Kisah Ulama Besar Menolak Menjadi Dubes RI Karena Sang Istri

Pada
Ramadan lalu saya ingat cinta seorang lelaki berkopiah kepada seorang
perempuan muslimah mungkin perempuan terbaik dalam hidupnya.
Di masa sulit pemerintahan
Soekarno, di suatu sore di bulan Ramadan, muslimah yang dicintai
seorang lelaki berpeci itu menunggu kedatangan tukang susu murni.
Tukang susu langganannya biasa mengantar susu tiap sore pukul empat. Sementara anaknya, yang rutin minum susu murni itu, biasa minum pukul lima sore. Tapi pukul empat, setengah empat, pukul lima berlalu tukang susu tak kunjung datang. Perempuan itu mulai panik. Waktu maghrib datang tukang susu baru tiba.
Perempuan muslimah yang khawatir itu melangkah tergesa-gesa ke luar
rumah. Mungkin akan marah-marah.
Cepat-cepat tukang susu
mengeluarkan termos kecil dari tasnya, menyerahkan susu pesanan
perempuan itu, dan meminta maaf. “Ada halangan di jalan,” katanya.
Tukang susu kemudian buru-buru mohon ijin membatalkan puasa.
Tapi
perempuan muslimah itu tidak marah-marah kita sudah salah sangka. Malah
ditawarinya tukang susu untuk berbuka puasa bersama suami dan
anak-anaknya.
Tukang susu menolak, mungkin segan. Apalagi ia baru
saja bikin salah. Tapi barangkali kebaikan memang harus diperjuangkan:
kalau menolak ke dalam, makan di teras saja.
Terjadilah kompromi.
Atas buka gratis yang tak bisa ditolak hari itu, tukang susu berkata:
“Terima kasih. Saya belum pernah menemui ibu yang sebaik Ibu.”
Setelah peristiwa itu tukang susu selalu datang lebih awal, sekitar
pukul tiga sore, dengan susu perahan yang masih hangat—tapi, tentu saja,
bukan ini yang penting.
Di sore Ramadan yang lain,
bertahun-tahun setelah peristiwa tukang susu, sehabis perempuan itu
menyiram bunga-bunga di halaman, seorang pedagang pisang berhenti.
“Permisi, Nyonya Besar,” katanya, “Tolong dibeli supaya saya bisa buka puasa dan buat ongkos saya pulang ke kampung.”
Perempuan itu mengamati tandan-tandan. Hanya dilihatnya pisang yang
layu dengan kulit yang bocel-bocel. Mengerti kekurangan-kekurangan
pisangnya, tukang pisang itu sekali lagi memohon dengan risau. “Saya
jual dua sisir sepuluh ribu, Nyonya.”
Tapi transaksi belum terjadi ketika terdengar adzan maghrib. Tampak tukang pisang kebingungan.
Mungkin karena ia tak ada rupiah atau sekedar air putih buat membatalkan puasa. Nyonya baik hati itu mengerti: ia menawarkan tukang pisang untuk
membatalkan puasa sekalian makan bersama suami dan anak-anaknya di dalam
rumah.
Tapi, sama seperti cerita tukang susu, tukang pisang
merasa sungkan, “Saya minta air teh saja, jangan diajak masuk.”
Perempuan itu tidak memaksa. Ia hanya meminta pembantu membawakan minum
dan kolak pisang, beserta nasi dan lauk pauk sebagai makan malam tukang
pisang.
Selesai berbuka dan makan malam sang nyonya membeli
pisang dua sisir. Ia tak memborongnya. “Kalau saya semua nanti malah
saya yang jadi tukang pisang,” perempuan itu bergurau. Ia memberi tukang
pisang sepuluh ribu, ditambah lima belas ribu tambahan buat ongkos
pulang naik angkot, bis, dan ojek.
Tentu saja kebaikan perempuan
itu tidak hanya di rumah, dan tidak hanya kepada kaum yang sering
membungkuk dalam-dalam tiap ketemu tuan dan nyonya besar seperti tukang
pisang dan tukang susu dalam cerita di atas.
Tiap Ramadan,
perempuan itu membuat daftar siapa-siapa kerabat yang akan dikunjungi.
Ia tak pilih-pilih, entah itu kaya atau miskin.
Selama masih di
Jakarta, bahkan kerabat yang rumahnya di tengah wilayah pelacuran pun
didatangi. Ia tak peduli kata orang karena tak ada yang salah dengan
silaturahim (saudaranya sampai menangis karena haru). Dan ia tidak
mengharuskan yang lebih muda mendatangi yang tua semua sama, tak ada
yang harus merasa paling layak untuk memulai.
Mungkin karena akhlak semacam itu, lelaki berkopiah yang mencintai perempuan muslimah baik hati itu menaruh hormat.
Lelaki itu, misalnya, menuruti saran sang perempuan agar dirinya tidak
menerima pangkat mayor jenderal tituler dari pemerintah (wakil
pemerintah dalam hal ini, waktu itu, Jenderal Nasution). Begitu pula
saat lelaki itu ditawari menjabat Duta Besar RI di Arab Saudi.
Kekuasaan dan kelimpahan harta di depan mata, tapi perempuan yang selalu
di sisinya bertanya: “Kalau sibuk, kapan waktu untuk mengaji Al-Quran
yang tidak pernah ditinggalkan sejak kecil, kapan waktu untuk membaca
dan menambah ilmu pertanyaan yang bertaut pada akhirat.”
Perempuan itu ingin lelaki yang mencintainya, yang dicintainya, memilih
peran di sebuah masjid yang baru berdiri di dekat komplek rumahnya:
Masjid Agung Al-Azhar. “Lebih terhormat dihadapan Allah,” katanya kita
bisa membayangkan tatapannya yang lembut tapi yakin.
Dan lelaki
itu menurut. Perempuan itu telah memberinya keteguhan hati:
“Jangan-jangan ia memang tak butuh pangkat dan jabatan, jangan-jangan
ada yang jauh lebih berharga ketimbang sejumlah rupiah dan sebuah
posisi.”
Maka saya ingat, setelah perempuan itu wafat, lelaki
berkopiah itu selalu shalat sunnah dan berdoa jika ingat padanya
—perempuan terbaik dalam hidupnya— dan kuat sekali lanjut membaca kitab
suci sampai 5-6 jam sampai mengantuk, sampai 6-7 kali khatam per bulan.
Ketika anaknya bertanya kenapa ia begitu rajin, sampai lembur mendoakan
segala, lelaki itu berkata sesuatu yang memang tak mudah: “Ayah takut,
kecintaan Ayah kepada Ummi melebihi kecintaan Ayah kepada Allah.”
Saya ingat siapa lelaki yang mengajari kita tentang cinta dan aqidah itu: namanya Hamka. Dan perempuan itu: istrinya. Akhlak istri adalah cerminan akhlak suami, kalau kata orang.

oleh : Aliya Imadudeen