalah
yang klasik di Alor. Selain itu curah hujan yang juga tidak menentu dan
merata dimana musim penghujan relatif lebih pendek daripada musim
kemarau. Keadaan geografis yang berbukit dan wilayah yang terjal
merupakan tantangan tersendiri bagi para dai.
Sejarah Masuknya Islam
Badruzzaman, peneliti pada Balai Litbang Agama Makassar, menuliskan
bahwa agama risalah yang paling pertama masuk di Kabupaten Alor adalah
Agama Islam. Agama yang diperkirakan masuk pada abad 16 Masehi (ada pula
sumber yang menyatakan abad 14 Masehi) bersamaan dengan jayanya
Kerajaan Islam di Ternate, Maluku yaitu masa kesultanan Sultan Ternate
yang bernama Babullah. Islam masuk ke Alor dengan dibawa oleh seseorang
bernama Iang Gogo bersama-sama dengan lima orang saudaranya (demikian
dituturkan Bapak Saleh Pango Gogo, keturunan ke 13 Iang Gogo).
Dalam perjalanan, mereka berkesempatan singgah di salah satu daerah
kecil yang sekarang disebut Desa Aimoli, tempat berdiamnya Raja
Baololong I. Mereka membangun persaudaraan dengan Raja Baololong.

Bentuk jalinan persaudaraan tersebut, sebelum mereka melanjutkan
perjalanan, adalah kelima bersaudara mengadakan tukar menukar
kenang-kenangan dengan Raja Baololong I. Kenang-kenangan persaudaraaan
berupa Moko (Nekara perunggu peninggalan Kebudayaan Dongson, Vietnam)
yang diserahkan oleh Iang Gogo dan saudaranya sedangkan Raja Baololong
membalas persahabatannya dengan menyerahkan Pisau.

Dari perjalanan ke Pulau Pantar khususnya ke Balagar kelima bersaudara
meneruskan perjalanan ke Tuabang. Di Tuabang inilah mereka bersepakat
untuk berpisah dengan masing-masing membawa sebuah Alquran (terbuat dari
kulit kayu) dan pisau khitan, sebagai bekal menyiarkan Agama Islam.
Ilyas Gogo menetap di Tuabang, Iang Gogo ke Alor Besar (tempat dimana
Alquran Kulit Kayu disimpan dan dipelihara dengan baik hingga saat ini),
Djou Gogo ke Baranusa, Boi Gogo ke Pulau Adonara (Lamahala) Flores
Timur dan Kimalis Gogo ke Kui (Lerambaing) Kecamatan Alor Barat Daya. Di
tempat masing-masing itulah kelima bersaudara melakukan tugas mulia
yaitu menyiarkan Agama Islam kepada pada penduduk yang saat itu masih
menganut kepercayaan lokal.
Dari awal kedatangan Iang Gogo di Alor Besar, Agama Islam mulai
tersebar di Kabupaten Alor. Iang Gogo menyampaikan Alquran Kulit Kayu
kepada Raja Baololong II, sekaligus melakukan aktifitas keagamaan
sebagai Guru Agama Islam kepada penduduk dengan mengajarkan tata cara
mengaji, shalat lima waktu, puasa zakat, berakhlak mulia dan lain-lain
sekaligus sebagai juru khitan.
Generasi Baru Dakwah Islam
Saat ini, lembaga sosial keagamaan Islam dan lembaga pendidikan Islam
sudah mulai tumbuh di Kabupaten Alor. Dalam rentang waktu yang sangat
panjang, saat ini juga telah banyak pemuda muslim dari Alor yang menimba
ilmu Islam di Pulau Jawa. Baik dalam pesantren maupun sekolah dan
universitas. Sarjana dan lulusan pesantren itu telah banyak pula yang
kembali ke Alor dan berkiprah dalam mengembangkan Alor dan dakwah Islam.
Abdullah Rahman Shaleh, dai muda (36 tahun) yang kelahiran Marica
(Desa Kayang), misalnya dapat dikatakan sebagai penerus tongkat estafet
dakwah Islam di Alor. Sudah sekitar dua tahun secara rutin ia
menyambangi pulau-pulau di Kabupaten Alor untuk berdakwah. Pada tahun
2007, Rahman direkomendasikan sebagai Dai Muhammadiyah dari Pimpinan
Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Alor NTT. Ia diusulkan menjadi Dai
Muhammadiyah di Kecamatan Teluk Mutiara dan Kecamatan Alor Barat Laut.
Pertimbangan dari PDM Kabupaten Alor terhadap kebutuhan Dai pada
waktu itu adalah posisi kehidupan beragama di Kabupaten Alor-NTT di mana
umat Islam merupakan kelompok minoritas dan rawan kristenisasi,
sehingga perlu mendapatkan perhatian. Dai yang khusus membina umat di
wilayah Kecamatan dan Pedesaan pun belum ada pada saat itu.
Melihat pertimbangan itu, MTDK PP Muhammadiyah mengangkat lulusan
Program Studi Sastra Arab Universitas Gajah Mada (UGM) ini sebagai dai
khusus untuk Program Dakwah Terpencil wilayah Kabupaten Alor-NTT pada
tahun 2008. Sebagai dai khusus, hari-hari Rahman diisi dengan dakwah di
berbagai tempat. Terutama di daerah terdekatnya dengan pembinaan kepada
anak-anak di lingkungan terdekat. Kegiatan pembinaan bagi anak-anak
dilakukan dengan mengadakan pengajian dan mengajar Al Quran. Selain itu,
memakmurkan masjid dengan melakukan pembinaan jamaah dan generasi muda.
