Praxis and Religious Authority in Islam: The Case of Ahmad Dahlan, Founder of Muhammadiyah

Description
Otoritas tertinggi dalam Islam adalah al-Qur’an dan hadis. Namun
pertanyaan akan siapa yang paling otoritatif untuk menafsirkan dua
sumber hukum tersebut hingga sekarang terus menjadi perdebatan. Para
ahli Islam setidaknya mencatat beberapa sumber otoritas dalam Islam.
Pertama, karena sumber utama Islam berbahasa Arab, maka hanya mereka
yang paham struktur gramatika, kosakata, semantik, dan retorika bahasa
Arab sajalah yang dapat dan sah untuk menafsirkannya.

Kedua, di beberapa daerah, tradisi lokal memiliki peran cukup penting
dalam penentuan otoritas keagamaan. Di Afrika dan Asia Tenggara,
misalnya, otoritas keagamaan cenderung diberikan kepada seseorang yang
memiliki atau menguasai kekuatan gaib tertentu. Sementara di daerah yang
memiliki tradisi sufi cukup kuat, otoritas itu diberikan kepada
seseorang yang berhasil memperoleh kekeramatan lewat praktik-praktik
asketik, atau karena memiliki latar belakang genealogis dengan Nabi.

Ketiga, dalam konteks masyarakat modern, pendidikan dan penerjemahan
kitab suci ke beberapa bahasa rupanya menjadikan konsep tentang otoritas
dalam Islam mengalami perubahan yang cukup signi kan. Di masa ini,
kapabilitas seseorang dalam menafsirkan urusan duniawi ke dalam
istilah-istilah yang sangat Islami serta penegasan atas komitmen
keislaman menjadi kata kunci untuk menentukan siapa yang berhak memiliki
otoritas keislaman. Dalam konteks itu, seseorang yang meski tidak
memiliki penguasaan ilmu-ilmu tradisional keislaman dan pernah belajar
kepada ulama kenamaan dalam rentang waktu tertentu, namun memiliki
kepekaan wacana Islam dalam berbagai urusan yang bersifat duniawi dapat
dipandang sebagai orang yang memiliki otoritas keagamaan.

Konteks modernitas tersebut pada gilirannya menerbitkan sebuah
pertanyaan bagaimanakah Islam melihat atau menilai praksis di ranah
politik-ekonomi dan sosial-budaya serta peran apakah yang dapat
dimainkannya dalam pembentukan legitimasi dan kepemimpinan keagamaan.
Untuk itu, tulisan ini coba memotret K.H. Ahmad Dahlan. Ia adalah sosok
yang meski tak berlatar pendidikan Islam asuhan ulama besar dan tak
memiliki kekuatan mistis sebagai sumber otoritas tradisional, berhasil
mendirikan salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah. Otoritas keagamaan
yang disematkan kepada tokoh kelahiran Yogyakarta pada 1868 ini lebih
bersumber pada praksis dan dedikasinya di dunia pendidikan, reformasi
pandangan keislaman tradisional, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat
kecil.

Di bidang keagamaan, Dahlan terpengaruh oleh pandangan reformis Islam
Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, dan Rasyid Ridha. Dari situ
Dahlan berkeyakinan bahwa praktik keislaman semestinya dikembalikan pada
ajaran al-Quran dan hadis. Ia kemudian berusaha membersihkan seluruh
praktik keagamaan umat Islam Indonesia dari unsur budaya yang tidak Islami,
sinkretis. Di bidang pendidikan, tidak seperti tokoh agama pada umumnya,
ia sangat mengapresiasi ilmu pengetahuan modern dan capaian peradaban
Barat. Ia keberatan dengan pandangan tradisional yang menyatakan bahwa
Islam bertentangan dengan modernitas dan karenanya harus menolak semua pengaruh budaya Barat.

Apresiasi terhadap Barat inilah yang di kemudian waktu menjadi alasan
Dahlan untuk bergabung dengan Budi Utomo, sebuah organisasi modern yang
salah satu konsentrasinya adalah memajukan pendidikan untuk kaum
pribumi. Sementara di bidang ekonomi, Dahlan begitu mengutamakan
kemandirian dan pemberdayaan kaum miskin. Ia sangat memperhatikan kaum yang disebut terakhir itu dan kerap membantunya hingga memiliki kemandirian ekonomi.

Faktor-faktor di atas, terutama pengalaman di organisasi modern dan
keinginan yang kuat untuk mewujudkan pendidikan modern, akhirnya
memunculkan keyakinan Dahlan untuk mendirikan sebuah organisasi Islam
bernama Muhammadiyah. Lewat pendirian organisasi inilah semua idealitas
pandangan keagamaan Dahlan disuarakan. Dan dengan itu, otoritas
keagamaan Dahlan pun semakin tak tergoyahkan.

Di atas segalanya, satu poin penting yang membuat otoritas keagamaan
Dahlan diakui adalah pandangan keagamaannya yang berbasis pada sisi
praksis. Baginya, memahami kitab suci tak bisa dilakukan hanya dengan
menghapal dan menafsirkan. Lebih penting dari itu semua adalah aksi
nyata, mempraktikkan ajaran (‘amal). Dari perjalanan Ahmad Dahlan,
tulisan ini menyimpulkan bahwa praksis di bidang politik-ekonomi dan
sosial-budaya dapat menjadi salah satu sumber legitimasi bagi
pembentukan otoritas keagamaan dalam konteks masyarakat Islam modern.

Author: Hyung-Jun Kim   Studia Islamika Volume 17, Number 1,

*(muhammadiyahstudies/SP)