Posisi Muhammadiyah Dalam Pilpres

Pilpres
merupakan salah satu potensi demokrasi untuk menentukan kepemimpinan
bagi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, sebagai salah satu
organi sasi masyarakat di republik ini maka sikap Muhammadiyah menjadi
salah satu barometer terhadap proses demokrasi melalui pilpres. Terkait
hal ini, sikap Muhammadiyah sangat jelas yaitu tidak berpolitik, tidak
mendukung salah satu kandidat atau netral. Paling tidak, ini dipertegas
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin pada sidang Tanwir di
Samarinda 23-25 Mei 2014 dan juga pada acara Tablig Akbar Hari
Ber-Muhammadiyah se-Jawa Tengah, Milad Aisyiyah 1 Abad, serta Muktamar
IMM ke-16 di Stadion Manahan Solo 27 Mei 2014.

Komitmen netral
tersebut berlaku menyeluruh mulai dari pimpinan pusat sampai ke tingkat
ranting di semua daerah. Oleh karena itu, komitmen netral ini menjadi
moda Muham madiyah untuk tidak mengambil peran di semua kampanye dan
atau kegiatan perpolitikan lainnya. Bahkan, pada saat pileg juga ada
regulasi yang jelas,siapa pun kader Muhammadiyah yang menjadi caleg
harus merelakan diri untuk mundur dari atribut Muhammadiyah. Penekanan
ini sekaligus memperjelas arah pergerakan Muhammadiyah untuk tetap fokus
sebagai persyarikatan yang mengacu pada gerakan sosial, bukan orientasi
politik.

Komitmen

Fokus terhadap gerakan sosial bagi
Muhammadiyah bukan berarti mengebiri hak-hak di dunia perpolitikan. Oleh
karena itu, dalam Tanwir Muhammadiyah di Samarinda 23-25 Mei 2014,
Pimpinan Pusat Muhammadiyah berharap agar hal ini menjadi gerakan awal
kembali ke khitah sehingga tanwir tidak dimanfaatkan untuk kepentingan
politik karena bersamaan dengan pilpres.

Jika dicermati
sebenarnya memang sangat tipis untuk membedakan politik praktis yang
dilakukan sejumlah organisasi berbasis keagamaan dengan sikap netralitas
yang menjadi muara terhadap modernitas kehidupan berdemokrasi. Di satu
sisi, memang ada beberapa organisasi berbasis keagamaan yang secara
jelas menyatakan sikap mendukung kandidat tertentu pada pilpres
mendatang. Bahkan, ada beberapa tokoh organisasi nya menjadi tim sukses
pemenangan pilpres. Di sisi lain, sikap Muhammadiyah cenderung berbeda
dan tidak dibe narkan ada warga dan atau simpatisan Muhammadiyah yang
mendukung arah politik dari masing-masing kandidat dalam pilpres
mendatang. Oleh karena itu, sikap ini memberikan pengaruh positif dari
kedua kandidat untuk tidak sowan ke sejumlah tokoh Muhammadiyah.

Yang
menarik dari sikap politik Muhammadiyah terkait pilpres adalah
pernyataan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam pembukaan
tan wir di Samarinda bahwa per gerakan Muhammadiyah tidak bisa lepas
dari kehidupan demokrasi ka rena ritme demokrasi secara tidak langsung
berpengaruh terhadap kehidupan sosial di masyarakat, sementara
Muhammadiyah berada di lingkup tujuan sosial dalam kehidupan keseharian.

Oleh karena itu, dinamika kehidupan demokrasi, termasuk
pilpres, menjadi bagian ritme kehidupan pergerakan Muhammadiyah.
Artinya, jika tidak ada kesadaran kolektif terhadap kondisi ini maka
tentu sangat rawan bagi Muhammadiyah untuk terlibat dalam politik
praktis. Meski demikian, sebagai organi sasi keagamaan yang memiliki
amal usaha tersebar di berbagai daerah dan memiliki basis umat terbesar
maka Muhammadiyah berkepentingan untuk menyuarakan kepada warganya dan
tentu juga bagi masyarakat untuk selektif memilih pemimpin.

Peran sosialKiprah
Muhammadiyah yang kali ini sudah berusia 102 tahun tentu diharapkan
mampu memberikan kontribusi positif, tidak hanya bagi warganya, tapi
juga masyarakat melalui berbagai gerakan sosial yang dilakukannya. Oleh
karena itu, memberikan edukasi terkait pemilihan kepemimpinan menjadi
sangat penting.

Meski demikian, hal ini tidaklah harus terlibat
secara langsung dalam politik praktis, apalagi sampai melakukan gerakan
untuk mendukung salah satu kandidat dalam pilpres mendatang. Artinya,
penegasan Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjadi acuan bagi semua warganya
dan juga tokoh-tokoh ormas atau parpol untuk menghargai sikap ini.
Paling tidak, penegasan ini untuk menghindari sikap-sikap politik
tertentu yang berusaha untuk memancing keterlibatan tokoh-tokoh di
Muhammadiyah atau Muhammadiyah itu sendiri.

Secara riil diakui
pascaseabad pergerakan Muhammadiyah justru mengingatkan bahwa
Muhammadiyah memang harus melakukan reorientasi ke semua amal usaha agar
kiprah ke depan Muhammadiyah bisa makin konkret. Hal ini bukan tidak
beralasan sebab bagaimanapun juga keberadaan Muhammadiyah sebagai salah
satu ormas Islam terbesar di Indonesia memiliki tanggung jawab
moral-spiritual yang tidak kecil. Bahkan, di era otda ini, dengan amal
usaha yang tersebar, kiprah Muhammadiyah sangatlah diharapkan mampu
memicu dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umat
dan masyarakat secara berkelanjutan.

Oleh karena itu, netralitas
dalam pilpres menjadi modal besar bagi Muhammadiyah untuk tetap fokus
sebagai gerakan sosial keagamaan, bukan terjun dalam politik praktis.Edy Purwo Saputro
Dosen di FEB Universitas Muhammadiyah Solo