Setiap pekan da’i khusus ini juga mengunjungi desa-desa untuk
berkhutbah. Tidak hanya sekali, tetapi kadang lebih dari itu ketika ada
undangan untuk mengisi materi di suatu tempat dengan jarak yang jauh.
Tidak jarang ia harus naik-turun bukit melintasi jalan yang rusak dan
juga menyeberang laut ke pulau-pulau lainnya di Kabupaten Alor. Kegiatan
pekanan yang dilakukan kebanyakan adalah khutbah Jumat dan
ceramah-ceramah di berbagai majelis ta’lim. Di sela-sela kesibukannya
sebagai dai ia juga menjadi Dosen Luar Biasa Universitas Muhammadiyah
Kupang, Kampus II Kalabahi pada 2008.
Kondisi alam di Alor membuat beberapa daerah menjadi sulit dijangkau.
Selain sarana jalan masih kurang baik, juga disebabkan transportasi
laut yang membutuhkan biaya tinggi. Kondisi alam seperti itu tentu
menjadi tantangan tersendiri di dalam penyampaian dakwah Islam dan
pengembangan umat. Apalagi dana untuk dakwah terpencil yang dianggarkan
dapat dikatakan sangat tidak memadai dengan memperhatikan kondisi Alor
yang seperti itu. Kendati demikian, upaya para dai dalam membingkai
pulau-pulau di Alor dengan dakwah Islam tidak tersurutkan. Bahkan
memperlihatkan geliat dakwah yang lebih baik.
Di samping Rahman, ada pula Gunawan Bala. Pemuda kelahiran Pulau
Kangge, 12 April 1977 ini sejak tahun 2004 telah memulai aktivitas
dakwah bersama teman-temannya yang rata-rata adalah lulusan pesantren
maupun universitas di Pulau Jawa. Dakwah yang dilakukan pertama kali
secara non formal dan bersifat umum. Berbekal pengalaman dari pendidikan
pesantren di Jawa Barat, kegiatan dakwah yang pertama kali dilakukan
Gunawan bersama teman-temannya itu dibungkus dengan rangkaian program
Safari Ramadhan di Kabupaten Alor.
Dai tamatan pesantren Persis yang juga sempat direkomendasikan PDM
Kabupaten Alor sebagai Dai Muhammadiyah di Kecamatan Pantar, Pantar
Timur dan Kecamatan Pulau Pura ini sering bersama ormas-ormas Islam yang
ada melaksanakan berbagai pembinaan-pembinaan di masjid-masjid, yaitu
pembinaan Khatib, Imam, Azan, dan Pengurus Mesjid sebagai inti dari
penyelenggara masjid. Kegiatan itulah yang menjadi fokus utama dakwah
saat itu.
Selanjutnya, ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam,
dan lembaga-lembaga dakwah lokal misalnya eLDaTa (Lembaga Dakwah dan
Ta’lim) dimana perintisnya adalah Alumni dari pesantren di Jawa telah
membina beberapa masjid di beberapa kecamatan di Kabupaten Alor. Ia
mengatakan bahwa sampai hari ini dakwah yang dilakukan oleh para dai
sudah hampir merata di seluruh pelosok Alor. Baik yang bergerak secara
kelembagaan melalui lembaga-lembaga pendidikan sebagai guru ataupun
dengan ormas-ormas Islam bersama dalam melaksanakan program-program
dakwah rutin semacam Ta’lim pekanan bekerjasama dengan majelis ta’lim
setempat. Baik majelis ta’lim Aisyiyah, Persistri, ataupun ibu-ibu
Dharma Wanita yang berasal dari istri-istri pegawai negeri sipil.
Selain ormas-ormas Islam yang menyemarakkan dakwah, di Alor ada pula
kelompok-kelompok suku seperti pemuda Sulawesi Selatan dan keluarga
besar dari himpunan Jawa, yang merantau dan punya Majelis Ta’lim sendiri
di Alor. Kelompok itu menjalankan pengajian tersendiri akan tetapi
dai-dai baik dari Muhammadiyah maupun Persis dan eL DaTa yang mengisi
kajian-kajian di sana. Jadi, artinya dakwah sekarang walaupun berjalan
baru beberapa tahun sudah sampai ke pelosok-pelosok desa yang sangat
jauh dari jangkauan sebelumnya dan juga dari beragam latar belakang.
Selain itu, berkat dakwah dari generasi awal Islam seperti Iang Gogo di
Alor dan pantang surutnya dai-dai muda saat ini hampir semua pulau telah
terdapat kelompok muslim.
Kendati muslim hanya sekitar 27 % dari jumlah penduduk yang ada,
Gunawan Bala mengungkapkan bahwa tidak ada tekanan yang berlebihan dari
kelompok agama lainnya. Bahkan, secara politik perwakilan dari Partai
Islam yang ada dapat menduduki lebih dari lima kursi di Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah di Alor. Yang menarik perhatian adalah banyak orang Islam
yang kuliah di Universitas Katolik Widya Mandira (Unika) Kupang dan
Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Sebaliknya, 70 persen non
muslim menjadi mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK).
Mengenai upaya pengembangan umat, Rahman mengungkapkan bahwa potensi
yang dapat dikembangkan adalah budidaya rumput laut yang mulai
berkembang di masyarakat pesisir. Di samping itu, pada masyarakat di
dataran tinggi cengkeh merupakan salah satu komoditi terbaik yang dapat
dikembangkan. Untuk kondisi alam seperti Alor, Gunawan Bala mengusulkan
agar dai bersama lembaga Islam lainnya juga dapat mengembangkan
transportasi laut sehingga dapat memajukan ekonomi umat dan mempermudah
gerak dakwah para dai dari pulau ke pulau. [sp/senyumislam]