Zakat : Meretas Kompleksitas Usaha Mikro

ZAKAT memang hebat. Ia mampu memberi
resonansi dalam aspek pemberdayaan masyarakat, sekaligus memberi
kekuatan magnetis untuk menarik berbagai kekuatan partikel umat sehingga
jumlah muzaki kian bertambah. Kekuatan resonansi dimaknakan sebagai
efek kemaslahatan yang diberikan instrumen zakat, karena terbukti secara
historis dan empiris memicu redistribusi aset demi keadilan dan
pemerataan. Kekuatan magnetis dimaknakan, sebagai kemampuan instrumen
zakat mengakumulasi aset, yang dipicu oleh kekuatan eskatologis yang
berdimensi ibadah, sebagai panggilan Allah yang terekspresi dalam rukun
Islam. 
Tulisan ini, lebih
menengok spektrum resonansi, karena sesungguhnya jika zakat dioptimalkan
dan diefektifkan, maka satu persoalan penting masalah kemiskinan akan
tereduksi. Karena itu, ada dua hal penting dalam aspek manajamen zakat,
yakni, efektifitas penarikan dan efektifitas alokasi/distribusi.

Usaha Mikro

Pelaku
usaha dibagi atas pelaku usaha kecil, menengah dan besar. Usaha kecil
(small firms) biasanya didefnisikan sebagai kegiatan usaha dengan jumlah
tenaga kerja antara 10-50 orang, dan usaha sangat kecil (very small
firms) atau kerapkali disebut usaha kecil mikro jumlah tenaga kerjanya
antara 5-10 orang. Perusahaan dengan jumlah tenaga kerja kurang dari
lima orang sering disebut dengan cottage shop dan pada umumnya
dijalankan di rumah (household manufacturing) atau di bengkel-bengkel
kecil (small workshop). 

Oleh
karena usaha mikro adalah bagian dari gerakan ekonomi rakyat dan zakat
adalah instrumen strategis dalam pemberdayaan ekonomi rakyat, menjadi
penting alokasi dan distribusi dana zakat diarahkan pada penguatan usaha
mikro. Hanya persoalannya, penguatan usaha mikro membutuhkan dua aspek,
yakni aspek finansial dan pendampingan. Dua aspek ini membutuhkan mekanisme kelembagaan.

Merujuk John R.
Commons (dalam Rachbini, 2005) menguraikan kelembagaan merupakan
collective action in restraint, liberation, and expansion of individual
action. Ini menandakan, kelembagaan adalah aturan main yang dimiliki
individu-individu untuk berperan dalam pranata kehidupan, tetapi juga
berarti perilaku dari pranata tersebut. Artinya, dalam rangka penguatan
usaha mikro, peran kelembagaan keuangan seperti BMT (BTM) dan lembaga
keuangan mikro lainnya, sangat penting.

Dana zakat yang
terakumulasi untuk kepentingan usaha produktif di kelembagaan BMT harus
betul-betul mampu membangkitkan semangat entrepreneur bagi usaha mikro
sebagai nasabah BMT. Karena itu, BMT harus melakukan studi kelayakan
terhadap mustahiq sebelum modal diserahkan kepadanya, seperti penelitian
tentang keadaan calon penerima modal, integritas moralnya, bidang yang
patut diusahakan, dan berbagai aspek pendukung usaha produktif,serta
mampumengembalikan modal tersebut untuk digunakan oleh saudara sesamanya
yang lain. Diharapkan para mustahiq, dapat berubah menjadi muzakki.

Oleh: Mukhaer Pakkanna

Peneliti CIDES dan  Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta
Sumber: lazismu.org
endapatan Domestik Bruto (PDB) atau yang lebih dikenal dengan istilah Inggrisnya, Gross Domestic Product,
merupakan suatu indeks dan rumusan kuantitatif yang umum digunakan
untuk mengukur pendapatan suatu negara. GDP sering disebut sebagai
ukuran tunggal yang paling baik dari suatu kesejahteraan masyarakat.
Padahal GDP tidak memasukkan nilai tambah dari semua kegiatan yang
terjadi di luar pasar. Rumus GDP yang paling sering dipakai (pendekatan
pengeluaran) hanya memasukkan nilai Konsumsi, Investasi, Pengeluaran
Pemerintah serta Net Export. Selain itu, GDP juga tidak
memasukkan kualitas polusi dan distribusi pendapatan. Sehingga tidaklah
mengherankan jika meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia, dinyatakan
terus meningkat sebesar 6% secara konstan, namun permasalahan
kemiskinan, pengangguran serta kualitas hidup tidaklah berkurang secara
signifikan atau bahkan tidak berkurang sama sekali.
Kita juga dapat melihat bagaimana Amerika, peringkatpertama GDP di dunia, m

– See more at: http://fossei.org/2013/01/maqasid-indeks-sebuah-revitalisasi-pengukuran-kesejahteraan/#sthash.rvEcuRp1.dpuf

endapatan Domestik Bruto (PDB) atau yang lebih dikenal dengan istilah Inggrisnya, Gross Domestic Product,
merupakan suatu indeks dan rumusan kuantitatif yang umum digunakan
untuk mengukur pendapatan suatu negara. GDP sering disebut sebagai
ukuran tunggal yang paling baik dari suatu kesejahteraan masyarakat.
Padahal GDP tidak memasukkan nilai tambah dari semua kegiatan yang
terjadi di luar pasar. Rumus GDP yang paling sering dipakai (pendekatan
pengeluaran) hanya memasukkan nilai Konsumsi, Investasi, Pengeluaran
Pemerintah serta Net Export. Selain itu, GDP juga tidak
memasukkan kualitas polusi dan distribusi pendapatan. Sehingga tidaklah
mengherankan jika meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia, dinyatakan
terus meningkat sebesar 6% secara konstan, namun permasalahan
kemiskinan, pengangguran serta kualitas hidup tidaklah berkurang secara
signifikan atau bahkan tidak berkurang sama sekali.
Kita juga dapat melihat bagaimana Amerika, peringkatpertama GDP di dunia, m

– See more at: http://fossei.org/2013/01/maqasid-indeks-sebuah-revitalisasi-pengukuran-kesejahteraan/#sthash.rvEcuRp1.dpuf

Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan
syariah telah  berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan
Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan
pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan
syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi
konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di
negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk
memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan
berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).

Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci
yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik
ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep
normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan
pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods)
serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui
pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan
bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum
mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam
menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu
 berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai
tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik
ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal
mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui
prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf
dan sebagainya. Pada dasarnya  Islam tidak mentolerir terjadinya
kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah
pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian
pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang
melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan
“kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing).
Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para
pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan
bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena
didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang
terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya,
salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh
menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam
konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu
kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak
karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat
spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah,
direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan
antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan
perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip
ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali
serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial
juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah.
Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni
mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si
kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang
dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian
(terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan
dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan
tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh
umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam
pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat
diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan
si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada
gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini
diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan
ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh.
Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa
persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil
asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan
diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang
2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan
mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak
penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan
mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai
UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul
tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan
infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak
boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam
memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan
kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan
ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP)
karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan
banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar
pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari
sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini
adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim
termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan
syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah
ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya
di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena
awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang
dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi
konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada
perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum
terperhatikan dengan baik dan sistematik.
– See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.p0RBxUWy.dpuf

Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan
syariah telah  berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan
Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan
pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan
syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi
konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di
negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk
memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan
berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).

Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci
yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik
ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep
normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan
pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods)
serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui
pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan
bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum
mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam
menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu
 berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai
tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik
ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal
mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui
prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf
dan sebagainya. Pada dasarnya  Islam tidak mentolerir terjadinya
kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah
pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian
pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang
melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan
“kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing).
Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para
pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan
bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena
didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang
terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya,
salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh
menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam
konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu
kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak
karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat
spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah,
direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan
antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan
perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip
ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali
serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial
juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah.
Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni
mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si
kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang
dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian
(terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan
dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan
tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh
umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam
pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat
diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan
si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada
gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini
diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan
ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh.
Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa
persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil
asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan
diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang
2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan
mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak
penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan
mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai
UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul
tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan
infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak
boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam
memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan
kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan
ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP)
karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan
banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar
pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari
sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini
adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim
termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan
syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah
ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya
di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena
awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang
dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi
konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada
perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum
terperhatikan dengan baik dan sistematik.
– See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.p0RBxUWy.dpuf

Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan
syariah telah  berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan
Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan
pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan
syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi
konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di
negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk
memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan
berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).

Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci
yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik
ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep
normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan
pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods)
serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui
pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan
bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum
mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam
menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu
 berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai
tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik
ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal
mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui
prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf
dan sebagainya. Pada dasarnya  Islam tidak mentolerir terjadinya
kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah
pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian
pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang
melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan
“kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing).
Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para
pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan
bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena
didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang
terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya,
salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh
menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam
konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu
kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak
karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat
spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah,
direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan
antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan
perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip
ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali
serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial
juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah.
Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni
mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si
kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang
dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian
(terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan
dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan
tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh
umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam
pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat
diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan
si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada
gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini
diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan
ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh.
Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa
persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil
asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan
diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang
2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan
mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak
penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan
mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai
UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul
tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan
infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak
boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam
memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan
kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan
ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP)
karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan
banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar
pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari
sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini
adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim
termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan
syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah
ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya
di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena
awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang
dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi
konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada
perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum
terperhatikan dengan baik dan sistematik.
– See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.p0RBxUWy.dpuf

Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan
syariah telah  berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan
Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan
pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan
syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi
konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di
negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk
memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan
berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).

Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci
yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik
ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep
normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan
pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods)
serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui
pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan
bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum
mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam
menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu
 berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai
tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik
ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal
mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui
prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf
dan sebagainya. Pada dasarnya  Islam tidak mentolerir terjadinya
kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah
pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian
pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang
melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan
“kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing).
Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para
pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan
bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena
didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang
terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya,
salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh
menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam
konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu
kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak
karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat
spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah,
direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan
antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan
perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip
ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali
serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial
juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah.
Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni
mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si
kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang
dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian
(terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan
dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan
tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh
umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam
pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat
diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan
si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada
gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini
diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan
ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh.
Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa
persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil
asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan
diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang
2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan
mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak
penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan
mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai
UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul
tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan
infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak
boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam
memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan
kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan
ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP)
karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan
banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar
pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari
sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini
adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim
termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan
syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah
ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya
di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena
awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang
dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi
konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada
perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum
terperhatikan dengan baik dan sistematik.
– See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.p0RBxUWy.dpuf

Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan
syariah telah  berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan
Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan
pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan
syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi
konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di
negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk
memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan
berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).

Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci
yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik
ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep
normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan
pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods)
serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui
pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan
bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum
mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam
menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu
 berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai
tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik
ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal
mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui
prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf
dan sebagainya. Pada dasarnya  Islam tidak mentolerir terjadinya
kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah
pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian
pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang
melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan
“kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing).
Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para
pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan
bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena
didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang
terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya,
salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh
menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam
konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu
kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak
karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat
spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah,
direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan
antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan
perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip
ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali
serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial
juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah.
Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni
mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si
kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang
dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian
(terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan
dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan
tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh
umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam
pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat
diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan
si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada
gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini
diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan
ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh.
Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa
persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil
asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan
diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang
2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan
mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak
penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan
mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai
UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul
tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan
infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak
boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam
memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan
kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan
ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP)
karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan
banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar
pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari
sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini
adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim
termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan
syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah
ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya
di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena
awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang
dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi
konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada
perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum
terperhatikan dengan baik dan sistematik.
– See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpuf

Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan
syariah telah  berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan
Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan
pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan
syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi
konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di
negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk
memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan
berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).

Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci
yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik
ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep
normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan
pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods)
serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui
pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan
bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum
mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam
menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu
 berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai
tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik
ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal
mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui
prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf
dan sebagainya. Pada dasarnya  Islam tidak mentolerir terjadinya
kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah
pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian
pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang
melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan
“kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing).
Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para
pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan
bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena
didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang
terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya,
salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh
menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam
konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu
kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak
karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat
spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah,
direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan
antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan
perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip
ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali
serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial
juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah.
Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni
mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si
kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang
dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian
(terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan
dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan
tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh
umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam
pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat
diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan
si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada
gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini
diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan
ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh.
Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa
persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil
asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan
diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang
2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan
mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak
penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan
mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai
UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul
tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan
infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak
boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam
memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan
kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan
ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP)
karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan
banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar
pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari
sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini
adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim
termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan
syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah
ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya
di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena
awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang
dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi
konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada
perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum
terperhatikan dengan baik dan sistematik.
– See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpuf

Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan
syariah telah  berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan
Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan
pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan
syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi
konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di
negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk
memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan
berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).

Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci
yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik
ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep
normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan
pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods)
serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui
pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan
bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum
mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam
menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu
 berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai
tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik
ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal
mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui
prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf
dan sebagainya. Pada dasarnya  Islam tidak mentolerir terjadinya
kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah
pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian
pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang
melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan
“kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing).
Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para
pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan
bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena
didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang
terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya,
salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh
menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam
konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu
kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak
karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat
spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah,
direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan
antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan
perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip
ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali
serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial
juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah.
Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni
mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si
kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang
dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian
(terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan
dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan
tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh
umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam
pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat
diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan
si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada
gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini
diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan
ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh.
Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa
persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil
asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan
diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang
2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan
mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak
penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan
mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai
UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul
tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan
infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak
boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam
memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan
kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan
ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP)
karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan
banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar
pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari
sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini
adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim
termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan
syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah
ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya
di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena
awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang
dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi
konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada
perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum
terperhatikan dengan baik dan sistematik.
– See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpuf

Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan
syariah telah  berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan
Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan
pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan
syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi
konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di
negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk
memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan
berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).

Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci
yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik
ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep
normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan
pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods)
serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui
pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan
bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum
mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam
menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu
 berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai
tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik
ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal
mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui
prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf
dan sebagainya. Pada dasarnya  Islam tidak mentolerir terjadinya
kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah
pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian
pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang
melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan
“kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing).
Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para
pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan
bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena
didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang
terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya,
salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh
menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam
konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu
kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak
karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat
spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah,
direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan
antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan
perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip
ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali
serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial
juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah.
Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni
mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si
kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang
dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian
(terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan
dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan
tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh
umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam
pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat
diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan
si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada
gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini
diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan
ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh.
Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa
persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil
asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan
diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang
2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan
mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak
penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan
mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai
UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul
tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan
infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak
boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam
memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan
kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan
ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP)
karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan
banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar
pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari
sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini
adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim
termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan
syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah
ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya
di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena
awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang
dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi
konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada
perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum
terperhatikan dengan baik dan sistematik.
– See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpu

Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan
syariah telah  berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan
Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan
pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan
syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi
konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di
negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk
memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan
berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).

Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci
yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik
ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep
normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan
pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods)
serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui
pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan
bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum
mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam
menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu
 berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai
tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik
ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal
mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui
prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf
dan sebagainya. Pada dasarnya  Islam tidak mentolerir terjadinya
kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah
pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian
pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang
melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan
“kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing).
Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para
pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan
bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena
didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang
terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya,
salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh
menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam
konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu
kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak
karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat
spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah,
direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan
antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan
perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip
ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali
serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial
juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah.
Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni
mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si
kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang
dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian
(terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan
dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan
tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh
umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam
pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat
diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan
si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada
gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini
diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan
ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh.
Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa
persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil
asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan
diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang
2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan
mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak
penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan
mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai
UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul
tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan
infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak
boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam
memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan
kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan
ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP)
karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan
banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar
pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari
sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini
adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim
termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan
syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah
ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya
di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena
awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang
dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi
konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada
perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum
terperhatikan dengan baik dan sistematik.
– See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpufgjvjh

Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan
syariah telah  berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan
Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan
pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan
syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi
konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di
negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk
memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan
berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).

Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci
yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik
ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep
normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan
pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods)
serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui
pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan
bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum
mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam
menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu
 berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai
tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik
ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal
mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui
prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf
dan sebagainya. Pada dasarnya  Islam tidak mentolerir terjadinya
kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah
pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian
pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang
melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan
“kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing).
Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para
pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan
bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena
didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang
terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya,
salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh
menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam
konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu
kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak
karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat
spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah,
direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan
antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan
perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip
ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali
serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial
juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah.
Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni
mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si
kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang
dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian
(terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan
dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan
tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh
umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam
pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat
diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan
si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada
gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini
diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan
ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh.
Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa
persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil
asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan
diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang
2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan
mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak
penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan
mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai
UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul
tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan
infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak
boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam
memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan
kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan
ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP)
karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan
banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar
pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari
sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini
adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim
termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan
syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah
ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya
di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena
awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang
dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi
konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada
perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum
terperhatikan dengan baik dan sistematik.
– See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpuf

Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan
syariah telah  berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan
Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan
pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan
syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi
konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di
negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk
memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan
berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).

Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci
yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik
ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep
normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan
pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods)
serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui
pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan
bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum
mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam
menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu
 berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai
tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik
ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal
mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui
prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf
dan sebagainya. Pada dasarnya  Islam tidak mentolerir terjadinya
kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah
pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian
pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang
melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan
“kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing).
Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para
pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan
bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena
didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang
terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya,
salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh
menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam
konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu
kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak
karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat
spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah,
direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan
antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan
perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip
ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali
serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial
juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah.
Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni
mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si
kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang
dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian
(terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan
dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan
tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh
umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam
pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat
diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan
si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada
gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini
diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan
ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh.
Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa
persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil
asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan
diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang
2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan
mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak
penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan
mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai
UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul
tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan
infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak
boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam
memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan
kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan
ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP)
karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan
banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar
pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari
sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini
adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim
termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan
syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah
ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya
di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena
awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang
dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi
konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada
perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum
terperhatikan dengan baik dan sistematik.
– See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpuf

Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan
syariah telah  berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan
Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan
pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan
syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi
konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di
negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk
memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan
berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).

Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci
yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik
ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep
normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan
pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods)
serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui
pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan
bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum
mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam
menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu
 berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai
tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik
ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal
mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui
prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf
dan sebagainya. Pada dasarnya  Islam tidak mentolerir terjadinya
kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah
pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian
pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang
melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan
“kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing).
Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para
pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan
bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena
didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang
terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya,
salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh
menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam
konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu
kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak
karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat
spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah,
direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan
antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan
perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip
ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali
serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial
juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah.
Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni
mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si
kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang
dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian
(terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan
dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan
tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh
umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam
pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat
diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan
si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada
gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini
diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan
ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh.
Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa
persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil
asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan
diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang
2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan
mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak
penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan
mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai
UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul
tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan
infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak
boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam
memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan
kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan
ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP)
karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan
banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar
pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari
sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini
adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim
termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan
syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah
ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya
di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena
awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang
dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi
konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada
perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum
terperhatikan dengan baik dan sistematik.
– See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpuf

Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan
syariah telah  berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan
Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan
pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan
syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi
konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di
negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk
memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan
berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).

Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci
yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik
ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep
normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan
pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods)
serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui
pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan
bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum
mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam
menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu
 berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai
tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik
ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal
mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui
prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf
dan sebagainya. Pada dasarnya  Islam tidak mentolerir terjadinya
kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah
pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian
pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang
melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan
“kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing).
Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para
pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan
bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena
didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang
terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya,
salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh
menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam
konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu
kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak
karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat
spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah,
direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan
antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan
perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip
ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali
serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial
juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah.
Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni
mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si
kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang
dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian
(terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan
dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan
tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh
umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam
pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat
diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan
si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada
gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini
diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan
ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh.
Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa
persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil
asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan
diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang
2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan
mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak
penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan
mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai
UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul
tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan
infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak
boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam
memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan
kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan
ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP)
karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan
banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar
pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari
sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini
adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim
termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan
syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah
ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya
di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena
awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang
dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi
konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada
perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum
terperhatikan dengan baik dan sistematik.
– See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpuf